Mulutmu harimaumu atau lidah lebih tajam daripada silet, pepatah itu sangat benar adanya. Namun meski si teteh mengetahui dan paham makna dari pepatah di atas, toh dalam prakteknya si teteh tak pernah bisa menggunakan pepatah itu sebagai kontrol atas perilakunya. Teteh masih saja tidak bisa menjaga mulut dan lidahnya untuk tidak berkata-kata yang sekiranya bisa menyakiti lawan bicaranya atau seseorang yang dibicarakannya. Teteh tak pernah menyadari atau memang tak mau menyadari kalau sikap dan ucapan-ucapannya seringkali membuat tersinggung orang. Nggak cuma itu, teteh juga seringkali mempermalukan seseorang di hadapan orang banyak melalui sikap dan ucapan-ucapannya itu.
Sudah banyak saudara, teman, tetangga yang mengingatkan si teteh akan kebiasaan buruknya ini dan sudah sering juga si teteh menyatakan rasa menyesalnya bahkan mohon maaf kepada orang-orang yang pernah tanpa sengaja atau dengan sengaja telah disakitinya. Tapi lagi-lagi, si teteh selalu saja mengulangi perilaku buruknya ini.
Terkadang, si teteh merasa menjadi orang yang sangat bijaksana dengan menasehati saudara, teman atau tetangga. Tetapi tetap saja cara yang dipilih si teteh tak lepas dari menyakiti pihak lain. Misalnya, dengan sok bijaksana si teteh menasehati temannya agar berhati-hati dan menjaga jarak dengan si anu. Diapun lalu menyisipkan cerita-cerita yang sama sekali tak ada faktanya tentang si anu. Oh iya, si teteh ini memang hobbynya mengarang cerita, jadi ya maklum, kalau kelihatannya si teteh tahu banyak tentang objek yang dibicarakannya. Tapi sebetulnya sih sok tahu alias hanya kesimpulan tanpa didahulu oleh sebuah penelitian. Akibatnya si teteh justru sering dianggap sebagai penghasut, pemfitnah dan menyebar gosip. Kasihan si teteh, tapi ya mau gimana lagi, teguran dari suaminya sendiri saja nggak mampu menghentikan kebiasaannya ini apalagi teman atau tetangganya.
Sebagai adik aku sangat prihatin melihat kelakuan si teteh ini. Banyak sekali kabar-kabar tak mengenakkan yang disampaikan kepadaku tentang si teteh ini. Parahnya lagi, se teteh ini sepertinya senang sekali melakukan expansi, wilayah pergaulannya tidak hanya di lingkungan tempat tinggalnya saja tapi juga ke sekolah-sekolah di mana anak-anaknya sekarang sedang menuntut ilmu, ke lingkungan RW, ke blok lain, ke lingkungan tempat suaminya bekerja, lingkungan tempat anak-anaknya mengambil les atau kursus tambahan. Pokoknya image si teteh sebagai orang bermulut harimau telah menyebar ke mana-mana. Banyak sekali korban yang mengadu kepadaku, memintaku supaya menasehati si teteh agar jangan sembarangan berkata-kata atau agar si teteh menjaga sikapnya. Meskipun sudah beberapa kali si teteh ini kena batu akibat sifat buruknya ini, tapi sepertinya si teteh nggak pernah kapok. Bagusnya, kalau sudah kepergok dan tidak ada jalan lain untuk mengelak, si teteh nggak segan-segan meminta maaf kepada orang yang disakitinya, bahkan dia rela mengeluarkan airmata agar dibukakan pintu maaf. Tapi kan kata maaf dan airmata itu nggak bisa begitu saja menghilangkan noda yang sudah si teteh goreskan. Ibaratnya, kalau luka badan bisa disembuhkan, bisa diobati, tapi kalau luka hati, susah obatnya. Seperti paku yang ditancamkan ke sebatang kayu, bisa saja suatu saat paku itu dilepas tapi bekas tancapannya, sampai kapanpun akan tetap tertera di kayu tersebut. Begitu juga orang-orang yang telah si teteh sakiti, bisa saja mereka mengatakan telah memaafkan si teteh, tapi image buruk si teteh selamanya akan melekat di hati orang-orang itu.
Aku jadi pusing tujuh keliling memikirkan sifat si teteh ini. Masak aku harus meminta orang-orang itu untuk bersikap seperti aku, legowo dan sabar menghadapi tingkah lakunya. Mana mungkin mereka mau menuruti permintaanku. Aku kan adiknya, jadi apapun yang si teteh pernah lakukan kepadaku, ya aku harus menyikapinya dengan legowo dan lapang dada. Bukannya aku nggak punya harga diri, tapi ngapain harus buang-buang energi menghadapi orang seperti si teteh ini. Lebih baik energiku aku simpan untuk bekerja, bermain dengan anak, main badminton atau bermain dengan suami. Aku nggak perduli meski suamiku suka protes karena aku hanya diam saja jika diperlakukan secara tidak adil oleh si teteh ini.
“Sudahlah mas, nggak usah didengerin kata-kata si teteh itu, palingan dia iri sama apa yang kita punya”, ucapku suatu saat ketika suamiku protes karena merasa di mata-matai oleh si Teteh ketika kami membeli rumah baru. Kalau mau main perasaan sih jengkel juga, masak tiap hari si teteh itu lewat di depan rumah, mengendap-endap, secara diam-diam memperhatikan apa yang sedang kami lakukan di rumah baru kami. Mencari tahu ke tetangga apa saja perabotan yang sudah kami beli untuk mengisi rumah baru kami ini. Aneh kan? Sama adik sendiri geto loh. Tapi ya, aku sih tertawa saja, menganggap lucu sikap si teteh ini. Usia boleh lebih muda, tapi aku bisa lebih bersikap dewasa daripada si teteh yang terus saja mempertahankan sifat kekanak-kanakannya ini. Orang bilang, karakter anak pertama itu bisa menjadi sangat dewasa tetapi bisa juga menjadi sangat kekanak-kanakan. Nah karakter yang kedua itulah yang lebih dominan melekat pada si teteh. Mungkin karena kelewat di manja sama Bapak dan Ibu sehingga menjadikannya pribadi yang sangat egois dan ingin menang sendiri. Untung dia mendapat jodoh laki-laki yang super-super sabarnya. Kalau tidak, entah bagaimana nasib rumah tangga mereka. Suaminya itu cuma gede badannya doang, tapi takut disilet sama lidah istrinya. Suamiku sering melecehkan kakak iparku itu sebagai suami takut istri, lebih tepatnya mirip tokoh si Tigor dalam sinetron suami-suami takut istri. Mau-maunya dia diperbudak oleh istrinya dan menuruti semua yang diinginkan istrinya. Aku jawab dengan santai “itu namanya cinta buta, love is blind kalau kata orang bule”
Tapi aku sangat salut dan berterimakah kepada kakak iparku itu yang mau menerima kekurangan si teteh. Dia nggak pernah mengeluh tentang istrinya, dia bahkan sering meminta maaf kepada saudara atau tetangga yang sudah menjadi korban perilaku buruk si teteh.
Tapi, peristiwa kemarin sore, memaksaku untuk mengikis kesabaran yang selama ini aku perlihatkan kepadanya. Tega-teganya si teteh ini menghasut karibku dengan menceritakan hal-hal jelek tentang diriku. Dia memutar balikkan fakta dengan mengatakan bahwa aku adalah biang keonaran, senang menebar konflik di mana-mana, karena itu harus hati-hati jika bergaul denganku, apalagi karibku itu punya niat ingin bertetanggaan denganku. Coba bayangkan, siapa yang nggak marah dijelek-jelekkan sama kakak sendiri. Untungnya karibku itu sedikit banyak sudah tahu tentang tabiat buruk si teteh, bukan dari aku tapi dari lingkungan di mana si teteh pernah melakukan interaksi. Mana mungkin aku menjelek-jelekkan kakak sendiri, meski aku tahu si teteh memang punya sikap yang buruk, tapi sebagai saudara kan sebisa mungkin harus menutupi kejelekan saudaranya.
Setelah mendapatkan pencerahan dari si teteh, karibku itu langsung mendatangiku, dia menceritakan semua yang diceritakan si teteh kepadanya. Aku sih nggak marah, tapi suamiku yang naik darah. Dia nggak bisa terima aku dijelek-jelekkan oleh kakakku sendiri. Untung karibku itu bisa mendinginkan ubun-ubunnya yang sedang terbakar. Karibku cuma mengatakan ketidakpercayaannya bahwa seorang kakak bisa berbuat sejahat itu kepada adiknya sendiri.
“Dia itu sakit jiwa”, tukas suamiku dengan berang.
“Jangan ikut-ikutan sakit jiwa begitu dong mas, biarin aja si teteh berkata apa, biar orang lain yang menilainya. Orang tahu kok siapa sebenarnya yang suka menebar konflik. Buktinya, baru-baru ini si teteh terlibat konflik sama temannya yang tinggalnya berjauhan sama dia. Itu membuktikan bahwa jauh atau dekatnya jarak tidak menjamin seseorang itu terhindar dari konflik. Tergantung kitanya kan, kalau kita bisa menempatkan diri dengan baik, di manapun kita tinggal, bergaul dan berteman, maka insya Allah konflik itu nggak akan terjadi. Tapi kalau dasarnya emang suka cari gara-gara, ya meskipun tinggalnya berjauhan tetap saja terjadi konflik. Benar nggak?”
“Bener banget, semua itu tergantung pribadi masing-masing orang”, timpal karibku.
“Lagian siapa sih mas yang mau percaya sama yang teteh omongin. Image buruk yang teteh ciptakan sendiri selama ini membuat orang nggak lagi respect sama si teteh”, sambung karibku.
“Ya udah, terimakasih ya karena kamu nggak percaya begitu aja sama omongan si teteh”, suamiku akhirnya berkata dengan nada rendah.
“Eh terus kapan kamu mulai tempati rumah barumu itu?” tanyaku kepada karibku.
“Mungkin akhir bulan ini. Masih banyak yang harus dibenerin dan aku ingin mengecat ulang temboknya biar kelihatan lebih bagus”
“Ya iyalah, masak iya dong, rumah baru harus dicat, masak dibiarin bodong, he....he.....”
“Doain aja deh, biar cepat selesai renovasinya dan cepat aku tempati”
“Pasti kita doain dong, kita kan senang kalau punya tetangga baru. Lihat rumah kosong tuh kayaknya gimana gitu. Hawanya jadi serem”
“Ya udah deh, kalau gitu guwe mau balik dulu. Yang penting guwe udah sampein berita yang sempat bikin guwe nggak bisa tidur semalaman”
Oke, santai aja lah. Biar waktu yang membuktikannya. Guwe nanti bisa jadi tetangga yang baik buat elo apa nggak. Yang jelas, kita akan berusaha untuk menjaga adab dan sopan santun bertetangga” jawabku sambil melepaskan karibku itu pergi.
Setelah karibku pergi, aku menelpon si teteh. Aku ungkapkan kekecewaanku tapi dasar si teteh lagi-lagi dia mencoba mengelak dengan mengatakan bahwa dia hanya berusaha untuk mengingatkan karibku itu bahwa seringkali pertemanan itu bisa rusak kalau tinggal berdekatan. “Kan biasanya kalau jauh itu wangi, kalau dekat itu keendus baunya. Itu juga peringatan buat kamu”, elaknya berusaha membela diri. Sama sekali dia tidak menyinggung perihal dia telah menjelek-jelekkan aku. Teteh....teteh.....teganya dirimu padaku. Bahkan keesokan harinya ketika kami bertemu di rumah Bapak, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap bersalahnya. Dia malah menyampaikan protesnya kepada ibu dan bapak dengan mengatakan kalau aku tidak lagi menganggapnya sebagai teteh hanya karena aku tidak meminta pendapatnya ketika aku memilih jasa cattering untuk acara halal bil halal di rumahku. Konyol kan? Untungnya bapak dan ibu juga paham dengan sifat anak sulungnya ini.
“Ya mungkin adikmu sudah punya langganan cattering sendiri”, jawab Ibu.
“Cattering apaan, tuh makanannya nggak ada yang enak”, jawabnya.
“Eh siapa bilang, semua tamu bilang kalau masakannya enak-enak kok. Bahkan bu Indah sama bu Endut mau juga tuh pakai jasa cattering itu kalau nanti nyunatin anaknya”, belaku.
“Dasar aja lidah kampung, nggak bisa membedakan mana masakan yang enak dan yang nggak enak”, timpal si teteh lagi.
“Tuh kan, kamu mulai lagi dengan kebiasaan burukmu. Hati-hati lho kalau ngomong. Kalau sampai bu Indah dan bu Endut dengar apa yang barusan elo omongin, mereka bisa tersinggung tau’”
“Sudah-sudah, kalian ini seperti anak kecil saja. Malu tuh sama suami dan anak-anak kalian”, Bapak berusaha menengahi. Aku sebal karena bapak nggak pernah merespon kebiasaan buruk si teteh ini sebagai hal yang harus dihentikan. Hanya ibu yang kadang masih suka mengingatkan si teteh untuk tidak berkata-kata sembarangan. Apalagi si teteh punya rencana untuk pergi haji. Itulah si teteh, semoga kelak setelah dia pulang dari menunaikan ibadah haji, kelakuan buruknya bisa hilang dan dia menjadi haji yang mambrur. Amin
Depok, 21 Oktober 2008
5 komentar:
Coba nulis skenario, bu Diah... Kan bisa dilakukan di rumah... Nanti kita pandu secara on line...
Iyaa mas Rudi, cocok kalau bu Diah ini berbakat juga bikin puisi, cerita kehidupan. Emang waktu kuliah dulu juga suka berpuisi sendirian hehehe :D .
Kenapa gak dicoba bikin sekenario Jeng, pasti hasilnya gak sekenanya toh... salam kenal bu dari mantan anak kos di ciputat heheh :D
Aduh....jadi makin terpacu nih untuk belajar bikin skenario....thanks ya untuk supportnya.
mbak, emang peyan anak nomer brapa sih? kisah nyata ya...
Win, ini kisah dibilang nyata sih nggak juga tapi kisah seperti ini kan banyak terjadi di sekitar kita iya kan? aku anak bontot. Ini bukan kisah di keluargaku kok, semua kakakku baik hati dan tidak sombong he...he.....
Posting Komentar