Selasa, 11 November 2008

KERAJAAN IMPIAN


Aku tak ingin keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat wajah-wajah polos tanpa dosa berhias debu, yang terkadang disertai ingus yang mungkin tak sempat dibersihkan oleh ibu-ibu mereka yang tengah sibuk menanti metro mini-metro mini atau bis-bis berhenti di hadapan mereka dan kemudian memaksa langkah-langkah mereka yang membawa beban tubuh-tubuh mungil itu melompat gesit ke dalamnya, menyumbangkan nada-nada sumbang yang semakin sumbang karena diselingi oleh alat musik ala kadarnya yang terbuat dari botol bekas minuman yang diisi dengan segenggam beras.

Aku tak mau keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat tangan-tangan dan kaki-kaki mungil yang terbungkus kulit dan baju dekil itu bermain-main dengan angin, tak ada genggaman mainan yang bisa mereka gunakan untuk menciptakan sebuah imajinasi atau makanan kecil yang bisa mereka gigit-gigit sebagai pengisi waktu luang mereka ketika menemani ibu-ibu mereka mengais rejeki.

Aku tak mau keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat sorot-sorot mata suci dan menggemaskan itu meredup terhalang oleh terik matahari yang membakar kulit mulus mereka. Sorot mata yang seharusnya menebarkan semangat untuk terus maju melewati tahapan-tahapan hidup itu seolah tahu bahwa nasib telah menentukan bahwa mereka tak akan mudah untuk menapaki tahapan-tahapan itu.

Aku tak mau keluar rumah lagi dan berjalan melewati mereka jika yang bisa kuberikan ke mereka tiap hari hanya selembar ribuan kumal atau sekotak kecil susu dan sebungkus biskuit atau terkadang pakaian-pakaian bekas pakai anakku. Aku sadar, apa yang telah kuberikan kepada mereka itu tak akan pernah menolong mereka untuk keluar dari kungkungan kemiskinan. Aku sadar, apa yang telah kuberikan kepada mereka itu tak akan bisa menolong mereka untuk mendapatkan hak menikmati hidup masa kanak-kanak yang layak. Masa depan mereka tidak akan pernah berubah, mereka akan terus berada di atas jalanan. Melompat dari satu metro mini ke metro mini yang lain sebagaimana yang diajarkan oleh ibu-ibu mereka saat ini.

Tidak, aku tak mau lagi keluar rumah, bahkan kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kurasakan denyutan di kepalaku akibat menahan jatuhnya airmata. Aku hanya ingin tidur, terus dan terus tertidur agar bisa kubangun mimpi-mimpi besarku yang selama ini hanya menghuni dunia khayalku. Membuat orang mengira aku sudah gila karena tersenyum-senyum seorang diri. Aku ingin mewujudkannya dan itu hanya bisa jika aku memindahkannya ke dunia mimpi. Aku ingin ketika orang melihatku tersenyum dalam tidurku mereka hanya akan menebak bahwa aku sedang bermimpi indah. Aku ingin segera melakukan itu, aku ingin segera dapat bersentuhan dan bercengkerama dengan mereka tanpa ada perasaan malu dan prasangka dari orang lain bahwa aku melakukan semua itu agar terlihat sebagai orang yang baik dan perduli pada sesama. Di dunia mimpiku, tak ada yang akan mengganggu. Aku bisa berbuat semauku bahkan aku akan bisa merubah dunia mereka menjadi dunia yang sangat menyenangkan dan membawa mereka kelak ke kehidupan yang lebih layak.

Aku ingin segera tidur, maka perlahan-lahan mulai kubaringkan tubuhku di atas kasur. Kucoba mengingat satu persatu wajah bocah-bocah malang itu untuk kemudian kumasukkan ke dalam memoriku. Aku mulai tersenyum senang ketika ruangan bercat warna-warni dan penuh dengan berbagai mainan itu dipenuhi oleh gelak tawa mereka. Kulihat ada beberapa teman-teman relawan juga tergelak melihat kelucuan mereka. Papan nama dengan tulisan “BABIES DAY CARE” yang terpampang di depan ruangan ikut bergoyang-goyang menyemarakkan hari pertama beroperasinya tempat penitipan bayi dan balita pengemis jalanan ini. Pita merah putih yang tadi pagi baru ku gunting yang menandai peresmiannya masih melilit di sebagian tulisan itu. Kini aku bisa bernafas lega, ibu-ibu merekapun bisa bekerja tanpa khawatir akan keadaan mereka. Bocah-bocah malang itu akan mendapatkan pelayanan yang baik, makanan yang bernutrisi, imunisasi dan faksinasi, pakaian yang bersih dan permainan-permainan yang akan bisa mengembangkan otak mereka menjadi pintar dan cerdas. Aku senang dan bahagia karena akhirnya bisa mewujudkan impian besarku ini. Ini baru satu impian. Masih banyak impian-impian besar lainnya yang kelak ingin aku wujudkan.

Kumiringkan posisi tidurku, dengan posisi tidur seperti ini aku bisa semakin dalam menyelami dunia mimpiku. Aku mulai melangkah pergi meninggalkan bocah-bocah lucu itu dan mempercayakannya kepada para pengasuh yang sudah sangat terampil dan terlatih dalam hal mengurus bayi dan balita. Kuciumi dan kupeluk mereka satu persatu sebelum pergi. Bagi mereka, tentu saja aku bukanlah orang asing yang baru mereka kenal. Mereka telah terbiasa melihat senyum ikhlasku, mereka telah terbiasa merasakan sentuhan tanganku dan mereka telah akrab dengan perasaan gemasku manakala bertatap mata dengan mata jenaka mereka. Dengan damai mereka bergelayut manja di atas pangkuanku. Aku hanya pamit sebentar, itu yang kubisikkan ke telinga mereka. Mereka mengerti, mereka tahu aku pergi untuk membangun mimpi-mimpiku yang lain.

Kukendarai limosinku, kubentangkan sayap-sayapnya hingga tak menapak lagi di jalanan beraspal. Lemusin itu melesat kencang melewati pemandangan yang hingga hari ini terus mengiris dadaku, membuatku tak nafsu untuk menjamah makanan, membuatku terus mensyukuri nikmat yang telah kudapat selama ini. Ini bulan ramadhan, pengemis yang berderet di sepanjang jalan lebih banyak jumlahnya dari bulan-bulan biasa. Masih banyak bayi-bayi dan balita-balita yang dijadikan objek oleh orang tua mereka untuk menarik simpati dari para pengguna jalanan yang melintas di depan mereka. Ironis memang, sebenarnya merekapun tak tega membawa bayi-bayi dan balita mereka, tapi apa daya, hanya dengan cara itu mereka bisa mendapatkan belas kasihan dari orang. Aku bahkan tak bisa memaksa mereka agar mau menitipkan bayi-bayi mereka ke tempat penitipan anak. Bayi-bayi itu adalah alat kerja mereka. Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan? Sebagai seorang ibu, hatiku sangat teriris melihat pemandangan seperti itu. Hanya sebuah pesan yang bisa kutinggalkan untuk mereka agar mereka memperhatikan kesehatan bayi-bayi itu. Aku terus memacu limosinku agar bisa cepat sampai ke tempat tujuan. Dadaku sudah sangat sesak oleh berjuta kesedihan tiap kali melihat pemandangan seperti itu terjadi di depan mataku. Akhirnya limosinku mendarat di sebuah area yang luasnya kira-kira lima hektar. Terik mentari yang memanggang bumi tak menyurutkan para buruh bangunan untuk terus bekerja menyelesaikan bangunan-bangunan yang aku rancang sendiri. Di area ini aku akan mendirikan pusat perdagangan plus rumah-rumah susun dengan fasilitas rumah ibadah dan rumah kreatif. Aku akan peruntukkan semua ini untuk anak-anak jalanan dan para pengemis agar mereka tak lagi berkeliaran di jalan-jalan, tidak lagi tidur di atas trotoar jalan atau trotoar toko dan sebagainya. Mereka semua akan kuberikan usaha yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mereka bisa tinggal di rumah-rumah yang telah kusediakan. Selain itu mereka juga akan kudidik agar menjadi orang-orang yang taat beragama dan bisa menghormati pemeluk agama lain. Akan ada musholla, gereja, juga vihara di area ini. Ruang kreatif bisa dipakai oleh anak-anak agar bakat dan kreativitas mereka terasah dengan baik. Dengan begitu mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang produktif. Hasilnya kelak bisa mereka jadikan sebagai bekal untuk menata masa depan mereka. Selain itu, yang paling penting adalah gedung sekolah. Sekolah ini akan buka sepanjang pagi hingga malam hari. Jadi mereka bisa memilih sendiri kapan waktunya bisa bersekolah. Nantinya pengelolaan area ini akan aku serahkan ke mereka sendiri termasuk biaya-biayanya. Mereka harus memiliki mental hidup yang kuat, tidak melulu bergantung pada pemberian orang lain. Mereka harus menggaji orang untuk menjaga keamanan dan kebersiahn di sini. Semua itu bisa mereka lakukan dengan cara menyisihkan sebagian dari keuntungan berdagang mereka. Aku mau semua kebutuhan yang mereka perlukan bisa mereka temukan di sini. Sehingga perputaran uang mereka tidak kemana-mana. Untuk pembeli, orang dari luar boleh berbelanja di sini tapi para penghuni tetap di sini tidak boleh belanja ke luar kecuali untuk kulakan barang yang akan mereka jual. Karena itu akan aku usahakan jenis usaha yang diperdagangkan di sini adalah semua barang yang menjadi kebutuhan mereka. Mulai dari warung makan, minuman, pakaian, sandal, sepatu, toko kelontong, toko olah raga, toko alat-alat musik, sayur mayur dan sebagainya. Kelak bagi yang sudah berhasil di dalam usahanya harus rela meninggalkan rumah tinggalnya. Hal ini untuk memacu mereka agar bisa memiliki rumah sendiri. Sementara rumah yang selama ini mereka tinggali bisa ditempati oleh penghuni baru. Aku sadar, berapapun rumah yang aku bangun untuk anak-anak dan pengemis jalanan tidaklah akan cukup untuk menampung keberadaan mereka yang ribuan itu. Karena itu, dengan membangun kesadaran dan sikap toleransi di antara mereka, akan tercipta lingkungan yang harmonis, saling tolong menolong dan merasa senasib sepenanggungan. Inilah kerajaan mimpiki. Aku akan menjadi ratu di sini dengan sistim pemerintahan yang demokratis tentu saja. Akan kusejahterakan semua rakyatku, akan kuberikan semua fasilitas pendidikan agar mereka bisa menjadi bangsa yang bermartabat.

Mau tahu darimana aku mendapatkan uang untuk membiaya semua proyekku ini? Suatu malam, dalam kelelahan dan rasa kantukku sepulang dari kerja, aku melihat seorang kakek-kakek melambai-lambaikan tangannya ke arahku dari sebuah rumah yang berada di ujung jalan yang setiap hari aku lewati baik ketika aku mau pergi atau pulang kerja. Aku hentikan langkah kakiku, ku tengok belakang, kanan dan kiriku, tak ada orang lain selain aku. Kakek itu terus melambai-lambaikan tangannya. Aku menunjuk dadaku, mencoba bertanya apakah yang dia panggil itu aku. Kakek itu mengangguk. Segera kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kakek itu tersenyum menyeringai. Wajahnya pucat dan kedua biji matanya melosok ke dalam bahkan nyaris tak terlihat kalau dia memiliki biji mata. Meski agak takut kubalas senyumannya. “Ada apa kakek memanggil saya?”, tanyaku sedikit ragu.

Kakek itu menghela nafas, dalam dan tampak sangat berat. Sepertinya ada penderitaan luar biasa yang telah dialaminya selama bertahun-tahun. Jemarinya yang kurus menunjuk ke sebuah tembok. Aku melihat ke tempat yang dia tunjuk. Tak ada apa-apa di tembok itu. Hanya sebuah lukisan buram yang menempel anggun di sana. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku memberinya tanda bahwa aku tak melihat apa-apa di sana. Kakek itu terus menunjuk ke arah tembok itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya membatin mungkin kakek ini bisu. Aku lalu berjalan ke arah tembok itu. Kutunjuk lukisan yang tergantung di situ. “Ini?”, tanyaku. Dia mengangguk. Kuamati lukisan itu. Tiba-tiba lukisan itu seperti bergerak-gerak. Reflek aku melompat mundur. Objek yang ada di dalam lukisan itu terus bergerak-gerak, memainkan sebuah opera dengan cerita tentang sebuah pembunuhan. Aku terbelalak, laki-laki yang terbaring di sana dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya itu wajahnya mirip dengan kakek yang berdiri di belakangku. Kupalingkan wajahku ke arah laki-laki tua itu, tapi hup, jantungku rasanya hampir berhenti berdenyut, laki-laki tua itu tak ada lagi di sana. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah tapi tetap tak kutemui laki-laki tua itu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kuayunkan langkahku, mencoba berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah itu. Malam berikutnya, kakek itu mendatangiku lagi. Dia mengatakan bahwa seseorang telah membunuhnya dan mengubur mayatnya di dalam tembok di balik lukisan itu. Dia juga bilang, kalau aku bisa menolongnya keluar dari dinding itu dia akan memberiku hadiah yang sangat besar yang akan bisa kugunakan untuk membeli mimpi-mimpiku.

Tahu nggak, hadiah apa yang diberikan oleh kakek itu kepadaku, ketika akhirnya aku bisa menolongnya keluar dari himpitan tembok itu? Uang yang tak terhitung jumlahnya. Tak terhitung. Semua itu diberikan oleh kakek itu untukku. Itulah kenapa akhirnya aku bisa membangun kerajaan mimpiku ini.

Krak....gedubrag.........tubuhku melesek ke sebuah lubang. Aku terbangun dan kulihat dipan tuaku tak kuat lagi menampung tubuh dan kerajaan impianku sehingga patah menjadi dua. Tapi aku tak perduli, aku masih ingin menikmati statusku sebagai ratu di kerajaan mimpiku. Aku umbar senyum kebahagiaan ini. “Untuk rakyatku”, teriakku.

“Ya ampun, mama jatuh”!, pekik anakku sambil tertawa geli. Akhirnya aku tersadar dari alam mimpiku karena pekikan itu. Kupandang anakku dengan rasa haru yang luar biasa. Dalam hati aku mengucapkan beribu-ribu rasa syukur kepada sang pencipta karena bisa memberikan kehidupan yang layak kepada buah hatiku sehingga nasibnya tidak seburuk nasib anak-anak jalanan itu.***********

Depok, 5 September 2008

Tidak ada komentar: