Selasa, 11 November 2008

ANISA GADIS SHALEHAH


Gadis shalehah, julukan itu pantas kuberikan untuk gadis berparas cantik yang setiap tengah malam kulihat keluar dari salah satu kamar di komplek asrama putri yang ada di lingkungan Pondok Pesantren ini. Hampir tiap malam aku bersama beberapa santri laki-laki mendapat jadwal berkeliling untuk menjaga keamanan lingkungan Pondok Pesantren, dan tiap kali aku melewati deretan asrama putri ini aku selalu melihat gadis itu, entah baru akan keluar dari kamar ataupun baru saja mau masuk ke dalam kamar. Karena dihantui oleh rasa penasaran yang teramat sangat, pernah suatu malam dengan sengaja aku dan salah satu dari temanku mengikuti kemana perginya gadis itu, ternyata dia pergi ke kamar mandi yang letaknya lumayan jauh dari asrama. Padahal untuk mencapai kamar mandi yang berderet panjang mirip gerbong kereta api itu, dia harus melewati rumpun bambu yang sangat gelap yang konon menurut cerita, sangat angker. Belum lagi suasana di kamar mandi yang juga gelap karena memang tidak diberi akses penerangan sedikitpun. Entah kenapa, pengelola pondok tidak memberi penerangan di bilik-bilik kamar mandi itu. Barangkali ingin menguji nyali para santrinya. Kami yang setiap malam berkeliling untuk ronda sering mendengar suara-suara aneh dari bilik-bilik kamar mandi itu. Terkadang seperti suara perempuan yang sedang menangis, bahkan salah satu dari temanku pernah melihat ada kepala melayang-layang di belakang bangunan kamar mandi itu. Menurut cerita dari santri-santri yang sudah senior, beberapa tahun yang lalu ada santri putri yang bunuh diri di salah satu bilik kamar mandi itu karena ketahuan hamil di luar nikah. Sedangkan di rumpun bambu itu, kira-kira setengah tahun yang lalu salah seorang santri putri pernah dibuat pingsan oleh suara ringkikan kuda. Ketika ditoleh, ternyata di sana berdiri seekor kuda lengkap dengan kereta kencananya yang tengah membawa keranda mayat. Kisah kereta kencana membawa keranda mayat itu memang tidak hanya terjadi di rumpun bambu itu saja, santri putra yang sering bertafakkur di dalam masjid juga sering melihat ada kereta kencana yang ditarik seekor kuda putih tengah melintas di depan masjid dengan keranda mayat di atasnya. Dahulu daerah tempat pondok pesantren ini berada adalah tempat markasnya Pangeran Diponegoro. Masjid yang ada di komplek ini juga menurut ceita adalah masjid peninggalan Pahlawan yang identik dengan kuda dan surban di kepalanya itu. Jadi ya mungkin saja kalau ada kejadian-kejadian aneh seperti yang diceritakan itu. Kuda dan kereta kencana yang sering terlihat itu juga mungkin milik Pangeran Diponegoro. Wallahua’lam deh, aku sendiri alhamdulillah belum pernah ketemu sama yang begituan. Tapi terus terang saja, sampai detik ini aku belum berani berjalan sendirian di tengah malam mengelilingi komplek pondok pesantren ini. Entahlah, selalu ada perasaan tidak enak ketika menatap pada tempat-tempat yang gelap di sekeliling pondok ini. Padahal sudah hampir lima tahun aku menjadi santri di sini. Untung saja tidak ada yang menyebutku si penakut.
Tapi tampaknya gadis yang satu ini tidak memiliki rasa takut sedikitpun terhadap cerita-cerita menyeramkan itu. Setiap malam antara jam dua sampai jam tiga pagi dia keluar dari kamarnya. Tanpa rasa canggung sedikitpun dia berjalan, dan setiap melewati rumpun bambu itu, kepalanya pasti celingak-celinguk seolah-olah ingin memastikan apakah ada sesuatu yang mencurigakan dari balik pepohonan bambu yang menjulang tinggi di hadapannya itu sambil kakinya terus berjalan. Kepergian gadis itu setiap malam ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat tahajut. Aku tahu karena pernah suatu saat tanpa sengaja dari balik tirai jendela kamarnya yang terbuka sedikit, aku melihatnya sedang shalat. Di saat lain, aku melihat dia sedang duduk bertafakur sambil memegang tasbih. Sungguh luar biasa, hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk menunjukkan rasa salutku kepadanya. Di saat santri-santri lain sedang tertidur lelap, gadis itu dengan khusyu’ menjalankan ibadah, berzikir mengucap asma Allah.
Nggak salah kan kalau akhirnya ada perasaan kagum pada diriku terhadap gadis itu. Karena perasaan kagum yang begitu besar terhadapnya, aku mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gadis itu kepada teman-teman di bagian penerima tamu yang sering mondar-mandir ke asrama putri. Informasi yang aku dapat, selain rajin menjalankan ibadah di malam hari, gadis yang kutahu bernama Annisa itu juga rajin sekali menjalankan ibadah di pagi hari. Shalat dhuha tak pernah ditinggalkannya. Selain itu ternyata dia memiliki otak yang cerdas dan wajah yang cantik serta kulit yang putih. Untuk informasi yang terakhir ini, aku sendiri merasa perlu untuk membuktikannya. Maklum, kalau malam kan warna kulitnya nggak terlihat jelas, apalagi dibalut busana yang serba panjang. Berhari-hari aku bolak-balik ke dapur umum di saat jam makan tiba. Entah itu pada saat jam makan pagi, siang atau malam. Hanya satu tujuanku yaitu berharap bisa bertemu dengannya di sana. Benar saja, setelah hampir seminggu aku menunggu kesempatan itu, akhirnya aku bisa berpapasan langsung dengan gadis itu di dapur. Wajahnya cantik meski hidungnya tidak terlalu mancung. Dari kulit tangannya yang terlihat, itu sudah cukup membuktikan bahwa dia memang memiliki kulit yang putih dan mulus. Saat itu bola matanya yang indah sempat beberapa detik menatapku. Aku mencoba tersenyum dan tak kusangka dia membalas senyumku. Ala maaak....rasanya seperti habis makan duren saja saat itu. Nikmat dan hmm....enak sekali. Sejak itu aku jadi semakin tertarik ingin berkenalan dengannya.
Suatu malam aku memberanikan diri untuk menyapanya ketika kami berpapasan di samping kamar mandi. Memang aku sengaja menunggunya di sana.
“Anisa ya”
“Eh kok tahu namaku”
“Tahu dong, kan cuma satu santri putri bernama Anisa yang punya nyali besar untuk bangun tiap malam, pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu”
“Lho, kok tahu juga kebiasaanku, suka ngintip ya”
“Iya ngintip dari jauh”
“Tapi nggak ngintip apa yang aku kerjakan di dalam kamar mandi kan?”
“Ih...porno deh, emang aku kurang kerjaan ngintip orang lagi hik....hik.....”
“Ih, kamu tuh yang porno”
“Maksudku orang yang lagi wudlu non, ngeres aja deh otaknya”
“Stt....jangan keras-keras ngomongnya, nanti kalau pak Kyai bangun bisa berabe kita, beliau akan menyangka kalau kita sedang berbuat yang tidak-tidak di sini”
“Biarin aja, kan biar sekalian dikawinin”
“Ih siapa yang mau kawin sama kamu”
“Jangan begitu, besok-besok kamu bisa kangen lho sama aku”
“Ih...sok pede banget sih kamu”
“Eh kamu nggak takut malam-malam jalan sendirian ke kamar mandi, padahal di sini kan sering ada penampakan, apalagi di rumpun bambu yang ada di sebelah sana itu”
“Ya bismillah ajalah, buktinya aku belum pernah digangguin tuh”
“Kalau sekarang ada yang nggangguin mau nggak?”
“Ya nggak dong”
“Kalau hantunya maksain untuk gangguin gimana dong?”
“Mana ada hantu mau ngganggu kok bilang dulu”
“Ini hantu baik”
“Kalau baik seharusnya kan nggak ganggu orang”
“Habis hantunya nggak tahan sih lihat gadis cantik jalan sendirian tiap malam”
“Stt.... udah ah, kalau hantunya mau gangguin jangan sekarang ya, soalnya aku mau buru-buru nih. Tolong bilangin, Annisa minta maaf karena nggak mau diganggu sekarang ya”
Aduh, makin gemes aja aku lihat tingkahnya itu. Akhirnya aku harus cukup puas dengan mengantarnya kembali ke kamarnya. Dan sejak malam itu, aku rela menjadikan diriku sebagai pengawal pribadinya, semoga saja Allah juga memberikan pahala kepadaku karena telah mengawal orang yang mau menjalankan ibadah.
Tak puas hanya menjadi pengawal pribadinya, suatu hari aku memberanikan diri untuk mengiriminya sepucuk surat. Dalam surat itu aku utarakan perasaan sukaku kepadanya yang selama ini aku pendam. Dia tidak langsung menjawabnya. Berhari-hari aku terus menunggu balasan surat darinya. Selama itu pula setiap malam aku masih terus mengawalnya. Tapi aneh, tak sedikitpun dia membicarakan soal surat itu ketika kami bercakap-cakap. Aku masih bersabar, mungkin dia harus melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah akan menerima cintaku atau tidak. Aku tak mau mendahului dengan bertanya, khawatir ada kesan memaksa. Bisa-bisa malah membuat dia merasa tidak nyaman. Seminggu, sebulan, aku terus menunggu balasan surat darinya, namun dia sepertinya tidak perduli. Akhirnya kutulis lagi sepucuk surat dengan maksud menanyakan jawaban dari surat pertama yang pernah aku kirimkan. Alhamdulillah, akhirnya penantianku membuahkan hasil. Gadis itu membalas suratku. Tapi sayang, dia belum bisa menerima cintaku. Meski kecewa aku tak lantas menjauhinya. Aku tetap menemuinya setiap malam, dengan begitu aku berharap suatu saat hatinya akan luluh dan mau menerima cintaku.
***********
Hari jum’at, adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu oleh para santri, karena di hari itu seluruh santri boleh ijin bepergian keluar komplek pondok pesantren atau santri boleh menerima tamu siapapun di ruang tamu pondok yang memang sudah disediakan. Satu hari jum’at yang entah tanggal berapa waktu itu aku lupa tepatnya , yang jelas hari jum’at itu benar-benar merupakan hari keberuntunganku. Pagi itu, iseng aku pergi ke ruang tamu. Sebenarnya sih sekalian mau minum kopi nasgitel (panas, legi, kentel) di warung yang ada di sebelah ruang tamu. Di warung itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tengah menikmati kopi. Aku tersenyum kepadanya dan dia membalas senyumanku dengan anggukan kepala. Singkat cerita, setelah bercerita panjang lebar, kami kemudian menjadi akrab. Sebenarnya sih aku yang berusaha mengakrabkan diri, karena aku tahu laki-laki itu ternyata adalah bapaknya Anisa, yang memang sengaja datang ke pondok untuk menjenguk anaknya. Kebetulan sekali yang menjadi anaknya adalah gadis cantik yang selama ini telah mencuri hatiku. Kesempatan itu tentu saja tidak aku sia-siakan. Kalaupun belum bisa mengambil simpati anaknya, apa salahnya mencoba langsung ke bapaknya. Dan ternyata usahaku memang tidak sia-sia. Laki-laki itu mulai menaruh kepercayaannya kepadaku, di hadapan Anisa yang ketika datang terlihat terkejut mendapatiku telah berakrab-akrab ria dengan bapaknya, laki-laki itu mengucapkan kalimat yang membuat hatiku melambung hingga tinggi di awan. “Nak, bapak titipkan putri bapak, Anisa kepada nak Arman ya. Tolong kalau ada masalah atau Anisa sedang perlu bantuan, mohon dibantu”, begitu ucapan bapaknya kepadaku. Tentu saja aku tidak keberatan menerima amanat itu. Siapa sih yang tidak senang dititipi seorang gadis cantik. Aku lantas menjawab “iya” dengan penuh semangat. Anisa pun sepertinya tidak keberatan, sedikitpun dia tidak memprotes sikap bapaknya itu. Dia kan gadis shalehah. Di hatinya jauh dari segala buruk prasangka dan dia lebih menomorsatukan baktinya kepada orang tua daripada memikirkan perasaannya sendiri. Sejak saat itu, jalan terbuka bagiku untuk selalu berhubungan dan menjalin komunikasi dengan Anisa. Ada saja alasanku untuk mengajaknya bertemu, sekedar menanyakan kabarnya, kabar keluarganya, atau membahas tentang segala persoalan yang menyangkut pelajaran atau agenda-agenda yang akan dikerjakannya. Meski setiap malam aku tetap rajin menyapanya tapi kan waktunya hanya sesaat saja, tidak bisa bebas berbicara. Jadi hampir setiap hari jum’at aku mengajaknya ketemuan. Kalau dia punya acara keluar pondok aku juga mencari-cari alasan agar bisa juga keluar. Ada satu pelajaran yang menurut dia sulit untuk diikuti yaitu speak english. Entah ini kebetulan atau memang Tuhan memberikan jalan untukku untuk terus berdekatan dengannya, kebetulan banget aku sangat menguasai pelajaran ini. Jadilah kemudian dia rajin berguru kepadaku dan aku senang banget karena waktuku bersamanya menjadi semakin lama dan semakin sering. Yang paling penting, jadi ada semacam legalitas kenapa kami harus selalu bertemu. Siapa tahu kan dari seringnya kami bertemu menumbuhkan cinta di hati gadis itu. Pertemananku dengan Annisa yang terlihat begitu dekat, akhirnya menjadi buah bibir di kalangan teman-teman santri. Banyak yang menganggap bahwa kami memang sepasang kekasih. Aku sih senang-senang saja kalau mereka beranggapan begitu. Dengan begitu kan nggak ada yang berani mendekati Annisa. Anisa sendiri tidak ambil pusing dengan anggapan-anggapan itu. “Biar aja lah mas, mereka menganggap kita ini apa, selama tidak merugikan kita, ya fine aja”, jawabnya ketika kutanyakan pendapatnya. Aku sendiri dibuat bingung oleh sikap Anisa ini. Sebenarnya seperti apa sih perasaan dia kepadaku. Kalau dia tidak mau menerima cintaku tetapi kenapa juga tidak marah ketika dituduh telah berpacaran denganku. Apakah saking baiknya hatinya dan tidak mau berprasangka buruk kepada orang lain sehingga dia mengikhlaskan apapun yang dikatakan orang tentang dirinya. Entahlah, yang jelas kekagumanku kepadanya menjadi semakin bertambah dan keinginan untuk bisa memilikinyapun bertambah kuat, meski pada akhirnya waktu yang terus berjalan tak memberikan jawaban yang membahagiakan buatku. Masaku menjadi santri di pondok telah usai. Aku harus keluar pondok untuk meneruskan perjalanan hidupku, menentukan masa depanku. Sementara Annisa masih membutuhkan waktu beberapa tahun lagi untuk menyelesaikan pendidikannya di Pondok. Ketika kami bertemu untuk mengucap kata perpisahan, kuungkapkan sekali lagi isi hatiku kepadanya. Namun jawabannya tetap sama, dia belum bisa menerima cintaku karena tidak ingin pacaran. Ketika kudesak untuk mengatakan perasaannya kepadaku dia hanya menjawab bahwa dia sangat respek kepadaku dan senang bergaul denganku. Aku harus cukup puas dengan jawaban itu. Di akhir pertemuan, aku hanya berpesan, jika suatu saat dia telah siap untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, aku ingin akulah pria pertama yang dia tawari untuk menjalin hubungan dengannya. Dia mengangguk meski dengan wajah menunduk.
******************
Komunikasi terus aku lakukan dengan Annisa meski kami hidup berjauhan. Entahlah, sepertinya hatiku tak bisa lepas dari gadis itu. Bayangan wajahnya selalu menghiasi mimpi-mimpiku dan memadati lembar-lembar buku kuliahku. Padahal di kampus tempatku kuliah ada ratusan gadis yang tak kalah cantiknya dengan Annisa, namun hatiku tak mampu untuk berpaling dari cinta Annisa. Hari-hariku terus dibayangi oleh keshalehan dan kebaikan gadis itu. Hatiku benar-benar terbakar oleh api kerinduan terhadapnya. Surat maupun komunikasi yang kami jalin lewat telpon tak mampu memadamkan kerinduanku kepadanya. Hingga suatu saat ketika libur kuliah aku memutuskan untuk mengunjunginya. Annisa sempat kaget ketika sudah berada di ruang tamu dan tahu bahwa akulah tamu yang ingin menemuinya. Sempat tertangkap olehku binar kebahagiaan terpancar di matanya dan itu membuatku sangat senang karena ternyata dia masih wellcome terhadapku. Kugenggam dengan erat jemarinya ketika kami berjabat tangan. “Bagaimana kabarnya Nisa”, tanyaku dengan suara berat karena menahan gemuruh hasrat di dadaku.
“Baik, mas sendiri kelihatannya juga sehat. Aku benar-benar nggak nyangka lho kalau yang datang ternyata mas Arman”
“Aku memang sengaja tidak memberitahumu dulu karena khawatir kamu tidak mau menerima kunjunganku”
“Mas bisa aja. Mosok sudah jauh-jauh datang tidak dihargai. Itu namanya tidak menghormati tamu”
“Alhamdulillah. Gimana bahasa Inggrisnya, pasti sekarang sudah sangat lancar ya. Setelah aku nggak ada, Anisa belajarnya dengan siapa?”
“Alhamdulillah, berkat dulu rajin bertanya sama mas Arman, sekarang aku mulai menguasai pelajaran itu. Belajarnya ya sama teman-teman saja, kan gurunya sudah tidak di sini”, jawabnya sedikit bergurau.
Lega rasanya hatiku mendengar jawaban itu. Aku sangat khawatir jika sepeninggalku dia mencari santriwan lain untuk mengajarinya bahasa Inggris.
“Kuliahnya gimana mas, enak nggak kuliah?, jangan-jangan pelajarannya lebih susah dari di sini”
“Kuliah itu asyik, lebih santai. Tapi karena harus berjauhan sama kamu, aku jadi tersiksa setiap hari”
“Mas Arman bisa aja ih. Masih seperti dulu, belum berubah. Sukanya terus menggoda orang”
“Aku sungguh-sungguh Nisa. Aku nggak pernah main-main memendam perasaanku kepadamu. Kamunya aja yang nggak sensitif. Tega banget sih kamu manyiksa aku”
“Stop.....stop...., ih kok mas jadi nyalahin orang”
“Ya iya dong. Habis percuma kamu rajin ibadah tapi hobinya menyiksa perasaan orang. Ibadahnya nggak diterima tau’”
“Ih....nyebelin banget sih. Dari dulu itu saja yang mas katakan. Terus maunya mas gimana?”
“Mauku?, benar nih mau tahu mauku”
Anisa mengangguk sambil menunduk.
“Mauku, dari dulu sampai sekarang, nggak pernah berubah sedikitpun, aku mau kamu menerima cintaku, menjadi pacarku”
Annisa diam. Dia benar-benar diam dan tak mau menatapku. Setengah jam berlalu, dia tetap membisu. Satu jam hampir berlalu dia masih diam. Akhirnya aku berdiri. Kusangkutkan tas ransel ke pundakku. Lalu aku pamit untuk pergi shalat jum’at sekaligus pulang. Annisa tetap diam. Aku berjalan dengan membawa rasa kecewa dan kepedihan di hati karena Annisa benar-benar tak mau membalas cintaku. Namun ketika baru sampai di ambang pintu. Tiba-tiba gadis itu bersuara. “Kita ketemu lagi setelah shalat jum’at di sini”
“Untuk apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya.
“Untuk menyatukan dua keping hati yang selama ini terpisah”, setelah mengatakan itu Annisa berlari pergi. Tiba-tiba hidupku menjadi penuh semangat. Akhirnya harapan itu terkabul. Aku melangkah dengan seulas senyum meninggalkan ruang tamu menuju masjid.
Setelah kunjungan yang melahirkan sebuah komitmen itu, tiap dua bulan atau tiga bulan sekali kuluangkan waktu untuk mengunjunginya. Menumpahkan rasa kangenku kepadanya. Kata teman-teman yang masih berada di Pondok, Annisa tetap seperti yang dulu, tiap malam masih rajin melakukan rutinitasnya. Aku senang mendengarnya, berarti keshalehan gadis itu tidak perlu diragukan lagi. Tentu gadis seperti itulah yang didambakan setiap laki-laki untuk kelak dijadikan sebagai pendamping hidupnya. Aku terus berusaha memupuk cinta gadis itu kepadaku dengan tetap rajin mengunjunginya. Ada kalanya aku menjemputnya untuk keluar pondok. Kami pergi melihat pameran atau belanja keperluannya.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah aku menjalin hubungan dengan Annisa, dan selama itu tak sedikitpun ada rasa bosan untuk terus bolak-balik dari kota tempatku kuliah ke pondok untuk mengunjungi dan melepaskan rasa kangenku kepadanya. Sampai akhirnya batas waktu dia nyantri di pondokpun telah selesai. Dia memutuskan untuk meneruskan kuliah di kota yang sama denganku. Alasannya biar aku tidak perlu pergi jauh-jauh lagi untuk mengunjungiku. Namun dia tidak mau ketika kutawarkan untuk kuliah di perguruan tinggi yang sama denganku dan mencari kost yang jaraknya dekat dengan tempat kostku. Dia khawatir jika kami selalu berdekatan, malah akan semakin mendekatkan kami kepada fitnah. Meski terpaksa aku harus menyetujui pendapatnya. Itu resiko yang harus aku tanggung karena telah berpacaran dengan gadis shalehah. Ada baiknya juga, karena dengan begitu, akan selalu ada rasa rindu untuk bertemu dengannya. Lagi pula kekhawatiran dia sangat beralasan karena setiap kali berdekatan dengannya rasa kelelakianku sepertinya langsung bangkit, dengan sekuat tenaga aku selalu berusaha untuk membendungnya. Aku tak mau membuat gadis itu merasa tidak nyaman ketika berdekatan denganku. Sejak menjalin hubungan dengannya, belum sekalipun aku pernah merasakan manisnya madu yang terselip di kedua bibirnya. Jangankan untuk mencium bibirnya, mengelus pipinya pun aku belum pernah melakukannya. Pernah suatu hari aku memintanya dan dia menolak dengan halus. Waktu itu dia bilang kalau suatu saat nanti dia pasti akan menyerahkan seluruh dirinya kepadaku. Rasanya lama sekali menunggu saat itu tiba. Sementara pesona yang memancar dari dirinya seolah-oleh memanggil para setan yang memang sudah lama mengelilingiku untuk segera melancarkan agresi. Salah satu teman kostku pernah bercerita ketika pertama kali dia mencium pacarnya, pacarnya itu menamparnya. Tapi kejadian seperti itu hanya sekali saja terjadi, karena untuk selanjutnya justru pacarnyalah yang meminta untuk dicium. Lebih gilanya, lama kelamaan tidak hanya ciuman saja yang diberikan pacarnya itu kepada temanku, tapi apapun yang diinginkan oleh temanku itu, sang pacar tak pernah bisa menolaknya. Hanya satu saja yang belum mereka lakukan yaitu berhubungan badan. Temanku itu memang gila. Tapi aku tidak mau mengikuti caranya, pacarku kan tidak seperti pacarnya. Iya kalau cuma ditampar, kalau kemudian dia memutuskan hubungan kan bisa berabe. Bisa beneran gila aku nanti. Biarlah Annisa tetap seperti Annisa yang pertama kali aku kenal dulu. Kalau dia bisa menjadi gadis yang shalehah, kenapa aku tidak bisa menjadi lelaki soleh, meskipun hanya di hadapannya.
Tuhan memang maha mendengar dan maha penyayang terhadap umatnya yang mau berdoa dan meminta. Kesempatan itu akhirnya datang juga meski dengan cara yang sama sekali tidak kami inginkan. Tapi pada setiap peristiwa yang terjadi, Tuhan pasti tidak lupa menyelipkan hikmah yang bisa kita petik. Sore itu setelah aku pulang dari mengunjunginya di kostnya, tiba-tiba Annisa menghubungi handphoneku. Suaranya terdengar serak dan sedikit menangis.
“Ada apa Nis?” tanyaku dengan dana khawatir
“Bapak mas, Bapak....” dia tak bisa meneruskan kalimatnya. Tangisnya semakin terdengar kencang.
“Kenapa dengan Bapak Nis?”, tanyaku semakin khawatir.
“Bapak kecelakaan mas, kondisinya kritis”
“Ya Allah, tenang Nis, jangan menangis begitu. Kamu yang tabah ya, kita do’akan semoga Bapak bisa melewati masa kritisnya. Aku akan segera ke tempatmu” Aku lalu memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam ranselku. Setelah menitipkan motor ke tetangga, aku bergegas mencari taksi.
Sesampainya di tempat kost Annisa, gadis itu telah bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Airmatanya mengalir deras ketika melihat kedatanganku. Kuusap airmata yang menggenangi kedua pipinya. Itu pertama kalinya aku menyentuh pipinya. Tanganku sedikit bergetar ketika menyentuh pipi halus itu. Inilah saat yang sudah lama aku idam-idamkan, bathinku, dan entah datang darimana keberanian itu, dengan hati-hati kuraih kepalanya dan kuletakkan di atas dadaku. Tangisnyapun meledak. Bahunya berguncang keras dan aku terus mengusap pipinya.
“Sudah, jangan menangis terus, nanti malah kamu ikut-ikutan sakit lho”, ucapku sambil menegakkan kepalanya. Kutatap wajahnya yang terlihat kuyu dan dengan alasan memberinya kekuatan moril sebuah kecupan lembut kulabuhkan di bibirnya yang basah oleh airmata. Sontak dia menatapku namun tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Dengan sedikit malu dia menutupi bibirnya dengan kain kerudungnya. “Maafkan aku Annisa, aku benar-benar tak tahan melihat bibirmu yang basah oleh airmatamu”
Sore itu juga, aku menemani Annisa pulang ke kampungnya. Kulihat kondisi bapaknya memang sangat parah. Menurut dokter, sangat tipis harapannuya untuk bisa hidup. Beberapa tulang iganya patah, menyebabkan laki-laki itu mengalami pendarahan yang hebat. Benar saja, setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, akhirnya beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Annisa dan keluarganya begitu larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak, laki-laki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga tanpa disangka-sangka meninggalkan mereka begitu cepatnya. Akupun merasakan kesedihan yang sama seperti yang mereka rasakan. Dalam keadaan seperti itu kulihat Annisa semakin rajin menjalankan ibadahnya. Siang dan malam dia terus beribadah. Mungkin dengan cara itu dia berharap kesedihan yang dia rasakan bisa berkurang. Aku semakin salut dengan gadis itu. Di antara saudara-saudaranya dialah yang paling tegar menghadapi musibah itu. Padahal mungkin di dalam hati kecilnya pun dipenuhi oleh kegundahan dan kegelisahan menghadapi masa depannya yang pasti menjadi tidak jelas tanpa kehadiran sang kepala keluarga. Berpikir seperti itu membuat bulat tekadku untuk segera menikahinya. Mungkin dengan aku menikahinya aku bisa membantu keluarganya. Paling tidak untuk urusan kuliah dan kebutuhannya ada aku yang akan menanggungnya. Tokh untuk urusan nafkah lahir insya Allah aku sudah mampu. Berkat keuletanku selama ini, kini aku sudah memiliki beberapa usaha foto copy dan rental komputer yang kubuka di sekitar kampusku. Aku memang rajin mengumpulkan uang yang setiap bulan dikirim oleh orang tuaku untuk keperluan kuliahku. Maklumlah, aku kan anak semata wayang mereka. Jadi wajar saja kalau mereka tetap memanjakanku meskipun aku sudah gaek begini. Sedangkan untuk urusan nafkah bathin, he....he...., begini-begini aku kan lelaki tulen, jadi begitu mengalami yang namanya baligh, insya Allah aku sudah siap dan bisa memberikan nafkah bathin kepada istri. Aku yakin Annisa maupun keluarganya pasti akan setuju dengan rencanaku ini. Kalau orang tuaku sudah pasti setujunya. Mereka sudah pernah beberapa kali bertemu dengan Annisa. Jadi Insya Allah mereka sudah cukup mengenal dengan baik calon menantunya. Menikah itu kan yang paling urgent adalah mendekatkan ibu kita dengan menantunya. Kalau ibu kita sudah bilang oke tentang calon menantu perempuannya, pasti kesananya akan lancar dengan sendirinya. Tapi kalau ibu kita bilang masih ragu, ada kemungkinan ke sananya nanti akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Sudah banyak fakta yang terjadi di sekelilingku. Aku nggak mau hal seperti itu nanti terjadi pada hubungan antara Annisa dengan ibuku. Biar bagaimanapun akan sangat sulit bagi aku untuk berpihak kepada salah satu dari mereka. Keduanya kan sama-sama perempuan yang sangat berarti bagiku.
Berbekal keyakinan itu, pada malam setelah selesai pengajian memperingati tujuh hari meninggalnya almarhum aku mengajak bicara Annisa tentang rencanaku itu. Awalnya Annisa sedikit kaget. Dia tidak menyangka kalau secepat itu aku akan mengajaknya menikah.
“Annisa sih terserah mas saja”, jawabnya malam itu.
“Kalau begitu sekarang kita bicara saja sama Ibu, gimana?”
“Apa nggak sebaiknya mas bicara dengan keluarga mas terlebih dahulu?”
“Ya sudah, kalau begitu besok setelah aku kembali dari sini, aku akan langsung menemui mereka. Kamu juga harus bicara sama Ibumu”
“Iya mas”.
Begitulah, akhir kata baik keluargaku maupun keluarga Annisa setuju jika kami menikah. Tanpa menunda-nunda waktu lagi, kami mempersiapkan semua kebutuhan untuk resepsi pernikahan kami. Meski hanya sanak suadara dan beberapa teman dekat saja yang hadir, pesta pernikahan kami berjalan dengan khidmat. Apalagi diselingi oleh isak tangis dari keluarga Annisa. Maklumlah, tentunya mereka teringat kembali kepada almarhum ayah Annisa yang seharusnya menjadi wali di pernikahan kami. Ibu Annisa bahkan sempat pingsan ketika menyaksikan akad berlangsung. Annisa sendiri berkali-kali menyebut istighfar ketika himpitan kesedihan itu menguasai hatinya. Dia memang gadis yang shalelah. Di manapun dia berada tak pernah ditinggalkannya Tuhan dari kehidupannya. Inilah istri yang aku idam-idamkan. Aku bersyukur karena pada akhirnya bisa mempersuntingnya.
Depok, 6 Desember 2007

Tidak ada komentar: