Kamis, 20 November 2008

KESETIAAN


Tiga bulan usia kandunganku ketika dengan sangat marahnya Romo mengusir Gusti dari rumahku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bisa bertemu dengannya. Kata tukang kebunku, berkali-kali Gusti berusaha untuk menemuiku tetapi orang-orang yang bekerja di rumah tidak ada yang berani menyampaikannya padaku. Mereka semua takut dipecat Romo jika ketahuan telah membantu Gusti. Gusti sangat tertekan dengan keadaan itu. Mungkin karena alasan itu dia kemudian memutuskan untuk pergi dari kota kami. Aku tahu dari surat Gusti yang ditulisnya untukku. Di dalam suratnya dia berkali-kali meminta maaf padaku karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan cinta kami. Dia juga mohon pamit untuk pergi jauh bukan dengan maksud untuk meninggalkanku begitu saja tapi dia sendiri merasa putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahan untuk tetap tinggal di kota kami. Berada dekat denganku tetapi tidak bisa melihatku. Aku benar-benar sedih dan kalut saat membaca suratnya. Aku takut kehilangan Gusti, aku takut tak bisa lagi bertemu dengannya. Lalu aku berusaha untuk kabur dari rumah. Aku ingin ikut kemanapun Gusti pergi, tetapi harapan itu kandas. Romo memergokiku dan beliau murka. Akhirnya dibuangnya aku jauh ke tempat ini. Hancur luluh hatiku. Pupus sudah harapanku untuk bisa bertemu dengan Gusti. Di tempatku yang baru, aku seperti mayat hidup, berhari-hari aku tak mau makan dan tak mau bicara. Dengan sabar mbok Ijah terus menemani dan membujukku. Perempuan tua itu tak henti-hentinya mengingatkanku akan bayi yang berada di dalam rahimku. Akupun luluh. Aku tak mau kehilangan bayiku. Bayi itu adalah harta paling berharga yang aku miliki, anak yang dititipkan Gusti. Buah cinta kami berdua yang kelak mungkin akan mempertemukan kami kembali.

Di tempat pembuanganku bayi itu lahir. Seorang bayi perempuan yang cantik. Aku namai dia Bintang Anugrahning Gusti. Bintang yang dianugerahkan Tuhan melalui cinta Gusti untukku. Aku berharap kelak dia benar-benar menjadi seorang bintang dalam perjalanan hidupnya. Setelah Bintang lahir, aku mencoba mencari tahu tentang keberadaan Gusti dengan cara menghubungi kembali teman-temanku. Tetapi semua usahaku hanya sia-sia. Teman-teman yang dulu setia melindungi kami sudah banyak yang pindah tempat tinggal. Mereka yang ada juga tidak pernah menerima kabar darinya. Tapi aku tidak putus harapan. Aku yakin suatu saat Bintang kecilku pasti akan mempertemukan kami kembali meski entah kapan. Dengan keyakinan itu pula sampai sekarang aku tidak bisa menerima tawaran laki-laki lain yang ingin mengajakku menikah. Akupun tak punya niat untuk kembali ke rumah Romo meski berkali-kali Ibuku membujukku untuk kembali. Aku bertekad untuk membesarkan Bintang dengan tanganku sendiri.

“Mama.....”, gadis berumur tiga tahun itu menghampiriku. Kedua tangannya yang montok segera memeluk tubuhku. “Bintang mau maem lagi ma”, rengeknya manja.

“Oke, honey boleh maem lagi tapi sebelumnya harus mandi dulu, karena sudah sore ya?”

Gadis kecil itu mengangguk setuju. Segera kulucuti pakaiannya dan membopong tubuhnya yang padat berisi itu ke kamar mandi.

Dari dapur mbok Ijah mengelus-elus dada melihat keakraban kami. Mbok Ijaklah satu-satunya orang yang tahu sejarah kami berdua. Orang tua itu begitu sayang kepadaku sehingga ketika Romo memutuskan untuk membuangku ke tempat ini mbok Ijah memaksa untuk ikut bersamaku. Aku sendiri tak bisa jauh dari mbok Ijak, dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri karena memang sejak kecil dialah yang mengasuhku. Dia lebih tahu tentang sifat dan karakterku daripada ibu kandungku sendiri. Dari orang tua itu pula aku belajar banyak tentang arti cinta, kesabaran dan kesetiaan. Dulu sambil menyuapiku makan dia selalu mengajariku tentang falsafah hidup yang tidak pernah aku lihat ada pada keluarga ningratku. Satu kalimat yang masih kuingat hingga kini adalah bahwa jangan sekali-kali menilai orang dari derajatnya. Terkadang orang yang lahir di lingkungan berderajat rendah, budi pekertinya lebih mulia daripada orang yang terlahir di lingkungan yang berderajat tinggi.

Setiap saat aku berusaha mencerna dan meresapi arti kalimat itu. Hingga tanpa kusadari aku telah berjalan di atas kalimat itu. Mbok Ijah senang karena aku tak pernah pilih-pilih dalam berteman. Bahkan kebanyakan teman-temanku berasal dari kalangan orang tak mampu. Romo selalu marah kalau melihat aku mengajak beberapa temanku yang berpakaian kumal itu memasuki halaman rumah besar kami. Romo mengusir mereka dan kemudian memanggil mbok Ijah dan menuduh orang tua itu telah mengajarkan hal-hal yang tidak benar kepadaku. Sejak saat itu aku mulai mengerti dan melihat kebenaran dari kalimat yang mbok Ijah tanamkan di benakku. Aku tak lagi gentar oleh amarah Romo. Dengan sembunyi-sembunyi aku tetap bermain dengan teman-temanku itu.

Kini kalimat itu selalu aku dengungkan di telinga Bintang kecilku. Aku berharap dia juga dapat mencerna dan meresapi kalimat itu dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Aku ingin dia tahu bahwa ayahnya juga berasal dari kalangan orang yang berderajat rendah, tetapi pintar dan memiliki hati yang baik.

Sering Bintang bertanya kenapa ayahnya tidak berkumpul dengan kami seperti keluarga yang lain. Aku selalu menjawab bahwa meski jauh, ayah sangat sayang pada Bintang dan suatu saat ayahnya akan datang untuk menemuinya, lalu mengucapkan kata I love you and I miss you so much my little girl. Gadis kecil itu kemudian akan menjawab sendiri seperti yang kuajarkan I love you and I miss you too, ayah. Setiap kali mendengar kalimat-kalimat mesra itu, mataku selalu berkaca-kaca, kenangan-kenangan indah yang dulu kami buat bersama kembali muncul, menari-nari di pelupuk mataku. Dulu, setiap hari senin pagi, Gusti pasti mengucapkan kalimat-kalimat itu. Karena di hari minggu kami tak bertemu. Romo tak pernah mengijinkan aku keluar rumah untuk acara apapun di hari minggu kecuali pergi bersama keluarga.

********

Perkenalanku dengan Gusti berawal ketika mbok Suminah juru masak di rumahku memperkenalkan anak lelakinya kepada Romo dan Ibu. Pemuda yang hanya lulusan SMA itu sudah beberapa bulan ini tidak bekerja. Kontrak kerjanya sebagai sopir di sebuah perusahaan sudah habis. Karena itu dengan merendah-rendah mbok Suminah memintakan pekerjaan untuknya kepada Romo. Waktu itu tahun pertama aku masuk perguruan tinggi. Akhirnya Romo memberinya pekerjaan sebagai sopir yang bertugas mengantar dan menjemputku kuliah.

Gusti pemuda yang sangat baik, sopan dan ramah. Meski hanya lulusan SMA, dia tidak kelihatan kampungan. Dia sangat pandai membawa diri ditambah lagi wajahnya yang lumayan ganteng dan otaknya yang cerdas, membuatku suka bergaul dengannya. Banyak teman-teman yang menggodaku bahwa dia lebih pantas menjadi pacarku ketimbang seorang sopir. Gurauan itu kami tanggapi hanya dengan senyum-senyum saja tapi terkadang dengan nakal aku jawab bahwa memang kami pacaran. “Hati-hati kalau bicara non, nanti kalau Romo non dengar bisa marah dan saya bisa dipecat”, ujarnya setiap kali aku berkata begitu.

“Ndak apa-apa, aku yang akan bertanggungjawab kalau Romo marah”, jawabku.

Setiap hari hubunganku dengan Gusti bertambah baik, dia lebih kunggap sebagai seorang sahabat daripada sekedar sopir. Kepadanya sering aku tumpahkan segala macam uneg-uneg yang mengganjal hatiku, terutama tentang peraturan Romo yang sangat protect terhadap diriku. Aku senang karena dia sangat respon dan selalu memberi perhatian terhadap apa saja yang aku ceritakan kepadanya.

Witing tresno jalaran soko kulino pepatah Jawa itulah yang tampaknya mulai mewarnai perjalanan kami berdua. Setiap hari bertemu, bertegur sapa, bercanda, rasanya kami mulai saling merindukan dan bergantung satu sama lain. Mbok Ijah diam-diam memperhatikan perubahan yang terjadi pada diriku. Orang tua itu tahu kalau aku sedang jatuh cinta. Dia selalu mengingatkanku untuk berhati-hati, begitu juga kepada Gusti dia selalu mengingatkan untuk tetap menjaga sikap. Tidak ada yang tahu jalinan cinta kami kecuali mbok Ijah. Di hadapan orang lain dan terutama Romo kami tetap berlaku sebagaimana majikan dan sopir. Kami ingin jalinan cinta ini tetap terjaga dan menurut kami itulah cara teraman untuk menjaganya. Biarlah hanya kami berdua dan mbok Ijah saja yang tahu. Lalu aku mulai pandai mengarang-ngarang cerita kepada Romo mengapa setiap hari aku selalu terlambat pulang. Untungnya Romo tidak pernah bertanya secara detail tentang kegiatanku di kampus. Mungkin juga karena dia percaya bahwa aku tidak mungkin akan berbuat yang macam-macam apalagi jatuh cinta kepada seorang sopir.

Tanpa terasa dua tahun sudah kami merahasiakan hubungan cinta kami. Semakin hari semakin berat rasanya untuk berpisah. Inginnya selalu bersama, saling memberi kasih sayang, saling mengucap kata sayang, I love you so much, I miss you so much lalu kami akan saling jawab I love you too, I miss you too. Rasanya tak ada kata-kata indah yang bisa melebihi kata-kata itu. Gejolak asmara itu semakin tak bisa dibendung. Kami benar-benar lupa diri. Bayang-bayang Romo yang tak mungkin bisa merestui hubungan kami membuat perasaan cinta kami semakin dalam. Hingga akhirnya kami melakukan hal terlarang itu. Rasa saling memiliki yang terlalu berlebihan membuat kami lupa diri.

Aku mulai terlambat menstruasi. Aku sampaikan hal ini kepada Gusti dan dia tampak sangat senang. Dia memang selalu berkata ingin mempunyai anak yang lahir dari rahimku, alasannya pasti anaknya akan cantik seperti ibunya dan tidak ada alasan bagi Romo untuk menolak untuk menikahkan kami jika tak ingin keluarga malu. Tetapi pasti masalahnya tidak semudah dan sesederhana yang kami bayangkan. Kamipun mulai gelisah memikirkan bagaimana harus mengatakan hal ini kepada keluargaku.

“Tenang sayang, kita akan cari jalan keluarnya”, ucapnya mencoba menenangkanku tiap kali kuungkapkan kegelisahanku. Aku tahu bahwa dia juga takut dan khawatir.

Memasuki bulan kedua mbok Ijah mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuhku. Dengan sangat hati-hati perempuan tua itu bertanya tentang kebenaran analisanya kepadaku. Aku yang sudah lama memendam kegelisahan seorang diri tanpa bisa kutahan lagi langsung menangis dalam pelukan perempuan tua itu. Mbok Ijah mengelus-elus rambutku dan bertanya apa rencana kami dengan bayi yang ada di dalam perutku. Aku menggeleng bingung. Pada dasarnya aku dan Gusti ingin mempertahankannya karena dia adalah hasil buah cinta kami. Tetapi setiap kali terbayang wajah Romo hati kami menjadi ciut, tak tahu mesti berbuat apa. Mbok Ijak sangat prihatin dan dia sedih karena tak bisa membantu masalahku. Ibuku yang akhirnya juga tahu keadaanku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak menyalahkan mereka. Aku sadar, siapapun tak bisa menghadapi sifat keras Romo.

Pada akhirnya aku tak bisa lagi menyembunyikan kehamilanku dari Romo. Aku tak bisa lagi berbohong bahwa rasa mual ku itu karena masuk angin. Romo sangat murka, sementara Ibu hanya menunduk dan pasrah dituduh sebagai perempuan yang tidak becus mendidik anak. “Katakan, siapa laki-laki itu?”, tanya Romo kepadaku dengan suara keras. Matanya merah dan gerahamnya mengeras. Aku tak bisa menjawab. Aku tak mau membuat romo bertambah marah. Tapi sikap diamku justru membuat Romo meradang. Romo hampir saja menamparku ketika dengan tiba-tiba Gusti datang dan mengaku sebagai laki-laki yang akan bertanggungjawab atas bayi yang kukandung. Mata Romo seketika melotot seolah mau keluar. Dengan langkah panjang Romo menghampiri Gusti, menampar wajahnya dan menuding-nuding Gusti sebagai orang yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak tahu toto kromo dan segudang kata-kata penghinaan lainnya. Saaat itu juga Romo mengusir Gusti dan juga mbok Suminah. Romo lebih senang aku hamil tanpa suami daripada menerima Gusti yang anak seorang juru masak itu sebagai menantunya.

Itulah sekelumit kisah perjuangan yang aku dan Gusti lakukan untuk bisa memiliki cinta yang tumbuh di dalam hati kami berdua. Meskipun pada akhirnya jalinan kasih itu tak sampai, aku terus berusaha untuk menjaganya agar cinta itu tetap tumbuh di hatiku. Aku terus hidup dengan kenangan yang dia tinggalkan untukku. Itulah satu-satunya alasanku kenapa aku tetap menunggunya hingga detik ini. Aku yakin suatu saat dia pasti kembali untuk menemui Bintang dan aku.

Kupandangi Bintang kecilku yang sudah tertidur pulas di sampingku. Kucium pipinya yang lembut dan kubisikkan ke telinganya kalimat I love you so much honey. “Gusti, di manapun kamu berada, aku percaya bahwa kamupun pasti sedang merindukan kami berdua.

Ciganjur, Juli 2002


Tidak ada komentar: