Selasa, 11 November 2008

KIRIMAN MISTERIUS


Kisah ini berawal ketika seorang remaja bernama Desi, kelas 1 SMA bercita-cita ingin membangun sebuah sekolah khusus untuk anak-anak jalanan yang setiap hari berkeliaran di jalanan yang dia lewati ketika berangkat atau pulang sekolah. Hatinya begitu trenyuh melihat anak-anak usia balita tanpa alas kaki melangkah di atas lapisan aspal yang pastinya akan terasa sangat panas ketika tertimpa terik matahari, mereka bergelantungan di atas bis-bis kota tanpa rasa takut terjatuh. Mata Desi selalu berkaca-kaca manakala bertatapan dengan mata mereka. Pastilah umur anak-anak itu sepantaran dengan Dito adiknya. Dito masih bersikap manja. Dia hampir tidak bisa melakukan sendiri apa yang dimauinya, seperti memakai pakaian, makan, minum, semua masih minta dilayani bahkan hal-hal yang kiranya berbahaya untuk dilakukannya, tak pernah luput dari pengawasan orang tua. Sementara, anak-anak jalanan ini, mereka begitu lincah naik dan turun dari mobil, berjalan di antara seliweran motor dan mobil tanpa rasa takut. Mereka juga pasti tak sempat untuk memikirkan membeli sebuah mainan yang menjadi hal paling diinginkan oleh anak-anak seusia mereka. Hampir tiap kali diajak ke pasar, Dito selalu minta dibelikan mainan. Padahal mainan di rumahnya sudah sangat banyak. Membayangkan semua itu, Desi selalu tak bisa menahan untuk tidak menangis. Dia selalu membayangkan seandainya dirinya memiliki uang yang banyak, pasti dia akan mengumpulkan anak-anak itu dan memberikan semua yang mereka butuhkan.

Terobsesi oleh cita-citanya itu, suatu hari ketika ada sebuah bank yang datang ke sekolahnya untuk mengenalkan program tabungan bagi pelajar, Desipun membuat sebuah rekening untuknya. Dengan tulus dia niatkan tabungannya itu kelak untuk mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan. Meski dia tak tahu kapan hal itu akan terwujud karena dari uang jajan yang diberikan oleh orang tuanya itu paling dia hanya bisa menyisihkan perharinya 1000 rupiah. Dengan jumlah itu berarti tiap bulan Desi hanya bisa menabung kurang lebih 25 ribu rupiah. “Tak apalah. Sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit, yang penting aku ikhlas melakukan ini”, bathin Desi menghibur dirinya.

Peraturannya ketika itu adalah, setiap siswa yang memiliki tabungan tidak diperkenankan memegang sendiri buku tabungannya. Hal ini untuk mencegah agar siswa yang memiliki tabungan itu tidak bisa mengambil tabungannya. Karena sebenarnya tujuan dari program tabungan pelajar ini adalah untuk menolong mereka membayar iuran ujian akhir tahun yang jumlahnya lumayan besar. Sementara kebanyakan siswa di sekolah Desi ini berasal dari golongan menengah ke bawah. Sebagai gantinya, guru hanya memberikan struk bukti setoran mereka. Jadi berapa jumlah saldo akhir tabungan, siswa hanya bisa mereka-reka sendiri kira-kira sudah berapa uang yang mereka tabungkan.

Bulan demi bulan Desi terus bersemangat menyisihkan uang jajannya untuk ditabungkan. Setelah program itu berjalan selama kurang lebih satu tahun, dan Desi mengira-ngira jumlah tabungannya sudah mencapai kurang lebih 600 ribu rupiah, tiba-tiba sebuah keajaiban terjadi pada tabungannya. Setelah pagi itu dia menyerahkan uang 25 ribu kepada wali kelasnya untuk ditabungkan ke rekeningnya, siangnya sang wali kelas memanggilnya. Wali kelasnya lalu menanyakan kepadanya apakah dia pernah menabung sebelum hari ini? Desi menjawab tidak. Sang wali kelas mengernyitkan kedua alisnya dan tampak bingung.

“Memangnya ada apa pak?”, tanya Desi yang melihat kebingungan di wajah sang wali kelas.

“Ada seseorang yang telah mentransfer sejumlah uang ke rekeningmu. Kamu tahu siapa kira-kira orang ini?”, tanya sang wali kelas.

Desi menggeleng. “Memang berapa jumlah yang ditransfer pak?”, Desi balik bertanya. Sang wali kelas memandang ke wajah Desi sesaat sebelum menyebutkan jumlah uangnya.

“Berapa pak?”, Desi bertanya lagi karena penasaran.

“Enam ratus juta”

“Hah?” Enam ratus juta?! Itu tidak mungkin. Pasti pihak banknya salah pak”, Desi berucap tak percaya. Kedua telapak tangannya langsung dingin. Wajahnya pucat dan dia hampir saja jatuh kalau tubuhnya tidak langsung ditangkap oleh sang wali kelas. Dengan meminta bantuan guru yang lain, tubuh Desi dibopong ke sebuah bangku panjang.

“Minum dulu Des”, seorang guru perempuan memberinya segelas air putih. Setelah merasa pulih Desi meminta sang wali kelas untuk mengusut kiriman misterius itu ke pihak bank. Dia khawatir hal itu akan menjadi masalah besar atau lebih buruk lagi jika kemudian dia dituduh telah melakukan sebuah tindak kriminal. Namun jawaban dari bank lagi-lagi membuat Desi syock. Menurut bank, tak ada data jelas dari sang pengirim dan nomor rekening yang dituju oleh sang pengirim jelas-jelas nomor rekening atas nama Desi. Bahkan di kolom berita Juga tertulis pesan kalau dana itu ditujukan untuk Desi, siswi kelas 1 SMA BUDI PEKERTI. Berarti jelas sudah, tidak ada kesalahan dari pihak bank mengenai kiriman misterius itu dan yang pasti uang itu memang dikirimkan untuk Desi. Akhirnya, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menelusuri asal usul uang tersebut, Desi membiarkan uang itu tetap berada di tabungannya.

Pada tahun kedua, terjadi keajaiban yang sama. Dana dengan jumlah dua kali lipat dari jumlah yang pernah dikirimkan oleh si pengirim misterius itu masuk lagi ke rekening Desi. Keajaiban itu terus berulang di setiap akhir tahun hingga membuat saldo tabungan Desi bertambah dan semakin bertambah. Belum lagi ditambah dengan sekian persen dari bunga bank. Tapi meski begitu, tak sedikitpun terbetik di pikiran Desi untuk mengambil uang tersebut dan menggunakannya untuk kepentingan pribadinya. Sampai tiba waktunya di mana seluruh siswa boleh mengambil tabungannya untuk dipergunakan membayar biaya ujian akhir tahun. Ketika sang wali kelas mengangsurkan struk tanda pengambilan tabungan ke Desi, gadis itu menolak.

“Lho, kamu kan harus melunasi biaya ujianmu?”

“Iya pak, tapi bukan dengan uang tabungan ini. Saya akan memintanya kepada orang tua saya. Mereka telah menyisihkan penghasilan mereka untuk persiapan ujian saya”

“Lalu tabunganmu yang banyak ini mau kamu gunakan untuk apa Des? Untuk biaya masuk perguruan tinggi?”

“Tidak pak”

“Lantas?”, sang wali kelas terlihat tambah heran.

Setelah didesak oleh sang wali kelas akhirnya Desi berterus terang bahwa niat awal dia menabung adalah agar kelak dia bisa membangun sekolah untuk anak-anak jalanan. Sang wali kelas terharu mendengar jawaban muridnya itu. Dalam hati sang wali kelas mulai menebak-nebak mungkin yang mengirimi Desi uang adalah Tuhan yang telah mendengar niat tulus gadis itu. Sang wali kelas sangat bangga memiliki murid yang berbudi luhur seperti Desi.***********

Langit berwarna cerah ketika di atas sebuah podium bapak Bupati dengan suara lantang membuka dengan resmi sekolah MENTARI PAGI yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. Ratusan orang termasuk tokoh-tokoh masyarakat seperti camat, lurah dan tokoh-tokoh agama yang hadir memberi applous dengan bertepuk tangan.

“Secara khusus saya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ananda Desi yang telah mendedikasikan sekolah ini untuk saudara-saudara kita yang kurang mampu. Saya berharap akan ada Desi-Desi lain yang akan berbuat hal yang sama seperti ananda Desi ini”, Bapak Bupati melanjutkan sambutannya. Para hadirin kembali bertepuk tangan. Sekelompok anak-anak muda membuat yel-yel dengan menyebut nama Desi.

“Desi..........Desi.............Desi............yes........” Di kursinya Desi tampak tersipu malu dielu-elukan seperti itu.

Seusai acara sambutan, Desi mendapat giliran untuk menggunting pita yang melintang di pintu utama gedung berlantai tiga itu sekaligus menandakan bahwa kegiatan belajar mengajar telah bisa dimulai. Anak-anak dengan balutan baju-baju dekil berhamburan memasuki ruang-ruang yang ada di gedung itu. Desi dan semua yang hadir membiarkan mereka menikmati dunia baru mereka yang seharusnya sudah mereka nikmati sejak usia mereka dianggap layak untuk bersekolah.

Puluhan wartawan yang menanyakan darimana Desi mendapatkan dana untuk membangun sekolah ini hanya dijawab Desi dengan kalimat pendek “semua ini pemberian Tuhan mas, mbak” Sesaat kemudian Desi telah terlihat di antara para balita yang asyik mengutak-atik berbagai mainan yang tersedia di sana. Sambil menebarkan senyumnya Desi mengelus kepala tiap-tiap anak tanpa mengucap sepatah kata. Hanya airmatanya saja yang berjatuhan pertanda sebagai rasa suka citanya karena cita-cita besarnya itu kini telah mewujud menjadi sebuah dunia baru yang memberi segudang harapan bagi masa depan anak-anak kurang mampu yang ada di sekitar lingkungannya.

Desi sangat bersyukur karena ternyata banyak warga yang mendukung kerja sosialnya ini. Dengan suka rela mereka menyumbangkan tenaga untuk ikut mengelola sekolah ini. Mereka yang memiliki harta lebih tak segan-segan mendonasikan harta mereka untuk kepentingan anak-anak binaan Desi ini. Bahkan sehari setelah diresmikan, banyak para donatur yang datang mengunjungi sekolahan ini. Mereka mendaftarkan diri untuk menjadi donatur tetap sekolah gratis ini. Setelah membaca beritanya di koran-koran dan majalah-majalah yang waktu itu meliput, rata-rata mereka berdecak kagum dan salut kepada pribadi Desi. Bahkan ada seorang pengusaha muslim yang menawarkan beasiswa untuk kuliahnya Desi. Tentu saja Desi merasa sangat senang. Dia berharap dengan beasiswa itu, dia bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya dan kelak akan disumbangkannya untuk memajukan anak-anak binaannya.

Subhanallah, Tuhan telah menepati apa yang difirmankanNya. “Kun fa ya kun, terjadilah maka terjadi”. Jika Tuhan berkehendak apapun pasti bisa terjadi. Tuhan telah mendengar niat tulus yang diucapkan Desi dalam hatinya ketika hendak membuka tabungan dulu. Maka Tuhan menyambut niat baik Desi itu dengan membantu mewujudkan apa yang menjadi cita-cita Desi. Kepada anak didiknya tak bosan-bosannya Desi selalu berpesan “Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Paling tidak tanamkan niat yang ikhlas ketika ingin melakukan sesuatu. Insya Allah Tuhan akan mendengar niat kita dan membantu kita untuk mewujudkannya”.

Depok, 8 September 2008

Tidak ada komentar: