Selasa, 11 November 2008

KISAH DI KOTA KECIL


Tanpa sadar kudekatkan wajahku ke wajahnya hingga hidung kami saling bersentuhan. Dia hanya diam. Dengan hati-hati kukecup lembut bibirnya. Dia juga tetap diam. Matanya terpejam rapat. Airmatanya terus berjatuhan. Aku tak tahu apakah itu airmata kesedihan atau air mata marah karena aku telah mencium bibirnya. Aku tak perduli. Aku terlanjur terbakar dalam kobaran api asmara. Aku kembali memagut bibirnya, memeluk erat tubuhnya seolah tak ingin kulepas lagi. Setelah puas aku mencumbunya, ku pegang kedua bahunya lalu kutatap matanya. Mata gadis itu berurai air mata. Kuhapus airmata yang terus berjatuhan di kedua pipinya. Gadis itu terus saja diam seribu bahasa. Dengan berbisik kuungkapkan rasa penyesalanku karena telah mencumbunya.Wajahnya tertunduk, dia mencoba menahan isak tangisnya agar tak bersuara. Aku jadi merasa sangat bersalah. Aku merasa menjadi laki-laki paling tidak tahu malu di dunia ini yang tega memperdayai seorang gadis ingusan pada saat gadis itu sedang membutuhkan cinta, perhatian dan perlindungan dari seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi kakaknya. Kenapa aku begitu bodoh untuk melakukan semua ini padanya. Kemana akal sehatku sehingga begitu tega menodai kemurnian seorang gadis kecil seperti dia. Harusnya aku menganggapnya sebagai adik karena dia memang seumuran dengan adikku, harusnya aku menganggapnya sebagai murid karena dia memang dititipkan padaku oleh ibu asuhnya untuk kubimbing. Tapi justru apa yang aku lakukan kepadanya. Di saat dia sedang dilanda kesedihan karena teringat kepada kedua orang tua yang telah meninggalkannya, aku justru memanfaatkannya untuk melampiaskan nafsuku. “Maafkan aku gadis kecil, karena telah memberimu dosa hari ini”, ucapku dalam hati.

“Apakah kakak mencintaiku?”, tanyanya tiba-tiba sambil menyeka kedua matanya.

Pertanyaan gadis itu sangat menusukku. Aku sendiri tidak tahu apakah aku mencintainya atau hanya sekedar kasihan karena mendengar kisah hidupnya yang menyedihkan itu.

“Kenapa kakak tidak menjawab pertanyaanku. Apakah kakak memang mencintaiku?”

“Nit, tentu saja kakak mencintaimu. Kalau tidak, untuk apa kakak melakukan semua ini. Untuk apa kakak setiap hari menungguimu di sini, membimbingmu, mengantarmu pulang. Percaya deh, kakak itu sayang banget sama kamu. Kamu itu gadis yang sangat baik, cantik, semua orang pasti akan sayang sama kamu”.

Tanpa kusangka Gadis kecil itu lalu menjatuhkan kepalanya di dadaku. Memeluk erat tubuhku. Kubelai rambutnya, kubisikkan kata-kata indah ke telinganya. Gadis itu kembali menangis, mengencangkan pelukannya. Mungkin dia merindukan kehangatan dan cinta dari keluarganya yang tak mungkin lagi bisa dia peroleh. Menurut ceritanya dan juga cerita dari ibu kepala Panti Asuhan, Nita mulai menghuni Panti Asuhan itu empat tahun yang lalu. Sebuah kecelakaan telah terjadi tidak jauh dari sini. Dua penumpang yang ada di dalam mobil yang mengalami kecelakaan itu meninggal dan hanya satu yang selamat yaitu seorang anak perempuan. Itulah Nita. Sedangkan yang meninggal itu adalah ayah dan ibunya. Sejak saat itu oleh polisi Nita dititipkan di Panti Asuhan karena tidak ada keluarga yang menjemputnya. Sungguh malang sekali nasib gadis ini. Hingga hari pun ini tak ada satupun keluarganya yang berusaha untuk mencarinya. Dia hanya sebatangkara hidup di dunia ini. Karena kisah hidupnya yang menyedihkan itulah, aku jadi menaruh simpati padanya dan lama kelamaan tumbuh rasa sayang terhadap gadis itu. “Sekali lagi maafkan aku Nit, karena telah memberimu kenikmatan dosa. Tapi ini aku lakukan karena aku sangat mencintaimu, aku sangat ingin menghiburmu. Sejak pertama kita bertemu di Panti Asuhan aku sudah tertarik pada pancaran matamu yang indah itu. Kamu gadis yang sangat cantik meski nasibmu sangat malang”, ucapku dalam hati. Siang itu tak banyak pelajaran yang Nita pelajari, kami berdua tenggelam dalam perasaan yang hanya kami berdua saja yang tahu.

Setibaku di kamar, bayangan gadis kecil itu terus bermain di pelupuk mataku. Gadis kecil yang masih sangat polos itu kini telah menaruh harapan yang begitu besar kepadaku, dan celakanya aku sendiri yang membuat kondisinya menjadi seperti itu. Aku bersalah karena telah merusak kepolosan gadis itu, aku juga bersalah karena telah menodai ketulusan gadis itu. Entah sampai kapan aku bisa berbohong kepadanya? Sampai kapan aku akan terus memanfaatkan kepolosannya? Aku tidak akan tinggal selamanya di kota ini. Jika kontrakku habis tentu aku harus meninggalkan kota ini, meninggalkan gadis kecil yang sudah terlanjur ternoda oleh keegoisanku. Aku hanya menjadikannya sebagai tempat pelarian saja sementara aku tidak bisa menemukan hiburan lain di kota kecil ini. Pada akhirnya aku hanya akan menambah deretan kesedihan dalam kisah hidupnya. Laki-laki macam apa aku ini yang tega mempermainkan perasaan gadis kecil yang sangat baik dan polos seperti dia. Entah apa yang sekarang sedang diimpikan gadis itu setelah kejadian siang tadi. Mungkin dia tengah berkhayal tentang seorang pangeran yang akan membawanya terbang menuju sebuah istana, atau mungkin dia tengah menyusun mimpi-mimpi kecil tentang sebuah masa depan yang indah bersama laki-laki yang sangat dicintai dan mencintainya. Laki-laki yang telah mengajarkannya bagaimana berlaku seperti perempuan dewasa, laki-laki yang telah mengobral seribu janji untuk membahagiakannya. Ah.....Nita, kenapa kamu begitu cantik dan menggairahkan. Kepolosanmu justru telah membangkitkan keinginanku untuk dapat memilikimu, menguasaimu dan menumpahkan semua perasaan yang ada pada diriku. Nita, seandainya kamu tahu kelebihan yang kamu miliki, seandainya kamu tahu daya tarik yang memancar dari tubuhmu dan seandainya semua laki-laki dikota ini sebejad diriku entah apa jadinya dirimu. Mungkin tak akan terlihat lagi kepolosan itu di dalam dirimu dan mungkin kamu tak akan berani keluar dari Panti Asuhan karena takut bertemu laki-laki yang sudah antri menunggu untuk mencumbu tubuhmu. Maafkan aku Nit, aku telah begitu banyak memberimu dosa.

Kenyataan yang terjadi kemudian sangat berbeda dengan apa yang pernah kusesalkan. Aku tetap tak bisa menahan diriku setiap kali berdekatan dengan gadis kecil itu. Aku terus saja memberinya dosa, aku terus saja memberinya kebahagiaan semu dan dia semakin terperosok ke dalam mimpi-mimpinya tentang pangeran dan istananya, tentang masa depan dan keluarga yang akan dimilikinya. Nita sama sekali tidak menyadari bahwa kebersamaan ini akan ada batas akhirnya, bahkan sebelum dirinya siap untuk kubawa serta. Umurnya masih terlalu belia. Aku tak akan mungkin memperistri seorang perempuan yang umurnya terpaut sangat jauh dariku. Apa kata orang tua dan saudara-saudaraku nanti, apa kata teman-temanku nanti. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana untuk mengakhiri semua ini sementara aku juga masih sangat membutuhkan kehadiran gadis kecil ini untuk mengisi hari-hariku yang sepi di kota kecil ini. Sungguh memalukan.

Semua kekhawatiran itu akhirnya sampai pada puncaknya. Bos besarku di kota tiba-tiba menelponku dan memintaku untuk kembali lebih cepat dari batas waktu yang telah disepakati di dalam surat kontrak kerja. Dia memberiku waktu satu minggu untuk menyelesaikan semua urusanku di kota kecil ini. Apa yang harus aku katakan kepada gadis kecil itu tentang kabar ini. Aku tak mau menambah lagi atribut buruk pada diriku. Sudah cukup selama ini aku menganggap diriku sebagai laki-laki bajingan, laki-laki pengecut dan tak tahu malu, aku tak mau ada lagi citra buruk yang nanti kutinggalkan untuk gadis kecil itu. Tapi harus bagaimana mengatakan semua ini kepadanya. Dalam hati kecilkupun aku berat untuk meninggalkannya. Aku khawatir membuat gadis itu percaya bahwa dia memang ditakdirkan untuk selalu hidup menderita, aku khawatir akan membuat gadis itu percaya bahwa selama ini Tuhan memang tidak sayang kepadanya. Ah, kepalaku menjadi pusing sekali memikirkan pertemuan esok pagi dengan gadis kecil itu.

Esok paginya kumasuki ruangan kerjaku dengan langkah sedikit berat. Kulihat gadis kecil itu sudah di sana, duduk menghadapi sebuah komputer yang sudah beberapa bulan ini diakrabinya.

“Pagi pangeranku”, sapanya begitu dia tahu kehadiranku. Aku tidak menjawab. Seperti pagi-pagi sebelumnya, secangkir kopi panas sudah ada di mejaku.

“Itu kopi paling istimewa yang Nita buatkan untuk pangeranku”

“Terimakasih”, jawabku singkat. Aku duduk sambil memandang kosong ke arahnya.

“Nit, ada yang ingin kakak katakan kepadamu” akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutku setelah sekian menit aku hanya duduk memandanginya.

“Bilang saja, aku akan mendengarkan”, jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang ada di hadapannya.

“Hm.....kakak.....kakak........hmm.....”

“Kakak mau ngomong apa, kok jadi aneh begitu, biasanya kakak tidak pernah malu-malu berbicara kepadaku”

Aduh Nit, kamu itu kok nggak bisa membedakan sih mana yang malu-malu dan mana yang ragu-ragu. Aku tuh sedang ragu apakah harus mengatakan kabar itu kepadamu atau tidak. Aku jadi menghela nafas panjang memikirkan keluguannya itu.

“Oke....oke, sekarang aku akan serius deh ngedengerin kakak ngomong”, gadis itu akhirnya menghentikan aktivitasnya di depan komputer dan memutar letak kursinya menghadap ke arahku.

Aku bisa melihat cinta itu begitu besar dari sorot matanya ketika memandangku. Aku jadi semakin tak tega untuk menyampaikan kabar itu kepadanya.

“Nit, minggu depan kakak harus pulang ke kota, ada pekerjaan yang harus kakak kerjakan di sana”,

“Lama?”, gadis itu bertanya dengan nada hambar.

“Bisa jadi memakan waktu yang lama”, jawabku berat. Tenggorokanku tiba-tiba saja menjadi kering. Kuhirup sedikit kopi yang dia buat untukku.

“Aku pasti akan merasa kesepian sepanjang kepergian kakak”, ucapnya getir.

“Kakak juga pasti akan sangat merindukanmu selama di sana nanti”

Selama beberapa menit baik aku maupun dia tak lagi berkata-taka, asyik tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi dan langsung meraih kedua tangannya. Kugenggam erat kedua tangannya yang terasa dingin. Kucoba untuk meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan entah setan apa yang merasuki tubuhku, saat itu juga kusetubuhi dia, kubenamkan dia ke dalam lumpur dosa yang penuh dengan percikan api. Dia terbakar dalam kobaran baranya ketika aku mulai melucuti pakaiannya. Gadis kecil itu dengan bahagia memberikan semuanya untuk aku laki-laki yang dicintainya, laki-laki bejad yang bersembunyi di balik topeng ketampanannya, laki-laki munafik yang menggunakan sifat kebapak-an untuk merebut simpati gadis kecil yang memang sudah lama merindukan figur seorang bapak hadir dalam hidupnya. Aku menangis melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya yang bersimbah keringat. Gadis kecil itu tersenyum malu-malu sambil membelai mesra wajahku. Airmataku deras mengalir. Ah airmata serigala, airmata buaya, airmata kemunafikan. Inginnya aku berteriak, inginnya aku membalik waktu sehingga bisa kuperbaiki semua kesalahan yang tak seharusnya aku lakukan terhadap gadis kecil ini. Namun semua penyesalan itu tak ada guna lagi. Aku telah menitipkan sebuah benih pada rahim gadis itu meski aku tak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi pada benih itu setelah kepergianku nanti. Gadis kecil ini pasti juga tidak tahu apa akibat dari perbuatan yang telah kami lakukan ini, yang pasti ini akan membuat masa depannya menjadi suram, akan membuat masa remajanya berakhir sebelum dia sempat menikmatinya bersama teman-temannya. Membayangkan semua itu membuatku menjadi semakin frustasi. Dosaku tak mungkin lagi terampuni, tak akan ada orang yang mau memaafkan kesalahan dari laki-laki seperti aku ini. Maafkan aku Nit, maafkan aku karena telah mengotori kesucianmu, telah menodai kehormatanmu. Gadis itu memelukku erat, mengira airmataku adalah airmata kebahagiaan.

Pagi ini, langit sedikit mendung. Mungkin alam tahu bagaimana perasaanku pagi ini. Satu jam lagi aku akan berangkat meninggalkan kota kecil yang telah memberikan banyak kenangan kepadaku. Satu jam lagi, aku akan meninggalkan gadis kecil yang telah memberiku banyak kebahagiaan dan satu jam lagi aku akan meninggalkan kepedihan dan kesengsaraan sepanjang hidup gadis kecil ini. Dengan tegang, Nita duduk di sampingku. Tangannya memilin-milin ujung bajunya yang berenda. Sebentar-bentar pandangannya mengarah pada jalanan. Seperti aku, dia pun pasti berharap semoga mobil yang akan menjemputku tak jadi datang hari ini. Tapi harapan itu harus pupus, manakala setengah jam kemudian sebuah caravel memasuki halaman rumah yang selama tiga tahun ini aku jadikan sebagai rumah dinasku. Satu persatu barang-barangku diangkut ke dalam mobil diiringi airmata yang mulai menetes di pipi Nita. Wajahnya sangat murung dan matanya menyiratkan ketakutan. Kupeluk gadis kecil itu untuk yang terakhir kalinya dan kubisikkan janji-janji manis untuknya. Ah sekali lagi gombal, munafik, kukutuk diriku sendiri karena aku tahu, aku tak akan pernah kembali lagi ke kota ini untuk waktu yang sangat lama.

**************

Lima tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan kotak kecil ini. Selama itu pula tak sekalipun aku pernah mengiriminya kabar. Mungkin aku memang laki-laki yang paling jahat di dunia ini, tanpa beban sedikitpun justru aku membina rumah tangga dengan perempuan lain yang usianya sepantaran denganku. Dari pernikahan itu aku dikaruniai dua anak yang lucu-lucu. Tetapi hari ini, aku menginjakkan lagi kakiku di kota kecil ini. Mau tidak mau aku harus mencari tahu kabar tentang gadis kecil itu yang mungkin sekarang sudah berubah menjadi seorang gadis dewasa. Masihkah dia cantik dan menggairahkan seperti dulu?, masihkah matanya menyorotkan keriangan seperti gadis belia pada umumnya? Ataukah sudah berubah menjadi sorot mata yang penuh dendam ketika memandang kepada laki-laki yang mencoba mendekatinya? Di depan pintu panti asuhan aku disambut oleh bocah laki-laki berumur sekitar 5 tahunan yang memiliki sorot mata yang sepertinya sudah tidak asing lagi buatku. Mengingatkan aku pada gadis kecilku dulu. Melihat perawakannya sepertinya aku melihat foto diriku ketika aku masih kecil yang ada di dalam album foto yang masih disimpan ibuku hingga kini.

“Selamat sore om”, laki-laki kecil itu menyapaku dengan ramah.

“Selama sore juga sayang, siapa namamu bocah manis?”

“Nabil om”

“Nabil?, nama itu sama dengan nama belakangku.

Layaknya menyambut kedatangan ayahnya, bocah laki-laki itu langsung menggelayut di tanganku. Aku jadi terharu. Kasihan sekali anak ini. Pasti selama hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan sosok laki-laki yang bernama ayah.

“Nabil, mau om ajak jalan-jalan?”, kita akan naik mobil keliling kota.

Bocah kecil itu menggelengkan kepalanya.

“Kenapa? Atau Nabil mau om belikan mainan?”

Bocah kecil itu kembali menggelengkan kepalanya.

“Nggak apa-apa sayang, om punya banyak uang kok, nih lihat di dompet uang om banyakkan?”, kataku sambil memperlihatkan isi dompetku.

“Benarkah Nabil boleh meminta sesuatu kepada om?”, tanyanya dengan tatapan mata menghiba.

“Tentu, Nabil boleh meminta apa saja dari om”

“Nabil cuma ingin minta..........hhm.....”

“Apa?, ayo katakan saja sayang”

“Hm...bolehkah Nabil memanggil ayah pada om?”

Ya Tuhan, seketika keharuan berhamburan dari mataku. Dengan mata berkaca-kaca kupeluk bocah kecil itu. “Nabil boleh memanggil ayah pada om. Mulai sekarang om akan menjadi ayah untuk Nabil. Nah sekarang Nabil ingin ayah belikan apa, mainan atau baju baru?”

Bocah kecil itu menggelengkan kepalanya lagi.

“Ayah sudah memberi Nabil sesuatu yang sangat berharga. Nabil nggak mau lagi merepotkan ayah”, ucapnya sungguh-sungguh.

“Tidak apa-apa sayang, ayah akan senang memberikannya untuk Nabil”, kataku gemas.

“Betul, ayah tidak keberatan?” Aku mengangguk.

“Nabil cuma minta ayah bawakan untuk Nabil foto kakak dan adik Nabil. Akan Nabil perlihatkan kepada teman-teman bahwa Nabil punya saudara”, ucapnya dengan polos.

Untuk kedua kalinya aku telah dibuat terharu oleh ucapan-ucapan bocah laki-laki ini. Aku kembali memeluknya dan berjanji untuk memberikan kepadanya foto anak-anakku. Di saat itulah seorang perempuan tua keluar dari dalam panti asuhan. Aku masih mengenalinya sebagai ibu yang memimpin panti asuhan ini. Diapun rupa-rupanya masih pula mengenaliku. Matanya tajam menatap ke arahku. Ada kemarahan terpancar di sana. Aku melepaskan pelukanku dari Nabil dan berjalan menghampiri perempuan itu.

“Apa kabar bu?” sapaku kepadanya.

Perempuan tua itu tak menjawab. Gemerutuk gerahamnya terdengar hingga ke telingaku. Perempuan tua itu sepertinya menahan amarah yang sangat besar hingga rahangnya terlihat mengeras.

“Oma, sekarang Nabil sudah punya ayah. Om ini mau menjadi ayah Nabil”, tiba-tiba bocah kecil itu berkata seraya memeluk tubuh perempuan itu.

“Tidak Nabil, om ini bukan ayahmu. Dia tidak pantas menjadi ayahmu”, perempuan itu berkata dengan tegas. Aku sampai kaget mendengar ucapannya.

“Tapi oma, om ini sudah mau menjadi ayah Nabil”

“Jangan nakal Nabil, sekali oma bilang tidak, maka tidak”

“Tidak apa-apa bu, saya senang menjadi ayah Nabil”, kataku membela Nabil.

“Tidak, saya tidak akan ijinkan kamu mendekati anak ini”

Nabil mulai menangis dan memohon-mohon kepada perempuan tua itu, dan tanpa kusangka-sangka perempuan tua itu juga ikut menangis. Aku menjadi semakin bingung dan tak menyangka bahwa semua akan menjadi rumit seperti ini. Perempuan tua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi setelah kepergianku dari kota ini lima tahun yang lalu. Kakiku seperti tak menapak di lantai ketika kutahu Nita akhirnya meninggal ketika melahirkan benih yang dulu kutanamkan di rahimnya. Dan bocah laki-laki ini tak lain adalah darah dagingku sendiri. Aku benar-benar terpukul setelah mendengar semua cerita perempuan itu. Aku tak bisa menahan tangisku. Aku terus menangis sambil memeluk bocah kecil itu. Pantaslah jika Nita memberinya nama Nabil, itu adalah nama belakangku.

Setelah memohon-mohon kepada ibu pemimpin panti asuhan, akhirnya aku diijinkan untuk membawa Nabil pulang ke kotaku. Belum terpikir olehku bagaimana cara memperkenalkan Nabil kepada istri dan keluargaku. Aku tak mau ambil pusing tentang itu, yang terpenting sekarang aku tak mau melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan menyia-nyiakan darah dagingku sendiri. Aku ingin melakukannya untuk menebus dosa-dosaku kepada Nita, gadis kecil tak berdosa yang telah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan buah cintanya. Nabil adalah reinkarnasi dari gadis kecil yang dulu telah kuterlantarkan dengan timbunan dosa yang tak termaafkan. Maafkan aku Nita, sungguh hingga detik ini aku tetap mencintaimu. Semoga engkau damai di sisiNya. Kutaburkan kamboja putih di atas pusaranya sebelum meninggalkan kota kecil ini.

Depok, 10 Desember 2007

Tidak ada komentar: