Rabu, 05 Oktober 2011

GARA-GARA JEMPOL KAKI

Dulkapid terpaksa menahan diri untuk tidak melahap banyak sate kambing di hari Idul Adha kali ini. Laki-laki itu khawatir penyakitnya akan kambuh jika terlalu banyak mengkonsumsi daging kambing. Pasalnya obat yang bisa menyembuhkan penyakitnya ini sedang susah dicari saat ini.
“Mas Dul, kok tumben nih satenya cuma dipelototin saja”, sapa salah seorang tetangganya. Siang itu Dulkapid dan tetangga-tetangganya memang rame-rame menyate daging kambing hasil ngantri di Musholla belakang kontrakan.
“Nggak kok, tadi sudah makan beberapa tusuk, sudah cukuplah”, jawab Dulkapid.
“Tapi bagian sampean masih banyak lho ini, sayang kalau nggak dihabiskan”
“Nggak apa-apa buat kalian saja”, jawabnya sendu. Padahal sebenarnya perut dan mulutnya masih menginginkan sate-sate itu. Terdengar suara clegak-cleguk di tenggorokannya bukti kalau dia masih ngiler melihat daging setengah matang yang dilaburi sambal kecap itu melambai-lambai ke arahnya. Apalagi bila melihat para tetangganya juga masih pada lahap menyantap sate-sate bagian mereka.
Memang sial banget nasib Dulkapid kali ini, lebaran-lebaran begini mesti hidup seorang diri tanpa istri di sampingnya. Tapi itu semua juga karena ulahnya sendiri. Gara-gara hobbynya yang suka ngintipin jempol kaki “orang”, tahu kan maksudnya “orang” kalau dalam kamusnya Dulkapid? Tidak lain dan tidak bukan ya makhluk yang bernama perempuan. Hobby ini pulalah yang akhirnya membuat istri Dulkapid minggat dari rumah kontrakan mereka. Perempuan yang sudah hampir dua puluh tahun menemani Dulkapid dalam suka maupun duka ini (sssttt..... sebenarnya sih banyakan dukanya daripada sukanya) merasa tidak dihargai lagi oleh Dulkapid hanya gara-gara kedua jempol kakinya kehilngan kuku akibat cantengan dan kutu air sehingga terlihat jelek dan tidak menarik. Sejak itu Dulkapid jadi punya kebiasaan aneh yaitu suka ngintipin jempol kaki perempuan lain.
Puncaknya adalah beberapa malam yang lalu, Dulkapid yang pulang dalam keadaan setengah mabuk meracau memuji-muji keindahan jampol kaki Juminten. Dia bilang jempol kaki Juminten kalau dibandingkan sama jempol kaki istrinya uhhg kayak langit dan bumi. Biar kata habis dicolekin ke tahi kerbau juga baunya tetap wangi dan bentuknya tetap indah. Hati istri mana yang nggak sakit kalau dibanding-bandingkan seperti itu dengan perempuan lain. Kelihatannya sih cuma sepele, cuma masalah jempol kaki doang. Tapi yang namanya jempol kaki kan juga bagian dari jati diri seseorang, jadi ya wajarlah kalau istri Dulkapid merasa tidak dihargai lagi secara keseluruhannya sebagai seorang manusia.
Padahal sebulan yang lalu Dulkapid juga sudah kena batunya dari hobby anehnya itu. Gara-gara ngintip jempol mulus yang keluar dari sela-sela sepatu sendal seorang perempuan, terpaksa dia harus berurusan dengan Lurah setempat. Usut punya usut ternyata jempol kaki yang diintip itu adalah jempol kaki milik bu Lurah. Dulkapid... Dulkapid, saking asyiknya matanya ngeliat ke si objek yang mulus itu, sampai kagak sempat dia ngeliat ke wajah orang yang punya entu jempol. Akibat dari perbuatannya itu, sekarang nama Dulkapid diblacklist dari pembuatan Kartu Tanda Penduduk dan kartu Jaminan Kesehatan Keluarga Miskin. Dia juga dikenai wajib lapor seminggu sekali dan dicekal tidak boleh keluar dari desanya selama dua minggu.
“Keputusan ini sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi”, begitu menurut penuturan sekretaris Lurah ketika menyampaikan amanat dari pak Lurah di hadapan Dulkapid. Tentu saja keputusan itu membuat Dulkapid langsung lemas dan lunglai. Padahal waktu itu dia lagi ikut rombongan kuli bangunan di desa sebelah. Terpaksa dia tidak bisa meneruskan kerjanya itu, Gaji terakhirnyapun tidak bisa diambil karena di dalam kontrak kerja yang dia tanda tangani, terdapat klausul bahwa pengambilan gaji tidak bisa diwakilkan meski oleh istri sendiri. Lengkaplah sudah penderitaan Dulkapid.
Selama seminggu Dulkapid menghukum kedua matanya dengan cara memplesternya dan hanya menyisakan sedikit celah agar dia tetap bisa melihat ketika sedang berjalan.
Entah sudah yang ke berapa kalinya Dulkapid kena batunya dari hobbynya ini tapi dasar manusia keras kepala, bandel dan ngeyel, tetap saja dia nggak kapok dan mengulanginya lagi pada kesemptan yang lain.
Di saat-saat seperti inilah dia baru menyadari betapa hobby anehnya itu telah merugikan dirinya sendiri. Kehadiran seorang istri di saat seperti sekarang ini sangatlah berarti. Nggak perduli jempol kakinya indah atau jelek yang penting bagian-bagian lain dari tubuh istrinya masih tetap berfungsi dengan baik.
“Mas Dulkapid, lho ayoo dimakan tho satenya, kok malah ngelamun tho”, tegur tetangganya yang melihat Dulkapid hanya berdiam diri dan hanya memandangi tumpukan sate di hadapannya.
“Pengen sih pengen,tapi takut penyakit “mah”ku kambuh nih”, jawabnya.
“Ha... ha... mosok sate kambing bisa bikin sakit maag kambuh tho mas, yang penting jangan pedas bumbunya. Justru kalau mas Dulkapid nggak makan, lha itu nanti malah bikin maagnya kambuh”
“Maksud saya bukan penyakit maag yang itu tapi penyakit “mah” yang lain”
“Oh ha...ha.... paham saya kalau begitu. Penyakit memanggil-manggil mamahnya anak-anak tho?”
“Betul...betul....betul.....”
“Memangnya nyonyanya kemana tho? Lagi pulang kampung ya?”
“Pergi operasi plastik buat jempol kakinya”, jawab salah seorang ibu dengan entengnya.
Dulkapid jadi salah tingkah ketika semua tetangganya menatapnya mencari kebenaran dari kata-kata si ibu tadi.
“Saya ke dalam dulu ya”. Akhirnya Dulkapid pamit duluan dan masuk ke dalam rumahnya.
“Makanya kalau punya mata jangan buat ngintipin jempol kaki orang, rasain lo ditinggal minggat bininya”, cela si ibu itu lagi sambil ngipasin sate bagiannya.

Sparrstrasse 2, sambil menemani Shakti belajar. 17.11.10

KEMRUNGSUNG

Menanti adalah pekerjaan yang paling membosankan, itu pula yang saat ini sedang dirasakan oleh Dulkapid. Perasaan bosan dan jenuh karena menunggu sesuatu yang tak pasti sangatlah tidak nyaman. Sudah beberapa hari ini hati Dulkapid dilanda kegelisahan yang luar biasa atau kalau dalam istilah orang Jawa disebut kemerungsung. Tidak enak makan, tidak enak tidur, malas untuk berbuat ini dan itu dan tidak tahu dengan jelas apa sebenarnya yang diinginkan dan dimaui. Pendek kata, ini salah itu juga salah, begini salah begitu juga salah. Kalau mau dipaksakan bisa jadi salah satu judul filmnya Jojon “apa ini apa itu” ku tak tahu yang kumau.
Hati dan pikirannya saat ini hanya tertuju kepada seseorang yang keberadaannya saat ini sangatlah tidak jelas. Siapa lagi kalau bukan Juminten, perempuan yang sudah berbulan-bulan ini menjadi fokus perhatiannya. Entah sedang bersembunyi di belahan bumi yang mana atau di ujung dunia yang mana dia, ujung kulon, ujung aspal, ujung berung, ujung menteng atau ujung-ujung yang lain. Ataupun kalau di sebuah negara entah di negara mana, mungkin di sebuah negara antah berantah. Tak tahulah, kondisi serba tidak tahu dan tidak jelas seperti ini sungguh membuat hati Dulkapid tersiksa dan tidak tenang. Seandainya saja dia tahu dengan tepat di mana letak ujung dunia yang sebenarnya mungkin saat ini juga dia akan pergi ke sana untuk mengeceknya, atau jika saja dia mengetahui letak geografis yang sesungguhnya dari negara antah berantah, mungkin sekarang juga dia akan menyusul ke sana. Tetapi sayangnya Dulkapid tidak tahu di mana tepatnya letak kedua tempat itu sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menunggu dan menunggu balasan tiga tanda tanya yang telah ia kirimkan tadi malam. Dulkapid hanya bisa menerka-nerka dan menebak-nebak saja segala kemungkinan yang telah membuat Juminten pergi meninggalkannya tanpa meninggalkan jejak untuk ditelusuri. Dan semakin Dulkapid mencoba untuk menerka dan menebaknya semakin dia merasa putus asa karena dia semakin tidak yakin jika tebakannya itu benar.
Belum lagi pikirannya disibukkan oleh apa yang menyebabkan Juminten pergi begitu saja. Dulkapid pun mencoba untuk menggali tiap-tiap moment yang pernah dia dan Juminten lewati. Satu persatu Dulkapid mengupas tuntas setiap peristiwa yang pernah terjadi, mencoba mencaritahu inti permasalahan yang mungkin saja tanpa dia sadari telah memicu munculnya ketidaknyamanan di hati Juminten. Tetapi sejauh ingatan melayang dan sejauh mata memandang rasa-rasanya tak ada yang salah dalam setiap moment yang dia dan Juminten lewati. Semua berjalan baik-baik saja, indah, romantis, dan selalu berakhir dengan kebahagiaan di antara kedua belah pihak. Dulkapid bahkan bisa merasakan kebahagiaan yang memancar pada diri Juminten, dari tertawanya, dari bicaranya, senda guraunya, sikap manjanya, lirikan matanya dan bahasa tubuhnya yang lain. Begitu juga dengan dirinya yang seolah menemukan semangat baru, kembali merasa muda, kembali menjadi seseorang yang istimewa dan berharga. “Tidak ada yang salah.... lalu kenapa Juminten pergi? Kenapa Juminten?” Dulkapid bertanya-tanya terus meski dia tahu dia tidak akan menemukan jawabannya hingga tiga tanda tanya yang dia kirimkan itu mendapat respon dari yang bersangkutan.
Sambil menatap awan kelabu dari teras rumahnya, Dulkapid hanya bisa membayangkan apa yang saat ini sedang dilakukan oleh Juminten di ujung dunia sana. “Hmm... pasti dia sedang bersembunyi dalam resah. Menghitung jumlah bintang dan menatap wajah bulan yang bersinar indah, seindah wajahnya. Mungkin juga dia tengah diliputi oleh rasa bersalah kepadaku. Atau mungkin juga dia tengah tertawa lega karena akhirnya bisa lepas dari jalinan cinta semu ini. Entahlah..... apapun yang dia putuskan untuk dirinya semoga membawa dampak yang baik buatnya. Dan aku? Aku akan terus mengharapkannya kembali. Untuk tetap melanjutkan kisah lama ini? Itu harapkanku. Tetapi paling tidak dia kembali untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya telah terjadi”, bathin Dulkapid pilu. Ditatapnya handphone yang tergeletak di pangkuannya berharap tiga tanda tanya yang dia kirimkan mendapat balasan. Suasana hatinya masih tetap tidak berubah, kemerungsung..... dan akan terus kemerungsung hingga semua pertanyaan mendapatkan jawaban.

Sparrstrasse 2, sambil menunggu waktu subuh tiba, 11.11.10

TIGA TANDA TANYA

Menyesuaikan dengan fungsinya yaitu Short Message Service, sms yang diterima Juminten malam itupun sangat singkat sekali. Hanya berupa tiga tanda tanya yaitu “?....?....?....”. Tetapi tiga tanda tanya yang tertulis di sms itu bisa mewakili banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin diajukan oleh sang pengirimnya. Juminten sangat tahu dan paham akan hal itu. Kepergiannya yang secara diam-diam tanpa ada penjelasan dan kabar berita sedikitpun tentu telah mengundang sejuta tanda tanya di hati sang pengirim sms. Apalagi tidak ada peristiwa atau kejadian buruk sebelumnya yang bisa dijadikan sebagai salah satu alasan kepergiannya. Juminten sadar akan hal itu dan dia mengakui jika sikapnya ini memang salah. Ya seharusnya paling tidak dia memberi alasan mengapa dia harus pergi sehingga tidak menimbulkan berbagai tanda tanya dan prasangka di hati sang pengirim sms. Apalagi mereka berdua sangat dekat, tentu kepergiannya yang tanpa kabar berita ini juga membuat sang pengirim sms penasaran dan mungkin juga sedih.
Tiga tanda tanya itu kalau boleh Juminten jabarkan mungkin mewakili tiga pertanyaan besar yaitu kamu di mana?, ada masalah apa?, kenapa pergi tanpa berita?
Juminten menghela nafas panjang. Resah, itulah yang sekarang sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Dia kembali melihat isi sms itu, menimbang-nimbang apakah harus membalasnya atau membiarkannya saja. Jika dia membalasnya, maka itu artinya sama saja dia telah mengingkari janjinya sendiri tetapi jika dia tidak membalasnya, itu berarti dia tidak memberi kesempatan kepada sang pengirim sms untuk mengetahui kenapa dirinya tiba-tiba pergi tanpa sebab yang jelas. Dan mungkin saja hal itu akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya. Sang pengirim akan terus membencinya dan selamanya akan menganggap dirinya orang yang tidak setia.
“Biarlah.... aku belum bisa membalas sms ini sekarang. Aku perlu menyusun kata-kata dan kalimat yang baik supaya tidak menimbulkan rasa sedih, marah, kecewa dan benci jika dia membacanya nanti”, pikir Juminten. Bayangan wajah sang pengirim sms itu menari-nari di pelupuk mata Juminten, membuatnya semakin diliputi rasa bersalah karena telah meninggalkannya begitu saja meski sebenarnya dia memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu semua.
Sambil menatap awan kelabu dari depan jendela kamarnya Juminten mulai berpikir bahwa semua yang telah terjadi antara dirinya dengan sang pengirim sms semata-mata adalah karena kesalahan dirinya juga. Coba saja dia tidak mengungkapkan semua perasaan yang dulu pernah dia rasakan kepada sang pengirim sms itu dan tetap menyimpannya secara rapi di dalam hatinya, tentulah tidak akan ada cerita baru dan menciptakan harapan-harapan baru. Bukannya sok munafik, tetapi sungguh dengan tetap berada di dekat sang pengirim sms itu maka sama saja dengan Juminten mengkhianati hati nuraninya. Apa yang sempat terjadi, diakui Juminten sebagai sebuah kekhilafan. Sebagai manusia dia merasa sangat jauh dari kata sempurna tetapi di luar itu semua, Juminten merasa kalau itu bukanlah sifat dia yang sesungguhnya. Tidak ada di dalam kamusnya untuk merusak kebahagiaan orang lain. Tidak pernah dan tidak akan pernah.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, kala pertama kali perasaan itu muncul dan terus menghantui hidupnya Juminten telah sadar dan bahkan sangat sadar bahwa di antara dirinya dengan sang pengirim sms terhalang tembok yang sangat tinggi yang tidak mungkin untuk mereka daki atau lalui. Masing-masing mereka sudah memiliki takdir yang kelak akan membawa mereka kepada kehidupannya sendiri-sendiri. Selama bertahun-tahun, semua berjalan harmonis, baik-baik saja dan Juminten ingin mengembalikan keadaan itu seperti semula.
“Ah..... coba saja aku tidak terhanyut oleh suasana romantis saat itu, tentu semua yang tersimpan tidak akan pernah menguap keluar. Selamanya akan tetap tersimpan di sini di dalam dada ini dan akan tetap menjadi rahasia seumur hidupku”, Juminten membatin sambil mendesah lebih dalam lagi.
“Sekarang aku jadi seperti buronan, bersembunyi dari dirinya untuk menghindari agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi. Untuk menjaga jarak agar perasaan tidak semakin dalam menembus dasar hati dan untuk menyelamatkan kehidupan yang telah aku dan dia jalani selama ini. Aku berharap dia mau mengerti dan memahami mengapa aku harus pergi dan bersembunyi dari dirinya karena sesungguhnya aku tidak yakin pada diriku sendiri apakah aku akan bisa melupakannya jika tidak melakukan cara ini”.
Tiga tanda tanya itu mungkin akan menjadi hantu baru bagi kehidupan Juminten selanjutnya tetapi Juminten percaya lambat laun dia akan terbiasa dengannya sebagaimana dulu diapun bisa bersahabat dengan kenangan yang pernah terbangun bertahun-tahun lamanya.

Dari curhat sahabat................
Sparrstrasse 2, di ujung pagi yang tidak terlalu dingin. 10.11.10

SUARA PANGGILAN

“AdiiiiK............!”
Aku menoleh ke arah datangnya suara tadi. Tidak ada siapa-siapa di sekelilingku. Hanya ada hembusan angin yang merontokkan dedaunan dan menerbangkannya entah kemana. Tetapi suara itu jelas sekali terdengar di telingaku. Apalagi dalam suasana yang lengang seperti ini, jelas itu tadi suara panggilan. Seseorang telah memanggil seseorang. Tapi siapa? Dan yang dipanggil juga siapa? Aku mencoba mengelak dari rasa ge er yang tadi sempat singgah sejenak di hatiku. Hanya karena suara itu mirip dengan suara seseorang yang pernah aku kenal, hanya karena panggilan itu sangat mirip dengan panggilan yang biasa aku dengar, hampir saja membuatku kembali terjebak pada mimpi-mimpi semu yang selama bertahun-tahun telah dengan susah payah aku coba hapus dari hidupku.
Kulangkahkan kembali kakiku menyusuri jalanan berbatu, menyeruak timbunan daun dari musim gugur yang baru saja datang menghampiri. Kucoba menghilangkan gema suara panggilan tadi dari hati dan pikiranku namun semakin kucoba untuk menghilangkannya, suara panggilan itu semakin jelas terdengar, memantul dari satu pohon ke pohon yang lain. Bahkan gaungnya kini mulai memenuhi seluruh taman di mana saat ini aku berada. Aku mempercepat langkahku berharap suara panggilan itu tidak lagi mengikutiku tetapi suara panggilan itu masih terus saja membuntutiku menjejeri langkahku, dan berusaha untuk mendekat ke telingaku. Aku berlari, suara panggilan itupun ikut berlari, mengejarku, memburuku, berusaha untuk menggapaiku. Aku terus berlari, tanpa arah, tanpa tujuan, kututup kedua telingaku dengan kedua tanganku tetapi suara panggilan itu seolah-olah menyelusup di antara jemariku dan mempermainkan gendang telingaku. Suara panggilan itu mulai menguasai seluruh anggota tubuhku, menutup semua lubang pori-poriku, menggengam erat jantung dan hatiku, mencengkeram dengan kuat kedua kakiku, membuat lariku terpontal-pontal dan aku terpelanting, jatuh terjerembab di hamparan pasir putih dalam rupa yang pasi. Suara panggilan itu terus menggema, menyusup di antara urat-urat nadiku hingga kurasakan sebagian darahku berhenti mengalir, kulitku membiru. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk bangkit, kukibas-kibaskan butiran pasir yang menempel di jaket dan celanaku berharap suara panggilan itu ikut terpental bersamanya. Dengan sisa-sisa tenaga aku berjalan terseok-seok menuju ke sebuah pohon, duduk terpekur, menyembunyikan diri dari suara panggilan itu tetapi suara panggilan itu sepertinya telah mengetahui jalan pikiranku, dia telah mendahuluiku, menyatu, berkelindan dengan batang pohon dan meresap ke dalam aliran getahnya, lalu perlahan-lahan mulai mengucur, membasahi rambutku, keningku, wajahku, leher dan kedua tanganku, bercampur dengan keringat yang keluar dari dalam tubuhku padahal suhu saat ini begitu dingin menusuk tulang.
Tubuhku menggigil dan terus menggigil tetapi suara panggilan itu tak juga berhenti menggangguku.
“Adiiiik....... adiiiik........................... “
“Pergi......., pergilah dari hidupku”, usirku dengan suara gemetar.
“Adiiik....... adiiik................... “, suara itu terus memanggilku.
“Pergi kataku. Aku tak mau lagi mendengar suaramu. Aku tak mau lagi mendengar panggilanmu”, suaraku semakin meninggi, semakin gemetar, tubuhku mulai terguncang-guncang menahan rasa dingin tetapi keringatku terus mengucur membasahi baju dan jaket tebalku.
“Adiiiiik..... adiiik.............”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”, aku memekik keras sambil menutup rapat kedua telingaku. Kutangkupkan wajahku ke atas pangkuanku agar suara pekikanku tidak sampai terdengar oleh orang lain. Syukurlah suasana taman bermain ini memang benar-benar sepi pada jam-jam seperti ini karena semua anak tentu masih berada di sekolah dan mengerjakan tugas sekolahnya di dalam kelas yang hangat sambil bersendagurau dengan teman-temannya.
Beberapa saat kemudian suara panggilan itu mulai berhenti menggangguku, hembusannya terasa menyapu wajahku ketika secara perlahan dia mulai bergerak menjauhi telingaku. Tetapi sedetik kemudian kurasakan sebuah tangan halus menyentuh daguku, aku begitu kaget ketika dengan setengah memaksa tangan itu menegakkan wajahku. Aku membuka mataku lebar-lebar tetapi tidak ada siapapun di dekatku. Lalu tangan siapakah tadi? Aku mulai merasa ketakutan. Mungkin penunggu pohon ini marah mendengar suara pekikanku.
“Kenapa kamu menghindariku?”, sebuah bisikan lembut tertangkap oleh telingaku.
“Siapa kamu? Kenapa kamu menggangguku?”
“Apa kamu lupa dengan suaraku? Coba dengarkan baik-baik”
“Jadi kamu suara panggilan itu?”
“Yah......”
“Tetapi kamu sudah lama meninggalkanku dan aku sudah lama pula menganggapmu mati”
“Aku tidak pernah meninggalkanmu tetapi kamulah yang berusaha melupakanku”
“Karena kamu memang pantas untuk dilupakan”
“Ha....ha...... kamu bohong..... kamu telah berbohong besar-besaran terhadap dirimu sendiri”
“Aku tidak pernah membohongi diriku sendiri dan kalaupun itu aku lakukan, sama sekali itu bukan urusanmu”
“Memang itu bukan urusanku, tetapi karena itu menyangkut diriku maka mau tidak mau itu juga menjadi urusanku. Lihat apa yang baru saja terjadi pada dirimu. Hanya karena mendengar suara yang mirip denganku saja kamu sudah hampir terpengaruh dan terjebak ke masa lalumu”
“Apa maksud kamu? Tapi itu memang suaramu bukan. Kamu sengaja ingin menggangguku dan ingin menjebakku kembali ke masa-masa pahit itu. Kenapa? Karena kamu tidak ingin melihatku hidup bahagia, iya pasti itu tujuan kamu. Kamu ingin menghancurkan hidupku”. Perasaan marah kepada suara panggilan itu mulai menguasaiku.
“Lihat dirimu baik-baik, bukan aku yang ingin menghancurkan hidupmu, tetapi dirimu sendirilah yang telah melakukannya. Kenapa kamu tega mencampakkan aku, apa salahku padamu?”, suara panggilan itu terus saja berusaha memojokkanku. Aku mulai menangis, entah menangis untuk apa. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh suara panggilan itu, sebenarnya aku sendirilah yang telah mencoba untuk menghancurkan hidupku karena bersikeras untuk terus mencintainya walau kenyataan di depan mata tidak memungkinkan untuk aku bisa mencintainya apalagi sampai memilikinya. Coba saja dulu aku tidak bersikap keras kepala dan mau berdamai dengan kenyataan tentu situasinya tidak akan seperti sekarang ini.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?”, pertanyaan dari suara panggilan itu membuyarkan lamunanku.
“Aku sedang memikirkan kebodohanku di masa lalu yang sampai sekarang masih saja aku simpan. Pergilah dari hidupku dan jangan pernah kembali lagi untuk menggangguku”
“Maafkan aku, tetapi foto-fotomu yang tersebar di dunia maya memaksaku untuk mencari jejakmu”
“Kamu sudah berhasil menemukanku, sekarang pergilah”
“What?, aku sudah dengan susah payah mencarimu. Tetapi setelah bertemu kenapa kamu malah mengusirku?”
“Aku tidak pernah memintamu untuk mencariku dan aku juga tidak lagi mengharapkan kehadiranmu. Apa karena dulu aku begitu mencintaimu maka kamu menganggap aku akan dengan mudah menerima kehadiranmu? Kamu tidak pernah berubah sejak dulu. Kamu selalu mementingkan untuk menjaga imagemu daripada harus menjaga perasaanku. Kamu lebih memilih untuk tega mengabaikan perasaanku daripada kamu harus kehilangan wibawamu. Kamu tidak pernah mau mengakui bahwa kamu juga mencintaiku, bahwa kamu juga membutuhkan diriku. Hanya karena kamu seorang publik figure, kamu tega menistakan semua itu dari hati dan nuranimu. Kamu memang jahat, kamu orang yang paling jahat yang pernah aku kenal. Dasar pengecut, aku sangat membenci dirimu. Pergiiiii, pergiiii kamu dari hidupku”, akhirnya aku tak lagi bisa mengontrol emosiku. Aku bahkan tak lagi memperdulikan jika ada orang yang memperhatikanku atau mungkin menganggapku gila karena meracau seorang diri di dalam taman bermain anak yang lengang ini.
“Baiklah, aku menerima semua hujatanmu itu. Aku memang seorang pengecut karena tidak pernah mempunyai keberanian untuk menyatakan perasaanku. Aku terlalu egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Aku memang patut dipersalahkan. Aku tidak pernah tahu sebegitu dalamnya perasaan cintamu dulu padaku. Aku tidak akan menyalahkanmu kalau sekarang kamu sangat membenciaku. Tapi tidakkah ada pintu maaf untukku? Aku tidak berharap kamu akan memberiku kesempatan satu kali lagi tetapi paling tidak maafkanlah aku. Aku akan pergi, tetapi aku akan terus kembali sampai kau bersedia memaafkanku. Selamat tinggal adik, maaf telah mengganggu ketenanganmu”, setelah berkata begitu suara penggilan itu perlahan bergerak menjauh meninggalkan hembusan dingin yang membuat mataku perih seperih hatiku ketika mendengar dia memanggilku adik.**************
Kutinggalkan taman bermain dengan tumpukan daun-daun kering. Warna coklatnya menyamarkan warna pasir yang menyebar di seluruh area taman. Beberapa butir pasir masuk ke dalam sepatu bothku namun tak lagi kuperdulikan. Ingin rasanya aku cepat sampai di kamarku yang hangat, merebahkan diri di atas kasur busa yang empuk, menghilangkan rasa penat yang saat ini tidak saja menyiksa fisikku tetapi terlebih-lebih telah meremukredamkan bathinku. Atau membenamkan diri di dalam air hangat di dalam bath up supaya seluruh keletihan ini sirna dan berganti dengan rasa segar. Oh secangkir kopi panas sepertinya juga bisa menjadi pilihan yang tepat untuk merilekskan suasana seperti ini. Aku semakin mempercepat langkahku agar segera bisa melakukan semua hal yang bisa mengusir bayangan dia dari pikiranku.
Kulewati bangunan demi bangunan untuk sampai di apartemenku. Namun pandanganku seolah menjadi nanar atau entah memang mataku yang penat ini yang salah melihat dan membaca. Semua bacaan yang aku temui bertuliskan kata “adik”, adik, adik dan adik. Semua papan nama pertokoan, papan nama jalan, papan-papan pengumuman, semuanya bertuliskan kata adik... adik... dan adik..... Semua orang yang kutemui, yang berpapasan denganku, yang tengah duduk-duduk di kafe, restaurant, semua mengucapkan kata adik... adik dan adik. Suara mereka semuanya mirip dengan suara panggilan itu. Mendengung-dengung seperti sekelompok lebah yang baru saja keluar dari sarangnya. Ya Tuhan, suara panggilan itu benar-benar telah meracuni pikiranku, menyumbat syaraf-syaraf otakku, tak memberiku kesempatan untuk memikirkan hal lain selain suara itu. Aku terus mempercepat langkahku, dan berusaha menghindari gema suara-suara itu dengan menututup kedua telingaku. Dan ketika pada akhirnya aku telah sampai di depan pintu gerbang apartemenku, semua tulisan di daftar nama penghuni apartemenku berubah menjadi kata adik. Kubuka dengan tangan gemetar pintu kamarku yang di situ juga tertulis kata adik. Aku tak lagi perduli. Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, kututupi wajahku dengan bantal, kucoba untuk melupakan semua yang sudah aku alami hari ini. Tetapi semua usaha itu sia-sia karena seluruh isi kamarku sudah tertutup oleh tulisan kata adik. Akhirnya aku mengalah, kubiarkan pikiranku menyatu dengan kata itu. Kucoba menikmati kembali kebahagiaan yang dulu sering aku rasakan ketika dia memanggilku dengan sebutan itu.
“Adiiik, lho kamu ngapain sendirian di luar? Hujan-hujan lagi. Kenapa nggak gabung sama yang lain di dalam sana. Lebih hangat dan bisa mencicipi hidangan yang sudah tersedia”, orang yang memanggilku adik itu tiba-tiba sudah berada di hadapanku. Aku sangat gugup saat itu dan tak tahu harus menjawab apa. Laki-laki itupun sepertinya tidak membutuhkan jawabanku. Dia terus berdiri, membiarkan rambutnya yang tersisir rapi basah oleh cipratan air hujan, begitu juga kemejanya yang licin dan mengeluarkan aroma wangi tertimpa butiran-butiran kecil dari air hujan yang terhempas dibawa angin. Hari itu kalau tidak salah ada acara seminar atau simposium, entahlah aku lupa dan dia menjadi salah satu narasumbernya.
“Aku..... hm.....”
“Ya sudah, aku tunggu di dalam ya”, dia berkata sambll beranjak masuk kembali ke dalam ruangan sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Sekilas kulihat pandangan aneh di matanya, ada sedikit rasa khawatir di sana. Selalu seperti itu. Dia tidak pernah mau berlama-lama berada di dekatku atau bercakap-cakap denganku tetapi jika aku tidak ada dia selalu mencariku, menelponku atau mengirimiku sms meski kalimatnya hanya pendek-pendek dan sama sekali jauh dari kata manis. Aku sama sekali tidak faham mengapa dia bersikap seperti itu kepadaku, acuh tetapi butuh. Apa mungkin karena dia merasa aku selalu ada di saat dia membutuhkan seseorang untuk menolongnya. Aku sendiri juga heran mengapa selalu saja terjadi kebetulan-kebetulan yang membuat dia harus selalu merasa berhutang budi kepadaku.
Beberapa saat kemudian kulihat dirinya telah berbaur kembali dengan orang-orang yang ada di dalam ruangan dan seperti biasa, kebanyakan para perempuanlah yang mengelilinginya. Aku tidak akan sanggup untuk masuk ke dalam sana, menyaksikannya tertawa-tawa bahagia dengan beberapa perempuan yang selalu berada disekelilinginya. Aku tidak akan bisa membendung perasaan cemburu melihat mata-mata genit mereka menatapnya penuh kekaguman, saling berebut mencari perhatian darinya. Aku terus berdiri di tempatku, memandangi sosoknya yang memang mengagumkan. Tidak salah jika perempuan-perempuan itupun berpikiran sama denganku. Sesekali kulihat matanya mengarah ke sekeliling ruangan, entah siapa yang sedang dicarinya. Tetapi sejurus kemudian dia mengarahkan matanya ke arahku. Mungkin dia ingin memastikan kalau aku masih ada.. Wajahnya terlihat damai ketika matanya bersiborok dengan mataku. Seperti biasa tanpa senyum. Aku baru masuk ketika acara sudah dimulai, semua peserta sudah duduk tenang di kursinya masing-masing dan para narasumber sudah berada di atas mimbar. Aku selalu suka melihat gaya lincahnya saat mempresentasikan makalahnya.
Ruang seminar sudah sepi ketika aku keluar dari toilet. Di atas sebuah meja di pojok ruangan kulihat ada sebuah tas. Tas siapa itu yang tertinggal di sana, mungkin milik salah satu peserta pikirku. Aku segera mendekati tas itu untuk mencari tahu barangkali aku mengenal pemiliknya atau paling tidak ada identitas si pemilik yang melakat pada tas itu. Aku langsung mengenali tas itu ketika sudah berada di dekatnya. Tidak salah ini pasti miliknya. Dia memang sangat pelupa apalagi jika sudah mengobrol dengan teman-temannya, dia akan melupakan yang lain-lainnya. Aku lalu mengambil tas itu untuk kuserahkan kepadanya. Baru saja aku akan keluar pintu ruangan, kulihat dia dengan langkah cepat menuju ke arahku.
“Kamu mencari ini?”, tanyaku seraya menyodorkan tasnya.
“Alhamdulillah, untung ada adik yang menemukannya. Aku tadi keasyikan ngobrol sampai lupa untuk mengambilnya. Terimakasih”
“Sama-sama”, balasku sambil tersenyum kecil.
“Teeeeeeeeeeeeeet”. Suara bel di pintu membuyarkan lamunanku. “Siapa sih yang pencet-pencet bel, bikin kaget orang saja”, pikirku. Aku tidak menggubrisnya karena paling-paling juga tukang koran yang meminta tolong untuk membukakan pintu gerbang. Aneh, semuanya tiba-tiba kembali normal setelah aku mengalah dan berdamai dengan masa laluku. Aku tidak lagi menemukan tulisan-tulisan adik yang tadi memenuhi kamarku. Aku juga tidak lagi mendengar dengungan sura pangilan itu di telingaku. Kamarku sudah kembali tenang seperti semula. Aku lalu beranjak menuju meja untuk menyalakan laptopku. Begitu aku buka yahooku, ada satu kiriman dari seseorang yang tidak aku kenal. Karena penasaran aku buka kiriman itu. Betapa kagetnya aku karena begitu selesai aku mendownloadnya, terdengar suara panggilan itu “adiiiiiiiiiiiiiiiiiiik”

Berlin, sparrstrasse 2, 16 Oktober 2010, awal musim gugur yang dingin

KEHEBOHAN DI PAGI BUTA

Suara lolongan anjing telah membangunkanku pagi ini. Tidak biasanya ada anjing yang melolong seperti ini. Anjing siapakah itu? Mungkin dia kebelet ingin buang air sehingga memaksa pemiliknya untuk keluar di pagi buta dalam suhu yang dingin sepert ini. Kebiasaan di sini para pemilik anjing akan membawa anjingnya berkeliling di pagi hari untuk memberi kesempatan mereka membuang air kecil maupun buang air besar. Karena itu tidak heran jika kita bakal menemukan banyak tai anjing berceceran di sepanjang trotoar yang kita lalui. Namun nanti jika sudah agak siang sedikit, tai-tai anjing itu sudah tidak tampak lagi. Sudah dibersihkan oleh bagian kebersihan kota yang setiap pagi menyapu jalanan dan trotoar dengan menggunakan sebuah mobil yang dilengkapi dengan semacam sapu di sisi kanan kirinya baik di bagian depan, belakang maupun tengah. Kulirik jam yang masih melingkar di pergelangan tanganku, oh baru jam lima pagi. Berapa ya kira-kira suhu hari ini, mengapa terasa dingin sekali. Nyala beberapa lampu dari para penghuni Wohnung yang ada di seberang Wohnungku terlihat dari sela-sela tirai kamarku. Mereka yang sudah bangun mungkin karena harus berangkat bekerja lebih pagi entah disebabkan karena tempat kerjanya yang jauh dan sekarang tentunya tengah mempersiapkan diri. Kunyalakan laptop yang selalu standby di samping tempat tidurku dan kubuka sebuah link yang memuat info tentang suhu dan cuaca di sini. Uhg.... suhu hari ini antara 14 sampai 8 derajat celcius, berawan disertai angin kencang. Bagi penduduk asli tentu suhu seperti ini tidak terlau dingin tapi bagi pendatang seperti ku hm... bisa pakai baju sampai dobel lima deh kalau nanti keluar rumah.
Suara lolongan anjing terdengar lagi. Kali ini suaranya sangat miris dan membuat bulu kudukku berdiri. Ini benar-benar aneh, tidak pernah terjadi sebelumnya selama aku berada di sini. Apa sebenarnya yang telah terjadi di luar sana. Suara lolongan anjing seperti itu mengingatkanku pada sandiwara radio Jawa yang berjudul “Trinil” yang mengisahkan cinta segitiga antara seorang ibu dan anak gadisnya terhadap seorang jejaka. Karena dimakan oleh api cemburu yang teramat sangat lantaran sang jejaka lebih mencintai ibunya, sang anak kemudian membunuh ibunya dengan cara memutilasi tubuh ibunya. Memisahkan bagian kepala dari badannya. Kemudian badan sang ibu dikubur di bawah tempat tidur sang ibu dan kepalanya dihanyutkan ke sungai. Setiap malam terdengar suara sang ibu yang meminta anaknya untuk mengembalikan badannya. Bunyinya seperti ini “ Triniiill..... balekno gembungku nduk...”. Uh aku paling sebel kalau bapak dan ibuku menyetel sandiwara ini. Sang pengelola radiopun sepertinya tidak sensitif terhadap perasaan anak kecil. Mereka sengaja memutarnya di malam hari menjelang sebagian penduduk bersip-siap untuk pergi tidur. Akibatnya aku tidak bisa memejamkan mata karena ketakutan.
“Ma..... susu...”, suara anak bungsuku yang minta diambilkan susu sangat mengagetkanku. Dengan sedikit enggan aku bangkit menuju dapur untuk membuatkannya susu. Setelah menghabiskn susunya diapun kembali mendengkur. Tentu sangat lumayan bagi dia untuk menghabiskan jath tidurnya yang tinggal satu setengah jam lagi karena pukul setengah tujuh dia mesti bangun untuk memperiapkan diri sebelum berangkat sekolah pukul delapan nanti.
Aku membuka sedikit tirai jendelaku. Ah.... masih gelap sekali di luar. Suasananyapun tampak masih lengang. Tak terlihat satu orang pun. Ya... siapa pula yang mau dingin-dingin begini berada di luar, lebih enak melungker di balik selimut tebal bukan? Bulu kudukku kembali merinding. Kututup cepat-cepat tirai jendelaku dan kembali ke tempat tidur. Sambil menunggu jarum jam bergerak ke angka enam, kubuka link facebookku, membaca status-status wall sahabat-sahabat yang berada di tanah air. Tentunya di sana sudah siang saat ini dan mereka tengah sibuk beraktivitas. Duh.. jadi kangen dengan suasana hiruk pikuk di sana. Kemacetan, panas, debu..... atau becek kalau habis hujan... hmm masih bisa kurasakan bau tanah kering yang tertimpa air hujan. Aku kangeen.... tapi mesti bersabar, menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa menikmati semua itu.
Akhirnya jarum jam berada di angka enam, saatnya terjun ke dapur, memasak air untuk membuat teh, menghangatkan nasi, membuat lauk untuk sarapan dan mempersiapkan makanan sebagai bekal yang harus dibawa anak-anakku ke sekolah.
Saat sedang asyik di dapur itulah aku mendengar suara jeritan seorang perempuan kemudian diikuti oleh jeritan-jeritan yang lain. Aku mencoba mencari tahu darimana datangnya suara-suara jeritan tadi. Kuintip dari lubang pintu untuk memastikan apa yang tengah terjadi di luar sana.
Oooooooooooooooo...... suara jeritan terdengar lagi. Kali ini aku bisa memastikan jika suara itu berasal dari jalanan yang ada di depan Wohnung. Aku langsung berlari ke arah jendela ruang tamuku yang kebetulan menghadap ke jalanan.
“Apa yang telah terjadi di sini?” suara seorang laki-laki menyeruak dari balik jendelaku. Tepat di dekat kupingku membuatku sedikit berjingkat mundur.
“Lihat.... lihat..... di sana ada harimau besar”, salah seorang perempuan menjawab.
“Harimau?”, tanyaku membathin. Mana mungkin di sini ada harimau yang berkeliaran bebas. Lagi pula kebun binatang kan juga jauh dari sini. Dan lebih tidak mungkin lagi kalau sampai kebun binatang itu kebobolan dengan kaburnya salah satu penghuninya. Karena setahuku pengamanan di sana sangat ketat. Ah..jangan-jangan mereka salah lihat. Mungkin hanya seekor anjing yang memiliki badan sebesar harimau. Atau jangan-jangan memang anjing yang tadi pagi lolongannya kudengar. Aku jadi geli dan tersenyum sendiri. Kulihat beberapa orang mulai berdatangan. Ujung jalan sparrstrasse tampak ramai.
“Ada apa sih ma?” anak sulungku yang sudah bangun bertanya padaku. Rupanya dia juga mendengar kegaduhan yang terjadi di luar.
“Tadi banyak orang menjerit di luar, kata mereka ada harimau”
“Harimau?, ada-ada saja. mana mungkin di sini ada harimau berkeliaran”, sama seperti diriku anak sulungkupun tidak mempercayainya.
“Ya sudah, kalaupun ada pasti sebentar lagi polisi akan mengamankannya. Ayo kita bersiap-siap untuk beraktivitas”, ucapku seraya kembali ke dapur.
Pukul setengah delapan, anak sulungku pamit untuk berangkat ke sekolah. Aku menunggu beberapa saat di depan jendela untuk memastikan tidak terjadi hal-hal yang buruk dengn dirinya ketika melintas di tempat di mana tadi orng-orang mengatakan telah melihat harimau. Di sana sudah tampak sepi. Orang-orng yang tadi berkerumunpun sudah bubar. Berarti semuanya aman. Aku lalu ganti menyiapkan si bungsuku. Tepat pukul delapan aku mengantarnya ke sekolah. Ups...... aku menghentikan langkahku ketika membuka pintu gerbang Wohnung, jantungku rasanya mau copot saat itu juga. Di ujung jalan itu kulihat ada seekor harimau tengah tiduran dengan tenang di antara daun-daun kering yang berserakan menunggu bagian kebersihan datang untuk membersihkannya. Posisinya membelakangi kami. Badannya yang besar dan ekornya yang panjang tampak tak bergerak. Sepertinya tidurnya sangat lelap.
“Adik..... berhenti dulu dik.... ada harimau”, pekikku kecil sambil menarik tangan bungsuku supaya mendekat kepadaku.
“Ihh mama.. itu kan cuma seekor boneka harimau. Lihat tuh..... kupingnya sudah robek”, jawab bungsuku.
“Mosok tho dik... coba ayo kita lihat”, aku lalu menggandeng tangan bungsuku sambil bergerak maju mendekati si boneka harimau.
“E alaah..... ternyata benar apa yang dikatakan oleh si bungsu. Ini hanya sebuah boneka harimau. Mataku yang mulai plus tidak bisa melihat bagian boneka yang telah robek. Bentuknya sangat mirip dengan harimau beneran. Apalagi jika dilihat dari kejauhan. Orang yang melihatnya untuk pertama kali pasti mengira kalau ini harimau sungguhan. Tidak heran jika tadi pagi banyak yang berteriak karena kaget.
“Ha....ha...... mama ketipu”, ledek si bungsu kepadaku.
“Iya nih, adik lebih pintar dari mama”, jawabku sambil mengajaknya meneruskan perjalanan.

Catatan:
Wohnung : tempat tinggal/apartemen
Sprarrstrasse : nama sebuah jalan

Sparrstrasse 2, 9 Oktober 2010 dari balik selimut dingin

AISYAH MENGGUGAT

AISYAH MENGGUGAT...................
Garasi berukuran 4 kali 4 yang sudah beralih fungsi sebagai tempat belajar itu tampak dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bersantap makan siang. Mereka juga sedang menunggu kedatangan sang tuan rumah. Beginilah gambaran yang terjadi setiap tahun di garasi ini sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan. Mereka tak lain adalah orang-orang kampung yang tinggal di sekitar rumah ustadz Mansyur dan istrinya Aisyah. Mereka berkumpul untuk menerima sedekah dari keluarga ustadz Mansyur yang berupa sembako dan uang dengan harapan mereka akan dapat menjalankan ibadah puasa keesokan harinya dengan tenang dan khusyu’ karena sudah memiliki bekal untuk berbuka puasa dan sahur. Sungguh perbuatan yang sangat mulia dan patut untuk ditiru tentunya.
Ustadz Mansyur dan Aisyah masih berusia sangat muda. Mereka menikah empat tahun yang lalu dan sampai sekarang belum dikaruniai anak. Usia mereka kira-kira sekitar tiga puluhan tahun tetapi kiprah mereka di tengah-tengah masyarakat membuat sebagian tetangganya angkat jempol untuk mereka. Karena itu julukan ustadz dan ustadzah yang diberikan oleh tetangga-tetangganya pantas untuk disandangnya karena mereka aktif dalam kegiatan keagamaan dan setiap satu bulan sekali ustadz Mansyur memimpin pengajian di tempat tinggalnya sementara Aisyah mengajar TPA untuk anak-anak tetangganya.
Rupanya pasangan muda ini tidak mau melewatkan datangnya bulan Ramdhan ini tanpa mengisinya dengan berbuat kebaikan. Karena mereka tahu Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda sebagai ganjaran atas ibadah yang dilakukan hambanya pada bulan ini. Pahala bagi amalan sunnah yang kita lakukan pada bulan ini akan sama dengan pahala amalan fardhu yang kita laksanakan di bulan-bulan yang lain dan pahala bagi yang yang melaksanakan amalan fardhu pada bulan ini adalah tujuh puluh kali lipat dibanding bulan-bulan yang lain. Bayangkan, siapa yang tidak tergiur dengan janji Allah yang begitu besarnya itu. Tentu saja Aisyah dan ustadz Mansyur adalah termasuk orang yang ingin mendapatkannya.
Aisyah akhirnya keluar dari dalam rumahnya. Wajahnya tersenyum ramah ketika menyapa orang-orang yang tengah asyik menyantap hidangan makan siang yang telah disiapkannya.
“Apa kabar bapak ibu?, bagaimana masakan saya, enak tidak?”, tanyanya sambil duduk di antara mereka.
“Alhamdulillah baek ustadzah”, jawab mereka hampir berbarengan. Sebenarnya Aisyah keberatan jika dirinya dipanggil ustadzah karena ilmu agama yang dimilikinya tidaklah banyak. Masak hanya karena dia mengajar anak-anak tetangga mengaji terus kemudian dipanggil ustadzah? Suaminya juga mendapat julukan ustadz awalnya hanya guyonan para tetangga saja karena dengan suka rela dia bersedia memimpin pengajian di saat warga yang lain tidak ada yang mau dan akhirnya jadi keterusan deh. Jadi sebenarnya dia dan suaminya adalah ustadz dan ustadzah dadakan. Tapi ya sudahlah, kalau orang-orang kemudian memanggilnya begitu mereka ambil hikmahnya saja dan menjadikannya sebagai tameng agar selalu berperilaku selayaknya seorang ustadz dan ustadzah. Dengan begitu, mereka harus selalu berhati-hati dalam menjaga tingkah laku mereka.
“Wah ya pasti enak lah kalau ustadzah yanga masak mah”, celetuk salah seorang dari mereka.
“Semoga ustadzah dan keluarga juga selalu dalam lindungan Allah subhanallahu ta’ala”, timpal yang lainnya.
“Alhamdulillah, makasih...makasih. Ayo silahkan diteruskan atuh makannya. Santai wae di sini mah ya”, Aisyah mempersilahkan para tamunya untuk meneruskan makan siang mereka.
“Lho, mang Kadir kemana nih kok nggak kelihatan?”, Aisyah bertanya ketika dilihatnya ada yang tidak hadir di antara tamu-tamu langganan tahunannya ini.
“Entu ustadzah, tadi bilangnya sih lagi ngojekin orang ke Kebayoran. Mungkin sore dia baru bisa ke sini”, jawab temannya mang Kadir yang sama-sama berprofesi sebagai tukang ojek.
“Oh.... ya sudah nggak apa-apa, rejeki kan nggak boleh ditolak ya”
Setengah jam kemudian mereka sudah menyelesaikan makan siang mereka. Beberapa ibu-ibu yang hadir ikut membantu PRTnya Aisyah untuk membereskan sisa-sisa makan siang mereka dan membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur.
“Tanpa terasa bulan puasa sudah di depan mata kita ya bapak ibu, alhamdulillah Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertemu Ramadhan tahun ini. Semoga kesempatan itu juga tetap masih diberikan untuk Ramadhan tahun-tahun yang akan datang, amin”, Aisyah mulai membuka pertemuan siang itu dengan sedikit formal.
“Amiin.....”, jawab semuanya.
“Karena itu bapak dan ibu sekalian harus benar-benar menjaga kesehatan, banyak-banyak beribadah biar Allah terus melindungi kita semua.”
“Insya Allah ustadzah”
“Seperti biasanya, saya ingin berbagi sedikit kepada bapak dan ibu, tolong jangan dilihat seberapa besar yang kami berikan tapi yang paling penting adalah keikhlasan kami berbagi dengan bapak dan ibu sekalian, ya?”
“Ya kagak lah ustadzah, justru kami yang ngucapin terimakasih atas kebaikan ustadzah dan keluarga kepada kami”, Babah Amad yang paling tua di antara yang hadir berbicara mewakili yang lainnya.
“Alhamdulillah, kalau begitu biar nggak pada kelamaan ninggalin pekerjaan, saya akan mulai membaginya” Aisyah kemudian mulai membagi bingkisan-bingkisan dan amplop kepada semua yang hadir. Wajahnya terlihat sangat gembira . Aisyah senang bisa menyambut kedatangan Ramadhan dengan berbagi kebahagiaan bersama kaum dhu’afa’ yang ada di sekitarnya. Aisyah berharap bisa melaksanakan ibadah bulan ramadhan tahun ini dengan penuh kekhusukan. Aisyah juga sangat percaya bahwa bulan Ramadhan adalah bulan suci yang di dalamnya sangat banyak sekali pahala dan berkah bagi orang-orang yang melakukan amal shaleh. Aisyah berharap dengan melakukan banyak ibadah dan amal shaleh pada bulan ini, segala harapan dan keinginannya akan dikabulkan oleh Allah Swt. Aisyah sangat ingin masuk sebagai salah satu orang seperti yang disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya “Barang siapa yang menyambut kedatangan Ramadhan dengan penuh kegembiraan maka Allah akan mengharamkan jasadnya menyentuh api neraka”. Alangkah indah dan nikmatnya janji Allah itu, begitu bathin Aisyah.
Usai menerima bingkisan, satu persatu orang-orang yang hadir mohon pamit sambil tak lupa mengucapkan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya dan mendoakan agar Aisyah dan keluarganya selalu diberi rejeki yang melimpah dan berlipat ganda serta selalu dijaga kesehatannya oleh Allah subhanahu wata’ala. Ada pula yang mendo’akan semoga Asiyah segera diberi momongan. Semua do’a yang terlontar Aisyah jawab dengan mengucap amin dan rasa syukur.
Sesuai dengan julukannya yaitu Ramadhan bulan yang suci maka sudah sepatutnyalah seluruh umat muslim menyambutnya dengan kesucian jasmani dan rohani dan kemudian mengisinya dengan mmemperbanyak berbuat kebajikan. Aisyah pun tak ingin ketinggalan dengan moment-moment penting seperti ini. Selain membagi-bagi bingkisan kepada para dhu’afa’, istri ustadz Mansyur ini juga memperbaiki penampilannya. Kalau pada hari-hari biasa kemana-mana hanya mengenakan kerudung panjang atau selendang sebagai penutup kepalanya atau lebih seringnya hanya diselempangkannya di kedua bahunya, mulai hari pertama puasa Aisyah sudah memakai jilbab untuk menutupi seluruh kepalanya. Selama ini suaminya memang tidak pernah memaksa Aisyah untuk mengenakan jilbab atau berbusana muslim lengkap. Karena menurutnya seseorang yang baik tidak dinilai dari caranya berpakaian saja tapi dari akhlak dan juga hatinya. Lagi pula sesuatu yang dipaksakan atau tidak datang dari hati nurani hanyalah pekerjaan yang sia-sia karena tidak akan mendapatkan pahala dari Allah. Tapi meski begitu, Aisyah tidak lantas berbuat seenaknya, dia tetap menghormati suaminya yang seorang ustadz dengan berpakaian sopan dan berperilaku baik kepada orang-orang di sekitarnya. Hampir tidak pernah terdengar ada pertikaian atau perselisihan yang terjadi antara Aisyah dengan tetangga-tetangganya. Ya kalau bergosip ssedikit-sedikit sih nggak apa-apalah, namanya juga manusia tempat ssegala lupa dan khilaf. Itu juga dilakukannya bersama ibu-ibu yang lain dan yang dibicarakannya tak lain adalah kelakuan para selebritis yang kebanyakan tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. ***********
Aisyah melihat angka-angka yang tertera di kalender yang tergantung di salah satu dinding ruang keluarganya. Beberapa kali dia melipat-lipat jemarinya seperti orang yang sedang berhitung. Dahinya yang putihpun berkerut. Tampaknya sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Tanggal berapa ya aku terakhir dapet, kok jadi lupa begini sih” keluhnya sambil mencoba menghitung-hitung kembali.
“Oh iya, waktu itu kalau nggak salah pas ada arisan di rumah bu Rt, hm... arisannya tanggal berapa ya. Aduuh kok jadi pikun begini sih aku”, Aisyah semakin menggerutu karena tak berhasil mencari kepastian tanggal dia mendapat haid terakhir kalinya.
“Lagi ngapain sih yang, kok sejak tadi aku perhatikan kamu ngomong-ngomong sendiri”, ustadz Mansyur yang baru selesai shalat maghrib menghampirinya.
“Eh mas ingat nggak kapan aku terakhir dapet?”
“Dapet apaan?”
“Ih... haid maksudku, gitu aja nggak paham sih”
“Lagian ngomong kok nggak jelas, kan bisa jadi dapet arisan atau dapet giliran kasih kopi ke satpam, mana aku tahu dapet yang kamu maksud adalah itu. Hm... kalau itu sih aku inget doong he..he...”
“Ih dasar, kalau masalah itu aja selalu inget”, Aisyah mencubit lengan suaminya yang mencoba menggodanya.
“Ya iya dong, wajib diingat kalau urusan yang satu itu. Waktu itu malam sabtu, sehari setelah malam jum’at, jadi setelah kita melaksanakan sunnah Rasul untuk membunuh orang –orang kafir he..he....”
“Oh iya he....he... terus besoknya ada arisan di rumah Bu Rt. Baru inget deh sekarang, makasih ya mas”
“Biasanya nggak pernah dihitung gitu, memang mau ngapain?”, suaminya bertanya penasaran.
“Besok kan bulan puasa mas, bulan penuh berkah dan ampunan. Malaikat jibril akan sering turun untuk membagi-bagikan rejeki kepada orang yang selalu berbuat baik dan rajin beribadah di bulan puasa. Siapa tahu kalau kita memohon sesuatu kepada Allah, permohonan kita akan dikabulkan, iya kan?”
“Iya, tapi jangan sampai niat puasanya karena mengharap berkah dari Allah, nanti nggak dapat pahala syurga”, tukas ustadz Mansyur.
“Insya Allah nggak mas, puasa tahun ini pokoknya aku ingin benar-benar puasa yang diridhoi oleh Allah supaya aku menjadi orang yang beruntung, bisa mendapatkan kemulyaan bulan ini. Aduh, sampai lupa deh mau menghitung kapan kira-kira aku akan mendapatkan kembali haid bulan ini. Sudah sana mas makan duluan nanti aku menyusul. Kita kan harus ke masjid untuk tarawih” Aisyah mendorong lembut tubuh suaminya sambil senyum-senyum dan setelah suaminya meninggalkannya dia pun kembali menatap kalender dan melingkari satu angka yang ada di sana. Kemudian dia mulai mencocokkan angka itu dengan kalender Ramadhan. Sesaat wajah Aisyah tampak kecewa dan sedih.
“Ya Allah, aku mohon beri aku kesempatan untuk mendapatkannya?”, bisiknya sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
“Yang.... lama banget sih ngitung-ngitung tanggalnya, ayo makan dulu, itung-itungannya nanti dilanjutkan ba’da tarawih aja”, ustadz mansyur terdengar berteriak dari ruang makan.
“Iya... iya... sebentar lagi mas, nih aku sudah jalan nih”, Aisyah menjawab dengan berteriak pula sambil kakinya melangkah menyusul suaminya ke ruang makan.
“Lho, mas sudah selesai ya makannya?’, tanya Aisyah ketika dilihatnya piring suaminya sudah kosong.
“Belum dong, ini baru mau ronde kedua, nunggu kamu biar makannya bareng”, jawab ustadz Mansyur sambil menyendok nasi ke piringnya.
“Aku lagi males makan”, Aisyah berkata sambil duduk di samping suaminya.
“Kenapa? Nanti sakit lho. Besok kan kita mulai puasa jadi harus menjaga kesehatan biar puasanya lancar”
“Saya berharap bulan ini tidak mendapatkan haid mas.................”
“Sabar yang..... kita percayakan semuanya pada Allah. Kalau sampai sekarang ktia belum mendapatkannya, mungkin Allah melihat kita belum siap untuk menerima amanat itu. Yang penting usaha kita harus terus ditingkatkan selain berdoa, gimana?”, ustadz Mansyur mengerlingkan matanya dengan genit ke arah Aisyah.
Aisyah tersenyum mendengar apa yang diucapkan suaminya. Hatinya bagai tersiram es dan dia meyakini kebenaran ucapan suaminya itu. Harus terus meningkatkan usaha dan terus berdoa. Dalam hati Aisyah berjanji untuk melewati Ramadhan kali ini dengan memperbanyak amal ibadah dan berbuat kebajikan dan memperbanyak berdoa tentunya.
“Betul mas, usaha dan doa itu yang penting. Insya Allah Ramadhan kali ini membawa banyak berkah buat kita, amin”, ujar Aisyah. Dia jadi menemukan kembali semangat makannya. Dipenuhinya piringnya dengan nasi beberapa lauk lalu memakannya dengan lahap.*****************
“Mas, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan nanti aku dan ibu-ibu komplek mau melakukan i’tikaf di Masjid Agung, bolehkan mas?” Aisyah meminta ijin kepada suaminya ketika mereka sedang sama-sama berbuka puasa sore itu.
“Ya boleh dong, masak istri mau beribadah dilarang sih”, jawab ustadz Mansyur.
“Pokoknya nanti sebelum berangkat, aku akan siapkan semua keperluan sahur mas, mas tinggal menghangatkannya saja”
“Terus kamu sendiri nanti sahur di mana?”
“Ibu-ibu bilang sih pada mau bawa bekal mas, atau bisa juga membelinya di warung-warung tenda yang ada di dekat masjid Agung. Gampanglah kalau urusan itu, nggak sahur juga nggak apa-apa kok”
“Hm.... beneran nih, nggak bakal kenapa-kenapa kalau nggak sahur? Nanti baru tengah hari udah klepek-klepek dan bilang lapar”, ledek ustadz Mansyur
“Ha.... ha...... tahu aja sih kalau istrinya suka nggak tahan lapar”, Aisyah tertawa senang diledek seperti itu. Itu memang salah satu kelemahannya, susah menahan lapar. Pernah suatu ketika dalam candaannya di depan teman-temannya dia berkata “Ya Allah, aku mau deh menjalankan ibadah apa saja asalkan jangan kau suruh aku berpuasa”. “Enak banget permintaanmu itu Syah”, komentar salah satu temannya waktu itu.
“Kenapa kita disunnahkan untuk sahur sebelum berpuasa, karena sahur itulah yang membedakan puasa kita dengan puasanya orang Yahudi, seperti yang Rasulullah katakan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim. Sahurnya orang yang mau melaksanakan puasa juga penuh dengan berkah Allah. Itu juga yang dikatakan Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Karena itu sahur meskipun sunnah sangat dianjurkan untuk dilakukan. Katanya kamu mau mendapatkan berkah Ramadhan, jadi ya jangan pernah untuk tidak sahur”, ustadz Mansyur kembali menasehati istrinya.
“Iya..iya mas, aku akan sahur, jangan khawatir”
“Ya sudah, ayo lekas habiskan kolaknya, mas tunggu di kamar shalat ya untuk melaksanakan shalat maghrib”
“Oke bos, siap laksanakan”, Aisyah lalu memasukkan sendokan terakhir kolak ke dalam mulutnya. Setelah meneguk sisa teh manisnya dia buru-buru ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan kemudian menyusul suaminya untuk bersama-sama melakukan shalat maghrib berjama’ah. Sekilas sudah terbayang di pelupuk matanya sop buntut yang bakal menjadi menu makannya malam ini. Namun begitu tangannya terangkat untuk melakukan takbiratul ihram, semua urusan dunia sirna dari ingatannya, yang ada tinggal dirinya dengan sang pencipta.***************
Tak terasa Ramadhan telah memasuki sepertiga dari keseluruhan waktunya. Semangat para muslimin dan muslimat kembali dibangkitkan bila datang sepuluh malam terakhir. Itu karena di antara sepuluh malam terakhir itu Allah telah membuat satu malam yang disebut malam penuh kemulyaan di mana pada malam itulah pertama kali diturunkan al-Qur’an, kitab suci yang merupakan pedoman bagi seluruh umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya dan pada malam itu pula turun para malaikat untuk mengatur segala urusan. Pada malam penuh kemulyaan itu dianjurkan kepada seluruh umat muslim untuk menghidupkan malam itu dengan memperbanyak amalan ibadahnya, seperti melakukan shalat malam, bertadarus membaca al-Qur’an, berdzikir dan ibadah-ibadah lainnya.
Aisyah sangat optimis kali ini Allah juga bakal mengabulkan keinginannya sebagaimana yang sudah-sudah. Selama ini dia tak pernah berhenti untuk berbuat kebaikan dan menjalankan amal ibadah-amal ibadah lainnya. Tiap selesai shalat Aisyah selalu tak lupa untuik berdzikir dan menyempatkan diri untuk membaca al-Qur’an, tak heran jika saat ini dia sudah hampir mengkhatamkan seluruh isi al-Qur’an, tiap malam Aisyah juga melakukan qiyamullail sebelum menutupnya dengan shalat witir. Aisyah juga selalu menyisihkan sebagian makanan berbuka puasanya untuk tetangga-tetangganya yang kurang beruntung, dia juga sudah mengurangi porsi mengobrol dengan para tetangga membicaakan gosip-gosip terkini dari para selebritis. Pokoknya hampir seluruh waktunya di bulan puasa ini Aisyah habiskan untuk melakukan amalan yang baik.
Sambil bernyanyi gembira Aisyah menata masakannya di meja makan. Ada kolak, setiap hari kolak ini tidak boleh tidak ada karena ustadz Mansyur sangat menyukai ta’jilan yang satu ini. Kemudian ada opor ayam, tahu dan tempe goreng dan tak ketinggalan pula kerupuk dan sambal terasinya. Teh hangat manispun sudah tersedia di teko kecil berdekatan dengan kotak berisi buah kurma. Setelah selesai menata semua masakan di meja, Aisyah kemudian mengambil rantang yang sudah diisinya dengan beragam lauk untuk diantarkannya ke rumah mak Onah, seorang janda tua yang hidup sebatang kara dan tinggal tidak terlalu jauh dari rumah Aisyah. Keseharian mak Onah berjualan nasi uduk, dulu Aisyah dan suaminya pulalah yang memberinya modal untuk berjualan nasi uduk.
Di depan pintu pagar Aisyah bertemu dengan ustadz Mansyur yang baru saja pulang dari bekerja. “Aku mengantar bukaan dulu ke rumah mak Onah mas”, pamitnya pada suaminya.
“Iya, nggak usah ngobrol terlalu lama ya, sebentar lagi kan maghrib”
“Insya Allah, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”, jawab ustadz Mansyur.
Aisyah menepati janjinya, selang sepuluh menit kemudian dia sudah berada kembali di rumah. Dilihatnya sang suami sedang mendengarkan kultum menjelang buka puasa di salah satu TV swasta.
“Mas, nanti malam aku dan ibu-ibu akan mulai melakukan i’tikaf”, ucapnya dengan wajah berseri-seri.
“Biasa aja kelle, gembira banget sih”
Aisyah tersenyum lebar. Dia gembira karena mengira Allah telah mengabulkan doanya. Buktinya sampai detik ini belum ada tanda-tanda dia bakal kedatangan tamu bulanannya. Biasanya kan sehari atau dua hari menjelang haid, payudaranya sudah terasa kencang dan sakit.
“Ya senang lah, karena Allah mengabulkan doaku”, celotehnya.
“Jangan takabur begitu, nggak baik”, suaminya menasehatinya.
“Lho bukan takabur mas, tapi bersyukur. Memangnya mas nggak ikutan seneng kalau doa istrinya dikabulkan Allah?”, wajah Aisyah sedikit merengut.
“Ya senang lah, apalagi kalau lihat wajah kamu yang lagi merengut begitu, aku bersyukur sekali karena telah diberi seorang istri yang meskipun sedang merengut masih saja tetap terlihat cantik”
“Ih..... mas senangnya menggoda deh”, Aisyah memukul pundak suaminya kemudian memeluknya mesra.
“Eit.... awas lho nanti batal puasa kita. Nanti aja habis buka puasa ya, kita buka yang lain juga, ha..ha..”
“Uh, maunya. Maaf ya ustadz Mansyur, malam ini saya tidak bisa karena saya punya janji dengan pacar saya yang lain”, gantian Aisyah yang menggoda suaminya.
“Eh udah adzan nih, yuk kita buka puasa”, sambil berdiri Aisyah menggandeng suaminya dan berjalan menuju ruang makan.
Selesai berbuka puasa dengan makanan yang ringan-ringan Aisyah dan ustadz Mansyur biasanya akan melaksanakan shalat maghrib terlebih dadulu, setelah itu mereka akan kembali meneruskannya dengan makan malam. Tapi sore ini terpaksa ustadz Mansyur harus shalat seorang diri karena sesuatu hal telah terjadi pada Aisyah
“Lho, wajahmu kenapa yang.. kok kayak orang habis kehilangan sesuatu aja?”, tanya ustadz Mansyur ketika dilihatnya wajah Aisyah tampak sedih sekali begitu keluar dari kamar mandi.
“Allah nggak adil sama aku mas”
“Astaghfirullahal adziim, istighfar yang... bagaimana kamu bisa punya pikiran seperti itu?”
“Sudah lama aku mendambakannya tapi tak pernah dikabulkannya. Tahun lalu kejadiannya juga sama seperti ini”
“Memangnya apa yang kamu dambakan? Dosa lho kalau kamu sampai menyepelekan Allah”
“Sama seperti umat muslim yang lain, aku juga ingin bisa mengalami malam istimewa itu mas, malam yang datangnya cuma satu tahun sekali dan adanya hanya di bulan Ramadhan. Apa karena aku perempuan maka tidak diprioritaskan. Apa salah kalau aku menggugat Allah dan menganggapnya telah berlaku tidak adil?”
“Masya Allah.... bicaramu semakin ngawur saja, ayo kita shalat dan minta ampun sama Allah”, ustadz Mansyur menarik tangan istrinya untuk diajak shalat berjama’ah.
“Aku nggak bisa, aku dapat haid. Aku juga nggak akan bisa melakukan i’tikaf, nggak akan bisa memaksimalkan ibadahku di sepuluh malam terakhir ini, lewat sudah kesempatanku untuk mendapatkan malam itu”, Aisyah menghentakkan tangannya dengan marah.
“Oh.... jadi ini tho yang jadi penyebabnya. Tunggu di sini ya, nanti kita bicara lagi setelah aku selesai shalat”, ustadz Mansyur kemudian meninggalkan Aisyah dengan gelengan kepala. Aisyah yang sedang marah pada dirinya sendiri membuang muka, apalagi ditambah sikap suaminya yang bukannya ikut prihatin tapi justru malah menyalahkannya, membuatnya semakin marah.
Usai shalat, ustadz Mansyur mengajak istrinya duduk di ruang keluarga. Dari mulutnya mengalirlah nasehat-nasehat untuk istrinya yang sedang marah dan kecewa pada Allah.
“Pertama, sikap kamu yang marah pada Allah itu sangatlah tidak terpuji dan tidak mencerminkan sebagai seorang muslimah yang baik . Kamu tahu kan, Allah itu Maha tahu akan apa yang akan dan sudah diperbuatnya. Kalau memang sudah waktunya bagi kamu haid, ya seharusnya kamu bersyukur dong, itu artinya kamu adalah seorang perempuan yang sehat dan dianugerahi kesempatan untuk memiliki keturunan. Coba kalau kamu tidak bisa haid mungkin akan bersarang berbagai penyakit di rahimmu”
“Tapi buktinya sudah empat tahun aku belum juga hamil mas, apa itu yang dimaksud adil?”, Aisyah memotong perkataan suaminya.
“Itu hanya masalah waktu, kita sudah periksa dan dokter bilang kita baik-baik saja, iyakan? Insya Allah, Allah punya rencana lain yang lebih bagus untuk kita. Kedua, kalau kamu memanggap Allah tidak adil, berarti kamu tidak lagi mempercayai al-Qur’an. Coba kamu baca dan pahami baik-baik apa yang Allah katakan di sana. Allah mengatakan bahwa semua manusia itu di hadapan Allah sama kedudukannya, kecuali taqwa yang membedakan. Ketiga, kalau yang kamu maksud dengan malam istimewa itu adalah malam lailatul qadr, dan perempuan yang dalam keadaan haid tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkannya, kamu juga salah besar. Allah memperuntukkan malam lailatul qadr itu buat semua umat muslim, baik laki-laki dan perempuan. Caranya, yaitu dengan memperbanyak amal ibadah. Shalat malam, tadarusan, berdzikir dan ibadah-badah lainnya”
“Justru itu mas, sekarang aku tidak lagi bisa melakukan semua itu karena terhalang haid. Padahal menurut hadits Rasulullah, ibadah yang paling utama untuk mendapatkan malam lailatul qdar adalah shalat malam”, Aisyah kembali memotong ucapan suaminya.
“Seperti yang aku katakan tadi sayang, Allah itu Maha Adil, siapa saja dan dalam keadaan apapun juga jika Allah berkenan menerima amal ibadahnya, maka dia berkesempatan untuk mendapatkan berkah lailatul qadr. Jadi jangan khawatir. Kalau kamu sedang haid, kamu maasih bisa membaca al-qur’an dengan tanpa menyentuhnya. Kamu bisa memperbanyak zikir, memperbanyak istighfar dan juga memperbanyak berdoa. Allah kan sudah tahu kamu hobby sekali berbuat amal shaleh, itu juga bisa menjadi bekal untuk mendapatkan berkah lailatul qadr. Jadi nggak ada alasan untuk marah dan menganggap Allah itu tidak adil. Ayo sekarang lakukan istighfar sebanyak-banyaknya”, Ustadz Mansyur meraih tangan Aisyah dan mengelus punggung tangan perempuan itu.
“Astaghfirullahal adziim..... ampuni dosaku ya Allah, yang telah bersu’udhon kepadamu”, tanpa malu-malu Aisyah menangis di hadapan suaminya.
“Maafkan istrimu yang bodoh ini mas”, Aisyah menyandarkan kepalanya di bahu ustadz Mansyur. Samar-samar terdengar suara dari dalam perut suaminya itu.
“Ih.... kamu lapar ya, ayo aku temani makan”, Aisyah berkata sambil mencubit perut suaminya.
“Bayaran untuk ustadz pribadi ya nggak cuma ditemani makan saja dong”, ustadz Mansyur berkata sambil nyengir kuda.
“Maksud lloh?”
“Biasanya kalau hari pertama cuma noktah-noktah aja kan yang keluar?”
“Ihh..... amit-amit deh, ustadz kok kelakuannya genit begini, meski baru noktah-noktah tetap nggak boleh”, Aisyah kemudian menghambur ke pelukan suaminya. Mereka beriringan menuju ruang makan. Dan malam itu tampak Aisyah tak henti-hentinya berdzikir dan memuji nama Allah serta memanjatkan doa agar hatinya selalu terjaga dari segala buruk sangka terutama berburuk sangka kepada Allah subhanahuwata’ala.

Berlin, akhir Ramadhan 1431 H/ 2010 M