Kamis, 20 November 2008

RUMAH BARU


Rina memandangi rumah barunya yang besar dengan perasaan puas. Tak sia-sia pengorbanan yang telah dilakukannya selama ini demi mewujudkan impiannya memiliki rumah besar itu. Bayangkan saja, dia yang hobbinya belanja dan jalan-jalan, untuk beberapa tahun ini terpaksa harus menghentikan semua kebiasaannya itu. Suaminya terus me-warning-nya agar ia benar-benar berhati-hati dalam mempergunakan uang. “Mulai sekarang kurangi tuh kebiasaan belanja dan jalan-jalanmu. Katanya pingin punya rumah yang besar. Mana mampu ayah beli kalau duitnya habis untuk belanja melulu”, Rina tersenyum kalau ingat ucapan suaminya yang hampir setiap hari ditujukan kepadanya. Pengorbanan itu sekarang nggak ada artinya lagi manakala sebuah rumah besar telah berdiri di hadapannya. Eit tapi tunggu dulu, jangan salah. Pengorbanan itu tentu belum berakhir. Rumah besar ini kan juga memerlukan isi alias perabotan, dan untuk mendapatkan semua itu dari mana dananya kalau tidak terus berhemat dan rajin menabung. “Nggak apa-apa lah, berkorban sedikit lagi. Buktinya selama beberapa tahun ini aku bisa menjalaninya. Yang penting rumah impianku ini tidak kosong melompong nantinya hi...hi....”, Rina tertawa dalam hati. Rina patut merasa senang, karena rumah sebesar itu memang dipersembahkan suaminya untuk dirinya. Mungkin suaminya ingin membuktikan bahwa dia memang benar-benar mencintai istrinya. Istri mana sih yang tidak senang diberi hadiah sebuah rumah, besar pula. Itulah yang dirasakan Rina saat ini. Setelah puas berdiri memandangi rumahnya dari luar, Rina bergeagas masuk ke dalamnya. Di sana banyak pekerja yang sedang merenovasi rumahnya. Beberapa majalah dan tabloid-tabloid yang memuat design dan interior rumah yang akhir-akhir ini rajin dibelinya untuk mencari inspirasi tentang model rumah tak lupa dibawanya serta. Siapa tahu, salah satu model rumah yang ada di dalam tabloid-tabloid atau majalah-majalah itu bisa diterapkan untuk rumahnya terutama interiornya. Tapi sekarang ini yang sedang dia prioritaskan adalah mengecat ulang dinding-dindingnya. Rina sangat selektif dalam memilih warna cat. Dia mau setiap ruangan memiliki cat yang berbeda-beda, agar orang yang masuk ke dalam rumahnya nanti tidak merasa bosan. Hampir setiap hari Rina menyempatkan diri untuk melihat rumah barunya itu, berjalan dari sudut ke sudut, ke belakang lalu ke depan lagi, lalu naik ke lantai dua, turun lagi, ke belakang lagi, balik ke depan lagi, berjalan hilir mudik di antara para pekerja. Dia berharap dengan cara itu dia bisa menemukan ide untuk menata rumah barunya setelah selesai di renovasi nanti. Sesekali dia berhenti, meraba-raba bagian tembok yang sudah dicat. Kemudian dari kejauhan dia pandangi tembok itu. Seolah-olah ingin memastikan bahwa warna yang dipilihnya memang sudah pas. Untung para pekerja yang merenovasi rumahnya sangat sabar mengikuti instruksi-instruksinya.

Sejak rumah itu terbeli yang dilakukan Rina dan suaminya adalah mengumpulkan informasi-informasi tentang konsep hunian yang baik. Bangun tidur, menunggu sarapan, mau berangkat ke kantor, habis masak, sedang istirahat, pulang dari kantor menjelang tidur yang dibicarakan melulu soal rumah baru. Di tangan mereka tak pernah lepas majalah-majalah dan tabloid-tablid yang berisi contoh gambar rumah, dekorasinya, furniturenya, dan segala macam yang berhubungan dengan rumah. Semakin dibolak-balik semakin bingung mereka untuk menentukan mana model yang cocok untuk diterapkan di rumah baru mereka. Yang satu berpendapat kalau modelnya begini mungkin bagus, yang lain berpendapat justru yang cocok model seperti ini. Nanti di ruang ini diisi dengan perabotan seperti ini, oh jangan, sebaiknya perabotannya seperti ini saja. Dari diskusi-diskusi itu terkadang timbul perselisihan-perselisihan kecil. Masing-masing ingin ide dan pendapatnya diterima. Kalau sudah begitu ujung-ujungnya ke masalah dana. Satu hal yang sangat sensitif dan membuat perasaan jadi sangat tidak enak. Rina merasa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu keuangan suaminya dan semakin merasa hanya menjadi beban suami saja sementara sang suami yang merasa betapa susahnya mencari uang menyalahkan istri yang maunya semua keinginannya bisa dipenuhi. Puncaknya di tempat tidur mereka saling membelakangi. Untungnya sih setiap perselisihan tidak pernah berlangsung lama. Esok paginya ketika bangun dari tidur mereka sudah melupakan kejadian sebelumnya. Mereka kembali duduk bersama, bercengkrama, kembali membolak balik majalah, kembali mengeluarkan ide dan pendapat. Selalu begitu.

“Pak, cat kusen kamar yang di atas nanti diganti dengan warna putih saja ya, biar kelihatan kontras dengan warna temboknya”, Rina memberi instruksi kepada salah satu pekerja.

“Oh iya bu, untuk halaman belakang itu ubinnya warna apa ya bu?”

“Nanti pakai ubin dari batu alam saja pak, sama dengan kamar mandi yang ada di kamar utama”.

“Baik bu, saya permisi dulu”. Rina mengangguk ramah. Dia meneruskan mengamati hasil kerja para tukang, kalau dirasa ada yang tidak sesuai dia meminta para tukang itu untuk memperbaikinya lagi. Pokoknya dia mau rumah barunya nanti kelihatan benar-benar sempurna.

Sebenarnya Rina dan suaminya juga anak-anaknya sudah sangat betah dengan lingkungan rumah di mana mereka sekarang tinggal. Udaranya masih bersih dan segar, bebas dari polusi. Jauh dari jalan besar sehingga aman untuk anak-anak bermain. Hampir seluruh warganya memiliki civil society yang bagus. Rasa solidaritas dan toleransi mereka terhadap tetangga begitu tinggi. Sampai-sampai masalah rumah tangga kadang-kadang menjadi masalah bersama. Pernah ada salah satu pasangan yang bertengkar. Si suami minggat. Para tetangga turut sibuk mengurusinya. Yang bapak-bapak mencoba cari informasi ke sana kemari tentang keberadaan si suami sementara ibu-ibunya mencoba mencari tahu permasalahan yang sebenarnya dengan mendatangi sang istri. Belum lagi kalau ada musibah, kematian misalnya. Selama tujuh hari semua tetangga akan bergantian memasak untuk warga yang terkena musibah. Sampai soal pengurusan pemakaman jenazah dan tahlilan pun para warga bergotong royong membantu. Dalam urusan keagamaan, mereka saling menghormati dan tidak pernah saling mengganggu satu sama lain. Ketika lebaran tiba, mereka yang beragama non muslim mengunjungi yang muslim dan ketika hari natal tiba yang muslim mengucapkan selamat natal dan mengirim parcel ke mereka yang merayakannya. Jarang kan menemui lingkungan seperti itu. Jakarta geto loh. Kebanyakan orang yang hidup di kota-kota besar kan gaya hidupnya udah elo-elo-guwe-guwe. Rina bersyukur banget karena begitu mampu membeli rumah meski ukurannya kecil tapi lingkungannya sangat baik. Membuat dia sekeluarga jadi betah. Jika ada long week end mereka mengadakan makan bersama dengan menggelar tikar di depan rumah, main organ tunggal dan berkaraoke. Tujuh belas agustusan selalu berlangsung dengan meriah. Pokoknya susah deh ketemu sama lingkungan yang seperti itu. Mereka juga tidak perlu khawatir untuk meninggalkan anak-anak di rumah hanya dengan pembantu atau meninggalkan rumah dalam keadaan kosong karena ada tetangga yang selalu siap membantu manakala diperlukan. Tapi ya apa boleh buat. Kebetulan ada orang yang sedang butuh uang, kemudian menawarkan rumahnya yang sangat besar dengan harga murah. Setelah merasa cocok. Akhirnya Rina dan suaminya bersedia untuk membelinya. Kapan lagi bisa memiliki rumah besar dengan harga murah. Lingkungannya juga tidak berbeda dengan rumah yang sekarang mereka tinggali. Hitung-hitung menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Siapa tahu rumah itu nantinya membawa berkah bagi keluarganya. Begitu harapan Rina dan suaminya ketika memutuskan untuk membelinya.

Setelah puas melihat dan memeriksa, Rina segera kembali ke rumah lamanya. Jarak rumah barunya dengan rumah yang sekarang ditempatinya tidak begitu jauh. Hanya berbeda blok saja. Jadi jika nanti sudah pindahpun dia masih bisa sering-sering mengunjungi tetangga-tetangga lamanya. Dia berharap di rumahnya yang baru nanti bisa menemukan suasana yang sama .

“Hai mbak Rin, darimana siang-siang panas begini bersepeda?”, Widya tetangga satu gang yang kebetulan berpapasan di jalan menyapa.

“Eh mbak Wid, sampean juga mau kemana siang-siang begini?”

“Biasa mau menjemput anak-anak. Mbak Rin sendiri darimana?”

“Dari lihat rumah. Khawatir tukang ada yang butuh sesuatu”.

“Kira-kira kapan selesai renovasinya. Kapan-kapan aku diajak lihat dong”

“Oh pasti lah, la wong belum selesai, masih acak-acakan. Malu ah”

“Wah, nanti bakal kehilangan tetangga dong. Nggak seru lagi kalau nggak ada mbak Rina.”

“Walah, mbak Wid bisa aja. Kan pindahnya dekat aja. Nanti kan bisa sering-sering main. Lagi pula rumah yang di sini juga masih ada. Jadi pasti sering kita tengok deh”

“Oh iya, rencananya rumah yang di sini nanti mau diapakan, dijual atau dikontrakkan?”

“Lha itu yang belum tahu. Walah, pindah saja belum. Siapa tahu justru rumah yang di sana nanti yang dikontrakkan, ha....ha....”

“Yo wis aku tak jemput anak-anak dulu ya”

“Ya, hati-hati”. Rina kembali mengayuh sepedanya. Kalau mengingat keramahtamahan para tetangga seperti itu memang berat rasanya untuk pindah. Tapi sebenarnya semua lingkungan itu sama saja. Di manapun kita hidup, asal kita bisa membawa diri, bisa beradaptasi dan bersosialisasi, pasti akan menyenangkan.*********

Rina merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Pikirannya menjelajah ke setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah barunya. Membayangkan dan terus membayangkan. Tak ada yang dikerjakannya kecuali membayangkan setiap sudut bangunan itu. Hatinya tak sabar menunggu renovasi rumah itu selesai. Ia ingin segera bisa menatanya dan menempatinya. Desiran hawa sejuk yang berpendar dari baling-baling kipas angin menyapu wajahnya, membelai dan merayu kelompak matanya untuk sejenak menutup, mengakhiri petualangan-petualagan yang tak ada habisnya. Yang telah menguras tenaga dan fikirannya. Begitu matanya terpejam, otaknya pun berhenti bekerja. Secara otomatis memorinya menyimpan semua file yang dia ciptakan tadi menjelang tidur. Hampir tiga puluh menit Rina tertidur. Dia terbangun ketika ada suara orang memberi salam di depan rumahnya.

“Assalamu’alaikum.........”,

“Wa’alaikum salam” dengan agak malas Rina bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang.

“Eh bu Eka. Apa kabar, ayo silahkan masuk”, Rina mempersilahkan tamunya yang tak lain adalah teman senamnya untuk masuk.

“Kok tumben banget nih, ada apakah gerangan?”

“Aduh sori ya, kayaknya ganggu orang tidur nih”

“Nggak kok, malah bersyukur karena ada yang bangunin. Kalau kelamaan tidur nanti malah berabe”

“Kebetulan aku tadi dari rumah yang diujung itu. Jadi ya sekalian mampir deh.

“Oh dari rumah ibu Agung. Memang ada perlu apa sama bu Agung?”

“Anaknya kan satu sekolahan sama anakku, kebetulan besok di sekolah ada acara dan kami berdua jadi panitia. Jadi ya, berkoordinasi soal acara besok”

“Oh begitu, ngomong-ngomong mau minum apa nih?”

“Sudah, nggak usah repot-repot, lagipula aku sebentar aja kok. Aku cuma mau memastikan saja, kata bu Agung mbak Rina beli rumah di blokku ya. Di sebelah mana?”

“O alah, itu tho. Iya, di gang kedua”

“O...rumahnya bu Santoso ya”

“Iya betul”

“Wah, itu rumahkan kan besar banget. Senang banget ya bisa punya rumah sebesar itu. Tapi hati-hati lho mbak, katanya rumah itu angker banget”

“Masak iya tho, tapi tukang yang kerja di sana nggak pernah mengalami kejadian yang aneh-aneh tuh. Mereka kan setiap malam tidur di sana. Lagi pula setiap tempat kan pasti ada penghuninya. Kalau ktia tidak mengganggu mereka, mereka juga pasti tidak mengganggu kita”

“Tapi kata beberapa tukang ojek yanga mangkal di depannya, mereka sering kok melihat penampakan-penampakan di situ”

“Nggak usah dipercayalah. Dulu ketika aku membeli rumah ini, penghuni lamanya juga bilang kalau di sini banyak hantunya. Tapi buktinya hampir delapan tahun kami tinggali, tidak pernah ada kejadian yang aneh. Kita minta perlindungan aja sama yang di atas. Biar bagaimanapun mereka kan juga makhluk Allah, sama seperti kita. Hanya saja dunia kita yang berbeda”

“Iya juga ya mbak, mungkin tergantung ibadah kita kali ya”

“Ho oh he...he....”

“Ya udah mbak aku pamit dulu. Nanti kalau tasyakuran jangan lupa undang aku ya”

“Pasti dong. Aku pasti akan undang semua tetangga”

Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salaam”

Begitulah, saking terobsesinya Rina dengan rumah barunya itu, segala gosip jelek yang dia dengar tentang rumah itu tidak dihiraukannya. Dia percaya, kalau dia dan keluarganya hidup sesuai dengan ajaran agama, menjalankan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, tentulah hidup mereka akan selamat. Syetan tidak akan berani menggoda manusia yang selalu dekat dengan Tuhannya.

Pamulang, 20 April 2007

Tidak ada komentar: