Kamis, 20 November 2008

RAHASIA SEORANG ISTRI


“Sesungguhnya kami para pria berhak memilih di antara para perempuan yang jumlahnya satu berbanding lima dengan pria. Dan tidak semua pria menyukai wanita. Karena itu, anda para wanita yang telah memiliki pasangan, jaga hubungan anda sebaik-baiknya. Saat ini persaingan untuk mendapatkan pria yanag bisa dijadikan tumpuan hidup sangatlah berat, jadi berpikirlah dua kali sebelum melakukan selingkuh. Tapi bagi perempuan yang sudah terlanjur berselingkuh, cobalah untuk segera mengakhirinya dan berkata secara jujur kepada pasangannya. Saya yakin, sepahit apapun akibatnya, berlaku jujur itu lebih baik daripada terus mengingkarinya. Siapa tahu pasangan anda bisa memaafkannya”.

“Tuh, dengerin ma apa kata narasumber. Mama harus setia sama papa”, Anton berbisik di telinga istrinya mencoba menggoda perempuan yang sudah 5 tahun dinikahinya.

Irma tak bereaksi. Dia hanya memandang sekilas ke arah suaminya lalu perhatiannya kembali kepada narasumber yang masih berbicara di atas mimbar. Jauh di dasar hatinya dia merasa tersentil oleh ucapan-ucapan narasumber itu. Dulu dia pernah melakukan itu, membagi cintanya untuk pria lain. Tapi meskipun dia mengemukakan berjuta alasan kenapa dia tega melakukan perselingkuhan itu, tetap saja orang akan menyalahkan dirinya dan menganggapnya sebagai istri yang tidak setia. “Tapi narasumber itu sangat tidak adil, tidak berperasaan. Kenapa hanya perempuan saja yang dia himbau padahal laki-laki juga tak kalah banyaknya yang melakukan perselingkuhan. Aku akan ungkapkan nanti pada sessi tanya jawab”, Irma membathin.

“Ma, kokk diam aja sih”

“Stt...jangan berisik ah. Itu juga berlaku buat para suami. Di antara lima itu kan nggak semua berada di usia produktif. Siapa tahu yang dua balita dan dua lagi nenek-nenek. Berarti para pria nggak ada pilihan lain, karena yang bisa dipilih cuma satu dan itupun kalau si perempuannya mau. Jadi laki-laki juga harus hati-hati dan berpikir seribu kali untuk melakukan selingkuh. Puas, puas?!”

“Kayak Tukul aja ih. Ya udah nunggu balitanya sampai jadi ABG aja”

“Keburu mati burung kamu”

“Hi.....hi....., nggak mau kalah ih”

“Habis papa sih ngganggu konsentrasi orang”

Sampai acara seminar selesai Irma tak bisa menghilangkan rasa tak enak yang hinggap di hatinya. Kata-kata narasumber tadi benar-benar telah membangkitkan rasa bersalah yang selama ini menghantui hidupnya. Irma jadi merasa sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.. Dia kecewa karena tak bisa mencari solusi dari masalah rumah tangganya dengan cara yang baik. Apalagi waktu itu usia pernikahannya dengan Anton baru dua tahun. Seharusnya mereka terus berusaha untuk mengenal satu sama lain secara utuh. Suami istri adalah dua individu yang berbeda, berbeda secara fisik, sifat, sikap dan berasal dari dua keluarga yanga mungkin berbeda tradisi dan kebiasaan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing, tidak cukup jika hanya dua tahun. Tapi Irma capek harus selalu mengalah. Dia capek harus terus menjadi pihak yang diharuskan begini dan begitu tapi tidak punya hak berpendapat. Sementara Anton sangat menikmati sekali posisinya sebagai kepala rumah tangga yang bisanya menyuruh ini dan itu. Dalam kondisi seperti itu secara tidak sengaja Irma berkenalan dengan Dewo. Laki-laki yang mau mendengarkan keluh kesahnya, laki-laki yang memandang dirinya tidak lebih baik dengan dirinya, sebagai makhluk Tuhan. Irma tak kuasa menghindar dari pesona yang dimiliki Dewo. Irma rela melanggar janji suci yang pernah diucapkannya bersama Anton ketika dulu mereka berhadapan dengan penghulu. Dia tahu itu salah. Dia tahu itu perbuatan dosa. Tapi dia tidak bisa menghindarinya. Kelembutan dan perhatian Dewo telah menggoyahkan keimanannya. Bersyukur Irma bertemu dengan laki-laki sebaik Dewo. Laki-laki yang sangat tahu posisi dirinya, laki-laki yang sangat menjaga privasinya. Dewo sadar betul bahwa dia berhubungan dengan istri orang. Dewo mengerti dan paham apa resikonya bagi dirinya dan juga Irma jika hubungan mereka sampai diketahui orang lain terlebih-lebih jika yang mengetahui adalah Anton. Dewo tulus hanya ingin menemani Irma yang membutuhkan perhatian dan pengakuan dari seorang laki-laki bahwa meskipun perempuan dia bisa melakukan aktivitas publik. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan Anton kepadanya. Dewo juga selalu menyuruhnya untuk bersabar dan bersikap lebih terbuka dan kominikatif terhadap Anton Meski pada akhirnya Dewo mengaku bahwa dia ternyata benar-benar jatuh cinta kepada Irma, laki-laki itu sadar bahwa dia tidak mungkin bisa memiliki Irma. Sikap itu pula yang dirasakan Irma. Seburuk apapun Anton, dia tidak mungkin meninggalkan laki-laki itu. Anton adalah suaminya dan dia nggak mau ada perceraian dalam rumah tangganya. Meski berselingkuh adalah tindakan yang sangat tidak dibenarkan dalam kehidupan berumah tangga, tapi Irma benar-benar mendapatkan banyak pelajaran berharga dari kebersamaannya dengan Dewo. Dia bahagia bersama Dewo. Irma berharap bisa mendapatkannya bersama Anton, dia juga mau Dewo bisa segera membangun rumah tangga bersama perempuan lain yang bisa sepenuhnya mencintainya. Alasan itulah yang kemudian melandasi keputusan Irma untuk mengakhiri perselingkuhan mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya sampai sekarang Irma masih tak bisa melupakan Dewo. Kenangan manis bersama laki-laki itu masih kerap muncul di pikirannya. Tapi Irma berusaha terus untuk menepisnya, dia sadar perasaan yang dia simpan diam-diam itu pasti akan sangat melukai hati Anton. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk terus mengingat laki-laki itu meski keharmonisan rumah tangga yang dia rasakan saat ini sedikit banyak karena kepedulian laki-laki itu. Dewo pun seperti hilang ditelan bumi, sejak berpisah tak pernah sekalipun laki-laki itu menghubungi Irma.

“Ma, papa mau lihat buku-buku di stand itu ya, mama mau ikut?”, suara Anton membuyarkan lamunannya.

“Hm...nggak deh, aku mau lihat-lihat stand sebelah sana aja” Irma menjawab agak gugup.

“Ya udah, nanti nyusul papa aja ya kalau udah selesai muter-muternya”

“He eh. Nanti aku telpon deh”. Mereka pun lalu berpisah.

Irma sedang memilih beberapa aksesoris perempuan ketika telinganya menangkap sebuah suara yang sangat dikenalnya. Dia menoleh ke arah suara itu. Ups, darahnya seperti berhenti mengalir. Hanya berjarak beberapa centimeter dari dirinya berdiri seorang laki-laki yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan cantik juga tengah memilih-milih aksesoris. “Ya Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengannya setelah sekian lama kami berusaha saling melupakan”, Irma bermaksud manjauh sebelum laki-laki itu melihatnya. Tapi baru saja dia ingin melangkah, tangannya ditahan oleh seseorang. Laki-laki itu persis berdiri di sampingnya. Di antara pengunjung yang berdesakan hampir tak satu orangpun yang memperhatikan kejadian itu tak terkecuali perempuan yang berada di samping laki-laki itu. Sejurus kemudian mata laki-laki itu memandang kepadanya. Sejuta makna tersirat dari bola matanya yang tajam.

“Auw”, tiba-tiba laki-laki itu berteriak.

“Kenapa mas?”, perempuan yang berdiri di sampingnya bertanya kaget. Irma pun tak kalah kagetnya.

“Kakiku”

“Kaki mas kenapa?”

“Kakiku terinjak hak sepatunya mbak ini”, laki-laki itu menunjuk Irma.

“O....”, perempuan itu melihat Irma.

“Oh eh maaf, nggak sengaja”, dilihat seperti itu akhirnya Irma membuka suara.

“Nggak apa-apa kok mbak namanya juga nggak sengaja, iya kan mas?”

“Iya, nggak apa-apa. Oh iya kenalkan nama saya Dewo dan ini istri saya Heni” Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Oh eh, saya Irma”, telapak tangannya berkeringat ketika jemari Dewo menggenggam erat jemarinya.

“Baiklah, saya permisi dulu”, Irma tak mau larut dalam perasaannya yang campur aduk saat ini. Dia cepat-cepat meninggalkan Dewo dan istrinya diikuti pandangan mata laki-laki itu. Irma mencari-cari keberadaan Anton. Irma baru behenti berjalan setelah dirinya merasa sudah berada jauh dari Dewo. Namun ketika dia sedang mengangkat handphone dan bermaksud untuk menelpon suaminya sebuah tangan kembali menahannya.

“Please Irma, jangan menghindar. Kita kan masih bisa berteman”, suara laki-laki itu mendesau di belakang telinganya. Posisi mereka saling membelakangi sehingga tidak ada orang yang curiga bahwa mereka sedang bercakap-cakap.

“Tapi Wo”

“Aku hanya ingin minta nomor handphonemu”

“Untuk apa Wo, kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu”

“Jadi kau sebut aku pengganggu?”

“Bukan kau tapi aku, aku nggak mau nanti disebut mengganggu rumah tanggamu”

“Ayolah sayang, aku hanya ingin curhat saja sama kamu”

“Wo, pleaase, nanti istrimu melihat kita”

“Jangan khawatir, dia sedang ke kamar kecil. Makanya cepat kasih aku nomor handphonemu”

“Ya sudah, tapi lihat-lihat waktunya ya kalau mau menghubungi” akhirnya Irma menyebutkan beberapa angka.

“Jangan khawatir sayang, kamu masih seperti dulu baik dan cantik. Pasti Anton semakin mencintaimu”

“Please Wo”

“Aku berkata jujur, kamu memang terlihat makin cantik. Kamu bahagia kan?

“Aku bahagia Wo, sangat bahagia. Kamu telah banyak membantuku untuk mewujudkan semua itu. Kamu sendiri juga bahagia kan Wo?”

“Seperti yang kau lihat”

“Istrimu juga cantik. Kelihatannya dia perempuan yang baik dan setia pada pasangan. Tidak seperti aku yang.............”

“Stt..........”, di antara himpitan pengunjung lain, Dewo memegang erat tangan Irma.

“Wo, aku harus pergi sekarang”

“Tapi aku masih ingin melepaskan kangenku sama kamu”

“Jangan memulai Wo, dulu kamu yang mengajarkan aku arti kesetiaan”

Laki-laki itu lalu melepaskan genggaman tangannya. Kini dia memandang ke wajah Irma. Untuk beberapa saat dia terus saja memandangi wajah Irma. Kemudian sambil mengucapkan kata-kata perpisahan, dia berbalik meninggalkan Irma.

“Sampai ketemu Wo”, Irma memandang kepergian laki-laki yang dulu pernah begitu dekat di hatinya. Setelah bayangan Dewo tak terlihat, dia lalu menelpon Anton.

Di sebuah bangku sambil menunggu Anton Irma teringat kembali awal pertemuannya dengan Dewo. Sore itu, hujan lebat, halte yang hanya berukuran kecil itu disesaki oleh puluhan manusia yang sama-sama ingin berteduh. Irma berdiri tepat di samping seorang laki-laki. Entah kenapa, di tengah suasana yang dingin oleh tampiasan air hujan, Irma merasakan sesuatu yang hangat mengaliri bahunya yang menempel di dada laki-laki itu. Dia menoleh ke wajah laki-laki itu, tanpa diduga laki-laki itu menoleh pula ke arahnya. Mata mereka bertubrukan. Ada rasa serrr di dada Irma. Laki-laki itu tersenyum. Irma berpaling tak menghiraukan senyum laki-laki itu. Untung tak lama kemudian bis yang ditunggu Irma datang. Dia segera berlari menerobos hujan dan meloncat ke dalam bis. Tak disangka laki-laki itu ternyata naik bis yang sama dengannya. Mereka kembali berdesakan di dalam bis. Kali ini posisi mereka lebih rapat dibandingkan di halte tadi. Dewo berdiri di belakang Irma, kedua tangannya berada di antara kedua bahu Irma. Seperti laki-laki yang sedang melindungi kekasihnya. Bahkan desah nafas laki-laki itu tertangkap jelas di telinga Irma. Dada Irma semakin bergemuruh. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang terbalut busana setengah basah. Hembusan angin yang masuk dari jendela bis tak mampu meredam gejolak yang bergemuruh di dadanya.

“Dingin ya”, laki-laki itu berbisik.

Irma kesal merasa digoda. Dia menggeser badannya mencoba menjauh dari laki-laki itu. Tiba-tiba bis direm mendadak. Penumpang saling bertubrukan. Tak terkecuali Irma dan laki-laki itu. Tanpa disengaja laki-laki itu menjadikan tubuhnya sebagai tempat berpegangan Irma untuk menghindari agak tidak terjerembab. Kedua tangan kekarnya memeluk tubuh Irma yang juga doyong ke depan. Untuk beberapa saat baik Irma maupun laki-laki itu tak bisa berkata-kata. Inginnya Irma marah, apalagi laki-laki itu sempat menyentuh kedua payudaranya tapi dia tahu semua kejadian itu tidak disengaja. Dia hanya bisa bersikap pura-pura tak merasakan apa-apa. Akhirnya bis sampai juga di tempat tujuan. Irma bergegas turun. Laki-laki itu juga turun berjalan di belakang Irma.

“Mbak, mbak, tunggu mbak”, laki-laki itu mencoba menjejeri langkah Irma. Irma tak perduli dia terus berjalan menuju sebuah mall.

“Mbak, aku cuma mau minta maaf atas kejadian di bis tadi”

“Sudah saya maafkan. Itu kan kejadian yang tidak disengaja. Maaf ya mas saya sedang ditunggu suami”

“O...., oke, makasih ya mbak”, laki-laki itu tak lagi mengikuti Irma. Pertemuan-pertemuan lain terus terjadi sampai akhirnya menjadi kebiasaan yang sayang untuk dihindari. Perasaan-perasaan istimewa terpupuk setiap hari dibumbui oleh kekaguman dan kebaikan masing-masing. Lama kelamaan, tanpa harus mengucapkan kata I LOVE YOU, kesepakatan itu terbentuk. Dewo yang masih lajang tak hirau dengan status Irma yang sudah bersuami. Irmapun demikian, dia tak perduli dengan ikatan perkawinan yang saat itu sangat menyiksanya.

“Ma, udah lama nunggu ya?”, Anton yang tiba-tiba muncul langsung duduk di sampingnya.

“Nggak juga. Sudah dapat buku yang dicari?”, Irma mencoba menetralkan perasaannya dengan bertanya.

“Sudah, nih”, Anton memperlihatkan tentengannya.

“Kalau gitu kita pulang aja yuk, mama udah capek nih. Lagi pula kasihan anak-anak di rumah kelamaan nunggu”

“Oke, tapi kita cari makanan dulu ya buat oleh-oleh mereka”

Anton lalu menggandeng Irma menjauh dari keramaian. Di sudut pintu lain sepasang mata mengawasi kepergian mereka dengan tatapan cemburu. “Selamat berbahagia Irma, dihapusnya sebuah nomor yang beberapa menit yang lalu baru disimpannya di memori handphonenya.

Pamulang, 4 Mei 2007

Tidak ada komentar: