Kamis, 20 November 2008

SI TETEH.....



Mulutmu harimaumu atau lidah lebih tajam daripada silet, pepatah itu sangat benar adanya. Namun meski si teteh mengetahui dan paham makna dari pepatah di atas, toh dalam prakteknya si teteh tak pernah bisa menggunakan pepatah itu sebagai kontrol atas perilakunya. Teteh masih saja tidak bisa menjaga mulut dan lidahnya untuk tidak berkata-kata yang sekiranya bisa menyakiti lawan bicaranya atau seseorang yang dibicarakannya. Teteh tak pernah menyadari atau memang tak mau menyadari kalau sikap dan ucapan-ucapannya seringkali membuat tersinggung orang. Nggak cuma itu, teteh juga seringkali mempermalukan seseorang di hadapan orang banyak melalui sikap dan ucapan-ucapannya itu.

Sudah banyak saudara, teman, tetangga yang mengingatkan si teteh akan kebiasaan buruknya ini dan sudah sering juga si teteh menyatakan rasa menyesalnya bahkan mohon maaf kepada orang-orang yang pernah tanpa sengaja atau dengan sengaja telah disakitinya. Tapi lagi-lagi, si teteh selalu saja mengulangi perilaku buruknya ini.

Terkadang, si teteh merasa menjadi orang yang sangat bijaksana dengan menasehati saudara, teman atau tetangga. Tetapi tetap saja cara yang dipilih si teteh tak lepas dari menyakiti pihak lain. Misalnya, dengan sok bijaksana si teteh menasehati temannya agar berhati-hati dan menjaga jarak dengan si anu. Diapun lalu menyisipkan cerita-cerita yang sama sekali tak ada faktanya tentang si anu. Oh iya, si teteh ini memang hobbynya mengarang cerita, jadi ya maklum, kalau kelihatannya si teteh tahu banyak tentang objek yang dibicarakannya. Tapi sebetulnya sih sok tahu alias hanya kesimpulan tanpa didahulu oleh sebuah penelitian. Akibatnya si teteh justru sering dianggap sebagai penghasut, pemfitnah dan menyebar gosip. Kasihan si teteh, tapi ya mau gimana lagi, teguran dari suaminya sendiri saja nggak mampu menghentikan kebiasaannya ini apalagi teman atau tetangganya.

Sebagai adik aku sangat prihatin melihat kelakuan si teteh ini. Banyak sekali kabar-kabar tak mengenakkan yang disampaikan kepadaku tentang si teteh ini. Parahnya lagi, se teteh ini sepertinya senang sekali melakukan expansi, wilayah pergaulannya tidak hanya di lingkungan tempat tinggalnya saja tapi juga ke sekolah-sekolah di mana anak-anaknya sekarang sedang menuntut ilmu, ke lingkungan RW, ke blok lain, ke lingkungan tempat suaminya bekerja, lingkungan tempat anak-anaknya mengambil les atau kursus tambahan. Pokoknya image si teteh sebagai orang bermulut harimau telah menyebar ke mana-mana. Banyak sekali korban yang mengadu kepadaku, memintaku supaya menasehati si teteh agar jangan sembarangan berkata-kata atau agar si teteh menjaga sikapnya. Meskipun sudah beberapa kali si teteh ini kena batu akibat sifat buruknya ini, tapi sepertinya si teteh nggak pernah kapok. Bagusnya, kalau sudah kepergok dan tidak ada jalan lain untuk mengelak, si teteh nggak segan-segan meminta maaf kepada orang yang disakitinya, bahkan dia rela mengeluarkan airmata agar dibukakan pintu maaf. Tapi kan kata maaf dan airmata itu nggak bisa begitu saja menghilangkan noda yang sudah si teteh goreskan. Ibaratnya, kalau luka badan bisa disembuhkan, bisa diobati, tapi kalau luka hati, susah obatnya. Seperti paku yang ditancamkan ke sebatang kayu, bisa saja suatu saat paku itu dilepas tapi bekas tancapannya, sampai kapanpun akan tetap tertera di kayu tersebut. Begitu juga orang-orang yang telah si teteh sakiti, bisa saja mereka mengatakan telah memaafkan si teteh, tapi image buruk si teteh selamanya akan melekat di hati orang-orang itu.

Aku jadi pusing tujuh keliling memikirkan sifat si teteh ini. Masak aku harus meminta orang-orang itu untuk bersikap seperti aku, legowo dan sabar menghadapi tingkah lakunya. Mana mungkin mereka mau menuruti permintaanku. Aku kan adiknya, jadi apapun yang si teteh pernah lakukan kepadaku, ya aku harus menyikapinya dengan legowo dan lapang dada. Bukannya aku nggak punya harga diri, tapi ngapain harus buang-buang energi menghadapi orang seperti si teteh ini. Lebih baik energiku aku simpan untuk bekerja, bermain dengan anak, main badminton atau bermain dengan suami. Aku nggak perduli meski suamiku suka protes karena aku hanya diam saja jika diperlakukan secara tidak adil oleh si teteh ini.

“Sudahlah mas, nggak usah didengerin kata-kata si teteh itu, palingan dia iri sama apa yang kita punya”, ucapku suatu saat ketika suamiku protes karena merasa di mata-matai oleh si Teteh ketika kami membeli rumah baru. Kalau mau main perasaan sih jengkel juga, masak tiap hari si teteh itu lewat di depan rumah, mengendap-endap, secara diam-diam memperhatikan apa yang sedang kami lakukan di rumah baru kami. Mencari tahu ke tetangga apa saja perabotan yang sudah kami beli untuk mengisi rumah baru kami ini. Aneh kan? Sama adik sendiri geto loh. Tapi ya, aku sih tertawa saja, menganggap lucu sikap si teteh ini. Usia boleh lebih muda, tapi aku bisa lebih bersikap dewasa daripada si teteh yang terus saja mempertahankan sifat kekanak-kanakannya ini. Orang bilang, karakter anak pertama itu bisa menjadi sangat dewasa tetapi bisa juga menjadi sangat kekanak-kanakan. Nah karakter yang kedua itulah yang lebih dominan melekat pada si teteh. Mungkin karena kelewat di manja sama Bapak dan Ibu sehingga menjadikannya pribadi yang sangat egois dan ingin menang sendiri. Untung dia mendapat jodoh laki-laki yang super-super sabarnya. Kalau tidak, entah bagaimana nasib rumah tangga mereka. Suaminya itu cuma gede badannya doang, tapi takut disilet sama lidah istrinya. Suamiku sering melecehkan kakak iparku itu sebagai suami takut istri, lebih tepatnya mirip tokoh si Tigor dalam sinetron suami-suami takut istri. Mau-maunya dia diperbudak oleh istrinya dan menuruti semua yang diinginkan istrinya. Aku jawab dengan santai “itu namanya cinta buta, love is blind kalau kata orang bule”

Tapi aku sangat salut dan berterimakah kepada kakak iparku itu yang mau menerima kekurangan si teteh. Dia nggak pernah mengeluh tentang istrinya, dia bahkan sering meminta maaf kepada saudara atau tetangga yang sudah menjadi korban perilaku buruk si teteh.

Tapi, peristiwa kemarin sore, memaksaku untuk mengikis kesabaran yang selama ini aku perlihatkan kepadanya. Tega-teganya si teteh ini menghasut karibku dengan menceritakan hal-hal jelek tentang diriku. Dia memutar balikkan fakta dengan mengatakan bahwa aku adalah biang keonaran, senang menebar konflik di mana-mana, karena itu harus hati-hati jika bergaul denganku, apalagi karibku itu punya niat ingin bertetanggaan denganku. Coba bayangkan, siapa yang nggak marah dijelek-jelekkan sama kakak sendiri. Untungnya karibku itu sedikit banyak sudah tahu tentang tabiat buruk si teteh, bukan dari aku tapi dari lingkungan di mana si teteh pernah melakukan interaksi. Mana mungkin aku menjelek-jelekkan kakak sendiri, meski aku tahu si teteh memang punya sikap yang buruk, tapi sebagai saudara kan sebisa mungkin harus menutupi kejelekan saudaranya.

Setelah mendapatkan pencerahan dari si teteh, karibku itu langsung mendatangiku, dia menceritakan semua yang diceritakan si teteh kepadanya. Aku sih nggak marah, tapi suamiku yang naik darah. Dia nggak bisa terima aku dijelek-jelekkan oleh kakakku sendiri. Untung karibku itu bisa mendinginkan ubun-ubunnya yang sedang terbakar. Karibku cuma mengatakan ketidakpercayaannya bahwa seorang kakak bisa berbuat sejahat itu kepada adiknya sendiri.

“Dia itu sakit jiwa”, tukas suamiku dengan berang.

“Jangan ikut-ikutan sakit jiwa begitu dong mas, biarin aja si teteh berkata apa, biar orang lain yang menilainya. Orang tahu kok siapa sebenarnya yang suka menebar konflik. Buktinya, baru-baru ini si teteh terlibat konflik sama temannya yang tinggalnya berjauhan sama dia. Itu membuktikan bahwa jauh atau dekatnya jarak tidak menjamin seseorang itu terhindar dari konflik. Tergantung kitanya kan, kalau kita bisa menempatkan diri dengan baik, di manapun kita tinggal, bergaul dan berteman, maka insya Allah konflik itu nggak akan terjadi. Tapi kalau dasarnya emang suka cari gara-gara, ya meskipun tinggalnya berjauhan tetap saja terjadi konflik. Benar nggak?”

“Bener banget, semua itu tergantung pribadi masing-masing orang”, timpal karibku.

“Lagian siapa sih mas yang mau percaya sama yang teteh omongin. Image buruk yang teteh ciptakan sendiri selama ini membuat orang nggak lagi respect sama si teteh”, sambung karibku.

“Ya udah, terimakasih ya karena kamu nggak percaya begitu aja sama omongan si teteh”, suamiku akhirnya berkata dengan nada rendah.

“Eh terus kapan kamu mulai tempati rumah barumu itu?” tanyaku kepada karibku.

“Mungkin akhir bulan ini. Masih banyak yang harus dibenerin dan aku ingin mengecat ulang temboknya biar kelihatan lebih bagus”

“Ya iyalah, masak iya dong, rumah baru harus dicat, masak dibiarin bodong, he....he.....”

“Doain aja deh, biar cepat selesai renovasinya dan cepat aku tempati”

“Pasti kita doain dong, kita kan senang kalau punya tetangga baru. Lihat rumah kosong tuh kayaknya gimana gitu. Hawanya jadi serem”

“Ya udah deh, kalau gitu guwe mau balik dulu. Yang penting guwe udah sampein berita yang sempat bikin guwe nggak bisa tidur semalaman”

Oke, santai aja lah. Biar waktu yang membuktikannya. Guwe nanti bisa jadi tetangga yang baik buat elo apa nggak. Yang jelas, kita akan berusaha untuk menjaga adab dan sopan santun bertetangga” jawabku sambil melepaskan karibku itu pergi.

Setelah karibku pergi, aku menelpon si teteh. Aku ungkapkan kekecewaanku tapi dasar si teteh lagi-lagi dia mencoba mengelak dengan mengatakan bahwa dia hanya berusaha untuk mengingatkan karibku itu bahwa seringkali pertemanan itu bisa rusak kalau tinggal berdekatan. “Kan biasanya kalau jauh itu wangi, kalau dekat itu keendus baunya. Itu juga peringatan buat kamu”, elaknya berusaha membela diri. Sama sekali dia tidak menyinggung perihal dia telah menjelek-jelekkan aku. Teteh....teteh.....teganya dirimu padaku. Bahkan keesokan harinya ketika kami bertemu di rumah Bapak, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap bersalahnya. Dia malah menyampaikan protesnya kepada ibu dan bapak dengan mengatakan kalau aku tidak lagi menganggapnya sebagai teteh hanya karena aku tidak meminta pendapatnya ketika aku memilih jasa cattering untuk acara halal bil halal di rumahku. Konyol kan? Untungnya bapak dan ibu juga paham dengan sifat anak sulungnya ini.

“Ya mungkin adikmu sudah punya langganan cattering sendiri”, jawab Ibu.

“Cattering apaan, tuh makanannya nggak ada yang enak”, jawabnya.

“Eh siapa bilang, semua tamu bilang kalau masakannya enak-enak kok. Bahkan bu Indah sama bu Endut mau juga tuh pakai jasa cattering itu kalau nanti nyunatin anaknya”, belaku.

“Dasar aja lidah kampung, nggak bisa membedakan mana masakan yang enak dan yang nggak enak”, timpal si teteh lagi.

“Tuh kan, kamu mulai lagi dengan kebiasaan burukmu. Hati-hati lho kalau ngomong. Kalau sampai bu Indah dan bu Endut dengar apa yang barusan elo omongin, mereka bisa tersinggung tau’”

“Sudah-sudah, kalian ini seperti anak kecil saja. Malu tuh sama suami dan anak-anak kalian”, Bapak berusaha menengahi. Aku sebal karena bapak nggak pernah merespon kebiasaan buruk si teteh ini sebagai hal yang harus dihentikan. Hanya ibu yang kadang masih suka mengingatkan si teteh untuk tidak berkata-kata sembarangan. Apalagi si teteh punya rencana untuk pergi haji. Itulah si teteh, semoga kelak setelah dia pulang dari menunaikan ibadah haji, kelakuan buruknya bisa hilang dan dia menjadi haji yang mambrur. Amin

Depok, 21 Oktober 2008

KEJUTAN


“Selamat ulang tahun ya sayang”, Dea mengecup pipi Salman yang masih tertidur lelap.

“Hm....... makasih ya”, dengan agak malas laki-laki itu membuka sedikit matanya. Tangannya merangkul pinggang Dea.

“Bangun dong, ini kan hari ulang tahunmu. Sambut pagi dengan gembira. Anak-anak sudah menunggumu tuh untuk mengucapkan selamat ulang tahun padamu”

“Iya, sebentar lagi. Jam berapa sih sekarang?”

“Sudah hampir jam enam lho. Waktu shalat subuh hampir habis dan sebentar lagi waktu sarapan tiba. Lebih bagus kan kalau mereka mengucapkan selamat ulang tahunnya sebelum mereka berangkat sekolah”

“Iya, iya sayang. Aku bangun nih”. Salman membetulkan sarungnya dan bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil wudlu lalu shalat subuh. Setelah itu dia menghirup kopi yang sudah disediakan Dea.

“Pagi pa, selamat ulang tahun ya”, Vivi putri bungsunya menyongsongnya dengan rangkulan dan ciuman.

“Terimakasih sayang”.

“Selamat ulang tahun ya pa. Semoga panjang umur, sehat selalu dan tetap sayang sama kita semua”, Gana si sulung menyambung.

“Terimakasih. Do’a anak shaleh pasti didengar Allah”.

“Sori pa, pagi ini kita nggak sempat sarapan bareng, Gana ada janji sama dosen. Vivi katanya mau bareng aku aja tuh.

“Oh gitu, jadi Vivi gak berangkat bareng papa nih”

“Nggak pa, Vivi juga ada acara pagi ini, jadi harus sampai sekolah lebih pagi”

“Ya ....., papa berangka sendirian dong”

“Ih....papa kayak anak kecil aja deh, Vivi janji besok Vivi berangka bareng papa”, gadis ABG itu lalu mengecup pipi papanya.

“Sekarang kita berangkat dulu ya pa. Da.... mama, assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam, hati-hati ya di jalan”

Rutinitas pagi yang tak pernah mereka abaikan. Sejak Gana dan Vivi masih kecil hingga sekarang mereka sudah menjadi dewasa upacara pelepasan di pagi hari itu tak pernah terlewati. Itulah saat-saat yang membahagiakan di mana Dea bisa merasakan kehangatan dan kebahagiaan keluarganya tetap utuh.

Mas, sore nanti nggak ada acara kan?”

“Nggak ada, memangnya kenapa?”

“Ya berarti kan pulangnya nggak malam”.

“Memangnya kalau pulang malam kenapa sih. Sudah tua masih saja dicurigai”, Salman sedikit menggoda.

“Ya hari ini kan mas ulang tahun, siapa tahu mas membuat acara sama teman-teman tanpa sepengetahuanku”.

“Sejak kapan sih ulang tahunku dipestakan. Paling orang-orang di kantor juga nggak ada yang ingat kalau hari ini aku ulang tahun”.

“Ya udah deh nanti malam aku masakin makanan istimewa buat mas”

“Setiap hari kan masakanmu selalu istimewa mama sayang”

“Kalau begitu hari ini akan lebih istimewa dari biasanya”.

“Wah kelihatannya bakal seru nih. Ya udah, nanti aku bakal pulang cepat deh. Sekarang aku mau mandi dulu ya, setelah itu baru kita sarapan”

“Tumben mandi dulu baru sarapan”

“Memperbaiki perilaku lah, umur kan udah bertambah lagi”

“Ih...baru sadar tuh”, Dea menimpali suaminya yang terkekeh-kekeh.

Dipandanginya punggung Salman yang berjalan menuju kamar mandi dengan senyum penuh arti. Dea bertekat untuk membuat perayaan sederhana di hari ulang tahun suaminya. Harus dan tidak bisa tidak. Apapun yang menjadi penghalangnya, berapapun biayanya, pesta ini harus diadakan. Dea ingin sekali menyenangkan hati suaminya dengan memberinya sebuah kejutan. Sudah jauh-jauh hari sebenarnya Dea merencanakan ini semua. Jarang sekali dia dan suaminya merayakan hari ulang tahun mereka. Paling-paling pergi makan ke sebuah restaurant bersama anak-anak. Jadi nggak ada salahnya kan kalau ulang tahun kali ini dirayakan. Dea ingin menunjukkan kepada suaminya bahwa cinta dan perhatiannya tidak pernah berkurang meski zaman telah berubah dan rambut di kepala telah memutih. Gana dan Vivi juga mendukung rencananya itu. Karena itu begitu suaminya berangkat ke kantor Dea mulai menyusun rencananya. Mula-mula dia menelpon pak Widi salah satu tetangganya yang juga teman nongkrong suaminya. Kepada pak Widi Dea menyatakan rencananya dan meminta pak Widi untuk menghubungi tetangga-tetangga yang lain agar nanti malam berkumpul di rumah dan tetap merahasiakan rencananya itu dari suaminya. Alhamdulillah pak Widi bisa diajak kerjasama. Setelah itu Dea mulai menyusun menu makanan apa yang nanti malam bakal disajikan untuk menyambut tamu-tamu yang datang termasuk menelpon toko roti langganannya untuk memesan kue tart.

Lewat tengah hari, Dea merasa agak gugup. Dia takut jika rencananya nanti tidak berjalan seperti yang dia inginkan. Karena itu berulang-ulang dia memeriksa persiapan-persiapan yang sudah dia lakukan. Mulai dari makanan pembuka dan makanan penutup semuanya sudah tersedia. Beberapa di antaranya sengaja belum dimasak. Dia akan memasaknya nanti agak sorean biar ketika disajikan maasih dalam keadaan hangat dan segar. Memang tidak begitu repot. Karena pesta yang diadakan hanyalah pesta sederhana saja. Kata pak Widi yang datangpun paling sekitar lima belasan orang saja. Hanya terdiri dari bapak-bapak yang biasa nongkrong di pos setiap malam minggu atau yang biasa mereka sebut sebagai anggota gank.

“Sip lah, sepertinya semuanya sudah oke. Kalau cuma untuk lima belasan orang, makanan ini sudah cukup. Tinggal kue tartnya saja yang belum. Nanti setelah ashar aku akan pergi untuk mengambilnya”

Pukul enam, persiapan sudah beres. Semua makanan sudah tertata rapi di meja, lilin sudah terpasang di atas kue tart. Ruangan sudah diberi hiasan secukupnya. Kondisinya semakin diuntungkan karena ternyata tadi Salman telpon kalau dia akan pulang agak telat. Itu artinya tamu-tamunya bakal datang lebih dulu dari Salman. Mereka akan berkumpul di dalam rumah, lampu dipadamkan, seolah-olah tidak ada orang di rumah dan ketika Salman datang lalu membuka pintu mereka akan mengejutkannya dengan teriakan selamat ulang tahun. Pasti seru.

“Sempurna”, Dea tersenyum senang sambil membayangkan apa yang nanti malam bakal terjadi. “Salman akan benar-benar terkejut dan merasa senang dengan semua yang aku lakukan untuknya di hari ulang tahunnya kali ini”.

Lepas maghrib tamu yang ditunggu mulai berdatangan. Tapi ya Tuhan, mau bikin kejutan malah sekarang Dea yang dibuat terkejut duluan karena ternyata tamu yang datang bukan cuma bapak-bapak saja tetapi mereka datang bersama istri-istri mereka dan beberapa dari mereka bahkan membawa serta anak-anak mereka. Benar-benar di luar perkiraannya. “Ya Allah, gimana ini, makanan ini pasti nggak bakal cukup untuk tamu sebanyak ini”, Dea jadi gugup dan gelisah. Dia segera meminta Gana dan Vivi untuk membeli makanan jadi di restaurant. Untung di sekitar perumahan banyak rumah makan dan supermarket-supermarket kecil. Dalam waktu setengah jam saja Gana dan Vivi sudah berhasil membawa pulang makanan tambahan. Dea bisa bernafas lega sekarang. Dia kemudian menghampiri pak Widi untuk mengkoordinasikan acara penyambutan Salman yang sebentar lagi pasti bakal sampai di rumah. Gana yang diberi tugas untuk menghubungi papanya melaporkan bahwa papanya sudah dekat. Semua yang hadir bersiap-siap untuk menyambut kedatangan salman. Anak-anak diminta untuk tidak bersuara. Lampu sudah dipadamkan. Ruangan benar-benar gelap dan sunyi. Sesaat kemudian suara mobil Salman telah memasuki halaman rumah. Laki-laki itu heran melihat rumahnya yang gelap. “Pada kemana nih orang-orang, kok pergi nggak ngasih tahu ya”, hati Salman bertanya-tanya. Dia mencoba menelpon ke dalam rumah namun tidak ada yang mengangkat. Dia bergegas membuka pintu rumah dan begitu pintu terbuka “selamat ulang tahun”, serempak orang-orang yang sejak tadi berada di dalam rumah menyambutnya. Ruangan kembali terang. Rencana Dea memberi kejutan pada suaminya berhasil. Salman benar-benar terkejut. Sampai-sampai dia nggak bisa berkata-kata ketika satu persatu teman-temannya menghampirinya untuk menyalaminya. Bola matanya berpendar mencari-cari istrinya. Dea yang berdiri di sudut ruangan menganggukkan kepala sambil tersenyum senang. Baru setelah itu Salman bisa menguasai dirinya. Dia membaur bersama tamu-tamunya. Acara bertambah meriah ketika kue tart dengan lilin menyala di atasnya di bawa Vivi ke tengah-tengah ruangan. Ruangan itu bergema nyanyian tiup lilin. Dengan didampingi istri dan anak-anaknya Salman meniup lilin ulang tahunnya. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan-makan. Dea merasa sangat puas karena telah berhasil membuat Salman senang di hari ulang tahunnya kali ini. Bahkan pesta yang tadinya dirancang secara sederhana ternyata menjadi pesta yang sangat meriah. Dea telah berhasil menunjukkan rasa cintanya yang begitu besar untuk Salman, laki-laki yang hampir dua puluh tahun telah menjadi pendamping hidupnya, mengasihinya dan mencintainya. Tentu tidak berlebihan jika Dea ingin menyegarkan kembali cinta mereka hari ini.

Hingga pukul sebelas malam masih banyak tamu-tamu yang belum pulang terutama bapak-bapak yang mengaku anggota gank. Seperti biasa, mereka selalu punya bahan untuk dijadikan bahan begadang. Ngobrol dan berkaraoke, ditemani kopi dan makanan kecil. Terkadang diselingi dengan tertawa, saling meledek dan mengejek. Dasar bapak-bapak, ngggak mau kalah sama yang muda-muda. Mereka tidak perduli meski besok harus pergi bekerja. Menunggu mereka bubar sih sama saja cari penyakit, pikir Dea. Seharian ini dia begitu lelah. Matanyapun sudah tak kuat lagi untuk membuka. Dea tertidur pulas dengan senyum terkembang di bibirnya. Saking pulasnya dia tidak merasakan ketika ada jari-jari yang dengan lembut menggerayangi tubuhnya. Dia baru tersadar ketik rabaan itu berubah menjadi remasan-remasan mesra.

“Sayang, terimakasih ya untuk pestanya tadi”, sebuah suara berbisik lembut di telinganya. Mata Dea segera terbuka. Dia tersenyum sambil memeluk erat tubuh suaminya.

“Itu pantas untuk mas”

“Hadiah istimewa lainnya mana dong”

“Mau?”

“Mau dong. Yang paling istimewa ya”

“Pasti dong”

Salman dan Dea saling berpandangan. Malam itu mereka berdua larut dalam kemesraan yang dalam. Seperti dulu ketika malam pengantin.

Pamulang, 19 April 2007

RUMAH BARU


Rina memandangi rumah barunya yang besar dengan perasaan puas. Tak sia-sia pengorbanan yang telah dilakukannya selama ini demi mewujudkan impiannya memiliki rumah besar itu. Bayangkan saja, dia yang hobbinya belanja dan jalan-jalan, untuk beberapa tahun ini terpaksa harus menghentikan semua kebiasaannya itu. Suaminya terus me-warning-nya agar ia benar-benar berhati-hati dalam mempergunakan uang. “Mulai sekarang kurangi tuh kebiasaan belanja dan jalan-jalanmu. Katanya pingin punya rumah yang besar. Mana mampu ayah beli kalau duitnya habis untuk belanja melulu”, Rina tersenyum kalau ingat ucapan suaminya yang hampir setiap hari ditujukan kepadanya. Pengorbanan itu sekarang nggak ada artinya lagi manakala sebuah rumah besar telah berdiri di hadapannya. Eit tapi tunggu dulu, jangan salah. Pengorbanan itu tentu belum berakhir. Rumah besar ini kan juga memerlukan isi alias perabotan, dan untuk mendapatkan semua itu dari mana dananya kalau tidak terus berhemat dan rajin menabung. “Nggak apa-apa lah, berkorban sedikit lagi. Buktinya selama beberapa tahun ini aku bisa menjalaninya. Yang penting rumah impianku ini tidak kosong melompong nantinya hi...hi....”, Rina tertawa dalam hati. Rina patut merasa senang, karena rumah sebesar itu memang dipersembahkan suaminya untuk dirinya. Mungkin suaminya ingin membuktikan bahwa dia memang benar-benar mencintai istrinya. Istri mana sih yang tidak senang diberi hadiah sebuah rumah, besar pula. Itulah yang dirasakan Rina saat ini. Setelah puas berdiri memandangi rumahnya dari luar, Rina bergeagas masuk ke dalamnya. Di sana banyak pekerja yang sedang merenovasi rumahnya. Beberapa majalah dan tabloid-tabloid yang memuat design dan interior rumah yang akhir-akhir ini rajin dibelinya untuk mencari inspirasi tentang model rumah tak lupa dibawanya serta. Siapa tahu, salah satu model rumah yang ada di dalam tabloid-tabloid atau majalah-majalah itu bisa diterapkan untuk rumahnya terutama interiornya. Tapi sekarang ini yang sedang dia prioritaskan adalah mengecat ulang dinding-dindingnya. Rina sangat selektif dalam memilih warna cat. Dia mau setiap ruangan memiliki cat yang berbeda-beda, agar orang yang masuk ke dalam rumahnya nanti tidak merasa bosan. Hampir setiap hari Rina menyempatkan diri untuk melihat rumah barunya itu, berjalan dari sudut ke sudut, ke belakang lalu ke depan lagi, lalu naik ke lantai dua, turun lagi, ke belakang lagi, balik ke depan lagi, berjalan hilir mudik di antara para pekerja. Dia berharap dengan cara itu dia bisa menemukan ide untuk menata rumah barunya setelah selesai di renovasi nanti. Sesekali dia berhenti, meraba-raba bagian tembok yang sudah dicat. Kemudian dari kejauhan dia pandangi tembok itu. Seolah-olah ingin memastikan bahwa warna yang dipilihnya memang sudah pas. Untung para pekerja yang merenovasi rumahnya sangat sabar mengikuti instruksi-instruksinya.

Sejak rumah itu terbeli yang dilakukan Rina dan suaminya adalah mengumpulkan informasi-informasi tentang konsep hunian yang baik. Bangun tidur, menunggu sarapan, mau berangkat ke kantor, habis masak, sedang istirahat, pulang dari kantor menjelang tidur yang dibicarakan melulu soal rumah baru. Di tangan mereka tak pernah lepas majalah-majalah dan tabloid-tablid yang berisi contoh gambar rumah, dekorasinya, furniturenya, dan segala macam yang berhubungan dengan rumah. Semakin dibolak-balik semakin bingung mereka untuk menentukan mana model yang cocok untuk diterapkan di rumah baru mereka. Yang satu berpendapat kalau modelnya begini mungkin bagus, yang lain berpendapat justru yang cocok model seperti ini. Nanti di ruang ini diisi dengan perabotan seperti ini, oh jangan, sebaiknya perabotannya seperti ini saja. Dari diskusi-diskusi itu terkadang timbul perselisihan-perselisihan kecil. Masing-masing ingin ide dan pendapatnya diterima. Kalau sudah begitu ujung-ujungnya ke masalah dana. Satu hal yang sangat sensitif dan membuat perasaan jadi sangat tidak enak. Rina merasa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu keuangan suaminya dan semakin merasa hanya menjadi beban suami saja sementara sang suami yang merasa betapa susahnya mencari uang menyalahkan istri yang maunya semua keinginannya bisa dipenuhi. Puncaknya di tempat tidur mereka saling membelakangi. Untungnya sih setiap perselisihan tidak pernah berlangsung lama. Esok paginya ketika bangun dari tidur mereka sudah melupakan kejadian sebelumnya. Mereka kembali duduk bersama, bercengkrama, kembali membolak balik majalah, kembali mengeluarkan ide dan pendapat. Selalu begitu.

“Pak, cat kusen kamar yang di atas nanti diganti dengan warna putih saja ya, biar kelihatan kontras dengan warna temboknya”, Rina memberi instruksi kepada salah satu pekerja.

“Oh iya bu, untuk halaman belakang itu ubinnya warna apa ya bu?”

“Nanti pakai ubin dari batu alam saja pak, sama dengan kamar mandi yang ada di kamar utama”.

“Baik bu, saya permisi dulu”. Rina mengangguk ramah. Dia meneruskan mengamati hasil kerja para tukang, kalau dirasa ada yang tidak sesuai dia meminta para tukang itu untuk memperbaikinya lagi. Pokoknya dia mau rumah barunya nanti kelihatan benar-benar sempurna.

Sebenarnya Rina dan suaminya juga anak-anaknya sudah sangat betah dengan lingkungan rumah di mana mereka sekarang tinggal. Udaranya masih bersih dan segar, bebas dari polusi. Jauh dari jalan besar sehingga aman untuk anak-anak bermain. Hampir seluruh warganya memiliki civil society yang bagus. Rasa solidaritas dan toleransi mereka terhadap tetangga begitu tinggi. Sampai-sampai masalah rumah tangga kadang-kadang menjadi masalah bersama. Pernah ada salah satu pasangan yang bertengkar. Si suami minggat. Para tetangga turut sibuk mengurusinya. Yang bapak-bapak mencoba cari informasi ke sana kemari tentang keberadaan si suami sementara ibu-ibunya mencoba mencari tahu permasalahan yang sebenarnya dengan mendatangi sang istri. Belum lagi kalau ada musibah, kematian misalnya. Selama tujuh hari semua tetangga akan bergantian memasak untuk warga yang terkena musibah. Sampai soal pengurusan pemakaman jenazah dan tahlilan pun para warga bergotong royong membantu. Dalam urusan keagamaan, mereka saling menghormati dan tidak pernah saling mengganggu satu sama lain. Ketika lebaran tiba, mereka yang beragama non muslim mengunjungi yang muslim dan ketika hari natal tiba yang muslim mengucapkan selamat natal dan mengirim parcel ke mereka yang merayakannya. Jarang kan menemui lingkungan seperti itu. Jakarta geto loh. Kebanyakan orang yang hidup di kota-kota besar kan gaya hidupnya udah elo-elo-guwe-guwe. Rina bersyukur banget karena begitu mampu membeli rumah meski ukurannya kecil tapi lingkungannya sangat baik. Membuat dia sekeluarga jadi betah. Jika ada long week end mereka mengadakan makan bersama dengan menggelar tikar di depan rumah, main organ tunggal dan berkaraoke. Tujuh belas agustusan selalu berlangsung dengan meriah. Pokoknya susah deh ketemu sama lingkungan yang seperti itu. Mereka juga tidak perlu khawatir untuk meninggalkan anak-anak di rumah hanya dengan pembantu atau meninggalkan rumah dalam keadaan kosong karena ada tetangga yang selalu siap membantu manakala diperlukan. Tapi ya apa boleh buat. Kebetulan ada orang yang sedang butuh uang, kemudian menawarkan rumahnya yang sangat besar dengan harga murah. Setelah merasa cocok. Akhirnya Rina dan suaminya bersedia untuk membelinya. Kapan lagi bisa memiliki rumah besar dengan harga murah. Lingkungannya juga tidak berbeda dengan rumah yang sekarang mereka tinggali. Hitung-hitung menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Siapa tahu rumah itu nantinya membawa berkah bagi keluarganya. Begitu harapan Rina dan suaminya ketika memutuskan untuk membelinya.

Setelah puas melihat dan memeriksa, Rina segera kembali ke rumah lamanya. Jarak rumah barunya dengan rumah yang sekarang ditempatinya tidak begitu jauh. Hanya berbeda blok saja. Jadi jika nanti sudah pindahpun dia masih bisa sering-sering mengunjungi tetangga-tetangga lamanya. Dia berharap di rumahnya yang baru nanti bisa menemukan suasana yang sama .

“Hai mbak Rin, darimana siang-siang panas begini bersepeda?”, Widya tetangga satu gang yang kebetulan berpapasan di jalan menyapa.

“Eh mbak Wid, sampean juga mau kemana siang-siang begini?”

“Biasa mau menjemput anak-anak. Mbak Rin sendiri darimana?”

“Dari lihat rumah. Khawatir tukang ada yang butuh sesuatu”.

“Kira-kira kapan selesai renovasinya. Kapan-kapan aku diajak lihat dong”

“Oh pasti lah, la wong belum selesai, masih acak-acakan. Malu ah”

“Wah, nanti bakal kehilangan tetangga dong. Nggak seru lagi kalau nggak ada mbak Rina.”

“Walah, mbak Wid bisa aja. Kan pindahnya dekat aja. Nanti kan bisa sering-sering main. Lagi pula rumah yang di sini juga masih ada. Jadi pasti sering kita tengok deh”

“Oh iya, rencananya rumah yang di sini nanti mau diapakan, dijual atau dikontrakkan?”

“Lha itu yang belum tahu. Walah, pindah saja belum. Siapa tahu justru rumah yang di sana nanti yang dikontrakkan, ha....ha....”

“Yo wis aku tak jemput anak-anak dulu ya”

“Ya, hati-hati”. Rina kembali mengayuh sepedanya. Kalau mengingat keramahtamahan para tetangga seperti itu memang berat rasanya untuk pindah. Tapi sebenarnya semua lingkungan itu sama saja. Di manapun kita hidup, asal kita bisa membawa diri, bisa beradaptasi dan bersosialisasi, pasti akan menyenangkan.*********

Rina merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Pikirannya menjelajah ke setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah barunya. Membayangkan dan terus membayangkan. Tak ada yang dikerjakannya kecuali membayangkan setiap sudut bangunan itu. Hatinya tak sabar menunggu renovasi rumah itu selesai. Ia ingin segera bisa menatanya dan menempatinya. Desiran hawa sejuk yang berpendar dari baling-baling kipas angin menyapu wajahnya, membelai dan merayu kelompak matanya untuk sejenak menutup, mengakhiri petualangan-petualagan yang tak ada habisnya. Yang telah menguras tenaga dan fikirannya. Begitu matanya terpejam, otaknya pun berhenti bekerja. Secara otomatis memorinya menyimpan semua file yang dia ciptakan tadi menjelang tidur. Hampir tiga puluh menit Rina tertidur. Dia terbangun ketika ada suara orang memberi salam di depan rumahnya.

“Assalamu’alaikum.........”,

“Wa’alaikum salam” dengan agak malas Rina bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang.

“Eh bu Eka. Apa kabar, ayo silahkan masuk”, Rina mempersilahkan tamunya yang tak lain adalah teman senamnya untuk masuk.

“Kok tumben banget nih, ada apakah gerangan?”

“Aduh sori ya, kayaknya ganggu orang tidur nih”

“Nggak kok, malah bersyukur karena ada yang bangunin. Kalau kelamaan tidur nanti malah berabe”

“Kebetulan aku tadi dari rumah yang diujung itu. Jadi ya sekalian mampir deh.

“Oh dari rumah ibu Agung. Memang ada perlu apa sama bu Agung?”

“Anaknya kan satu sekolahan sama anakku, kebetulan besok di sekolah ada acara dan kami berdua jadi panitia. Jadi ya, berkoordinasi soal acara besok”

“Oh begitu, ngomong-ngomong mau minum apa nih?”

“Sudah, nggak usah repot-repot, lagipula aku sebentar aja kok. Aku cuma mau memastikan saja, kata bu Agung mbak Rina beli rumah di blokku ya. Di sebelah mana?”

“O alah, itu tho. Iya, di gang kedua”

“O...rumahnya bu Santoso ya”

“Iya betul”

“Wah, itu rumahkan kan besar banget. Senang banget ya bisa punya rumah sebesar itu. Tapi hati-hati lho mbak, katanya rumah itu angker banget”

“Masak iya tho, tapi tukang yang kerja di sana nggak pernah mengalami kejadian yang aneh-aneh tuh. Mereka kan setiap malam tidur di sana. Lagi pula setiap tempat kan pasti ada penghuninya. Kalau ktia tidak mengganggu mereka, mereka juga pasti tidak mengganggu kita”

“Tapi kata beberapa tukang ojek yanga mangkal di depannya, mereka sering kok melihat penampakan-penampakan di situ”

“Nggak usah dipercayalah. Dulu ketika aku membeli rumah ini, penghuni lamanya juga bilang kalau di sini banyak hantunya. Tapi buktinya hampir delapan tahun kami tinggali, tidak pernah ada kejadian yang aneh. Kita minta perlindungan aja sama yang di atas. Biar bagaimanapun mereka kan juga makhluk Allah, sama seperti kita. Hanya saja dunia kita yang berbeda”

“Iya juga ya mbak, mungkin tergantung ibadah kita kali ya”

“Ho oh he...he....”

“Ya udah mbak aku pamit dulu. Nanti kalau tasyakuran jangan lupa undang aku ya”

“Pasti dong. Aku pasti akan undang semua tetangga”

Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salaam”

Begitulah, saking terobsesinya Rina dengan rumah barunya itu, segala gosip jelek yang dia dengar tentang rumah itu tidak dihiraukannya. Dia percaya, kalau dia dan keluarganya hidup sesuai dengan ajaran agama, menjalankan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, tentulah hidup mereka akan selamat. Syetan tidak akan berani menggoda manusia yang selalu dekat dengan Tuhannya.

Pamulang, 20 April 2007

RAHASIA SEORANG ISTRI


“Sesungguhnya kami para pria berhak memilih di antara para perempuan yang jumlahnya satu berbanding lima dengan pria. Dan tidak semua pria menyukai wanita. Karena itu, anda para wanita yang telah memiliki pasangan, jaga hubungan anda sebaik-baiknya. Saat ini persaingan untuk mendapatkan pria yanag bisa dijadikan tumpuan hidup sangatlah berat, jadi berpikirlah dua kali sebelum melakukan selingkuh. Tapi bagi perempuan yang sudah terlanjur berselingkuh, cobalah untuk segera mengakhirinya dan berkata secara jujur kepada pasangannya. Saya yakin, sepahit apapun akibatnya, berlaku jujur itu lebih baik daripada terus mengingkarinya. Siapa tahu pasangan anda bisa memaafkannya”.

“Tuh, dengerin ma apa kata narasumber. Mama harus setia sama papa”, Anton berbisik di telinga istrinya mencoba menggoda perempuan yang sudah 5 tahun dinikahinya.

Irma tak bereaksi. Dia hanya memandang sekilas ke arah suaminya lalu perhatiannya kembali kepada narasumber yang masih berbicara di atas mimbar. Jauh di dasar hatinya dia merasa tersentil oleh ucapan-ucapan narasumber itu. Dulu dia pernah melakukan itu, membagi cintanya untuk pria lain. Tapi meskipun dia mengemukakan berjuta alasan kenapa dia tega melakukan perselingkuhan itu, tetap saja orang akan menyalahkan dirinya dan menganggapnya sebagai istri yang tidak setia. “Tapi narasumber itu sangat tidak adil, tidak berperasaan. Kenapa hanya perempuan saja yang dia himbau padahal laki-laki juga tak kalah banyaknya yang melakukan perselingkuhan. Aku akan ungkapkan nanti pada sessi tanya jawab”, Irma membathin.

“Ma, kokk diam aja sih”

“Stt...jangan berisik ah. Itu juga berlaku buat para suami. Di antara lima itu kan nggak semua berada di usia produktif. Siapa tahu yang dua balita dan dua lagi nenek-nenek. Berarti para pria nggak ada pilihan lain, karena yang bisa dipilih cuma satu dan itupun kalau si perempuannya mau. Jadi laki-laki juga harus hati-hati dan berpikir seribu kali untuk melakukan selingkuh. Puas, puas?!”

“Kayak Tukul aja ih. Ya udah nunggu balitanya sampai jadi ABG aja”

“Keburu mati burung kamu”

“Hi.....hi....., nggak mau kalah ih”

“Habis papa sih ngganggu konsentrasi orang”

Sampai acara seminar selesai Irma tak bisa menghilangkan rasa tak enak yang hinggap di hatinya. Kata-kata narasumber tadi benar-benar telah membangkitkan rasa bersalah yang selama ini menghantui hidupnya. Irma jadi merasa sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.. Dia kecewa karena tak bisa mencari solusi dari masalah rumah tangganya dengan cara yang baik. Apalagi waktu itu usia pernikahannya dengan Anton baru dua tahun. Seharusnya mereka terus berusaha untuk mengenal satu sama lain secara utuh. Suami istri adalah dua individu yang berbeda, berbeda secara fisik, sifat, sikap dan berasal dari dua keluarga yanga mungkin berbeda tradisi dan kebiasaan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing, tidak cukup jika hanya dua tahun. Tapi Irma capek harus selalu mengalah. Dia capek harus terus menjadi pihak yang diharuskan begini dan begitu tapi tidak punya hak berpendapat. Sementara Anton sangat menikmati sekali posisinya sebagai kepala rumah tangga yang bisanya menyuruh ini dan itu. Dalam kondisi seperti itu secara tidak sengaja Irma berkenalan dengan Dewo. Laki-laki yang mau mendengarkan keluh kesahnya, laki-laki yang memandang dirinya tidak lebih baik dengan dirinya, sebagai makhluk Tuhan. Irma tak kuasa menghindar dari pesona yang dimiliki Dewo. Irma rela melanggar janji suci yang pernah diucapkannya bersama Anton ketika dulu mereka berhadapan dengan penghulu. Dia tahu itu salah. Dia tahu itu perbuatan dosa. Tapi dia tidak bisa menghindarinya. Kelembutan dan perhatian Dewo telah menggoyahkan keimanannya. Bersyukur Irma bertemu dengan laki-laki sebaik Dewo. Laki-laki yang sangat tahu posisi dirinya, laki-laki yang sangat menjaga privasinya. Dewo sadar betul bahwa dia berhubungan dengan istri orang. Dewo mengerti dan paham apa resikonya bagi dirinya dan juga Irma jika hubungan mereka sampai diketahui orang lain terlebih-lebih jika yang mengetahui adalah Anton. Dewo tulus hanya ingin menemani Irma yang membutuhkan perhatian dan pengakuan dari seorang laki-laki bahwa meskipun perempuan dia bisa melakukan aktivitas publik. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan Anton kepadanya. Dewo juga selalu menyuruhnya untuk bersabar dan bersikap lebih terbuka dan kominikatif terhadap Anton Meski pada akhirnya Dewo mengaku bahwa dia ternyata benar-benar jatuh cinta kepada Irma, laki-laki itu sadar bahwa dia tidak mungkin bisa memiliki Irma. Sikap itu pula yang dirasakan Irma. Seburuk apapun Anton, dia tidak mungkin meninggalkan laki-laki itu. Anton adalah suaminya dan dia nggak mau ada perceraian dalam rumah tangganya. Meski berselingkuh adalah tindakan yang sangat tidak dibenarkan dalam kehidupan berumah tangga, tapi Irma benar-benar mendapatkan banyak pelajaran berharga dari kebersamaannya dengan Dewo. Dia bahagia bersama Dewo. Irma berharap bisa mendapatkannya bersama Anton, dia juga mau Dewo bisa segera membangun rumah tangga bersama perempuan lain yang bisa sepenuhnya mencintainya. Alasan itulah yang kemudian melandasi keputusan Irma untuk mengakhiri perselingkuhan mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya sampai sekarang Irma masih tak bisa melupakan Dewo. Kenangan manis bersama laki-laki itu masih kerap muncul di pikirannya. Tapi Irma berusaha terus untuk menepisnya, dia sadar perasaan yang dia simpan diam-diam itu pasti akan sangat melukai hati Anton. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk terus mengingat laki-laki itu meski keharmonisan rumah tangga yang dia rasakan saat ini sedikit banyak karena kepedulian laki-laki itu. Dewo pun seperti hilang ditelan bumi, sejak berpisah tak pernah sekalipun laki-laki itu menghubungi Irma.

“Ma, papa mau lihat buku-buku di stand itu ya, mama mau ikut?”, suara Anton membuyarkan lamunannya.

“Hm...nggak deh, aku mau lihat-lihat stand sebelah sana aja” Irma menjawab agak gugup.

“Ya udah, nanti nyusul papa aja ya kalau udah selesai muter-muternya”

“He eh. Nanti aku telpon deh”. Mereka pun lalu berpisah.

Irma sedang memilih beberapa aksesoris perempuan ketika telinganya menangkap sebuah suara yang sangat dikenalnya. Dia menoleh ke arah suara itu. Ups, darahnya seperti berhenti mengalir. Hanya berjarak beberapa centimeter dari dirinya berdiri seorang laki-laki yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan cantik juga tengah memilih-milih aksesoris. “Ya Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengannya setelah sekian lama kami berusaha saling melupakan”, Irma bermaksud manjauh sebelum laki-laki itu melihatnya. Tapi baru saja dia ingin melangkah, tangannya ditahan oleh seseorang. Laki-laki itu persis berdiri di sampingnya. Di antara pengunjung yang berdesakan hampir tak satu orangpun yang memperhatikan kejadian itu tak terkecuali perempuan yang berada di samping laki-laki itu. Sejurus kemudian mata laki-laki itu memandang kepadanya. Sejuta makna tersirat dari bola matanya yang tajam.

“Auw”, tiba-tiba laki-laki itu berteriak.

“Kenapa mas?”, perempuan yang berdiri di sampingnya bertanya kaget. Irma pun tak kalah kagetnya.

“Kakiku”

“Kaki mas kenapa?”

“Kakiku terinjak hak sepatunya mbak ini”, laki-laki itu menunjuk Irma.

“O....”, perempuan itu melihat Irma.

“Oh eh maaf, nggak sengaja”, dilihat seperti itu akhirnya Irma membuka suara.

“Nggak apa-apa kok mbak namanya juga nggak sengaja, iya kan mas?”

“Iya, nggak apa-apa. Oh iya kenalkan nama saya Dewo dan ini istri saya Heni” Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Oh eh, saya Irma”, telapak tangannya berkeringat ketika jemari Dewo menggenggam erat jemarinya.

“Baiklah, saya permisi dulu”, Irma tak mau larut dalam perasaannya yang campur aduk saat ini. Dia cepat-cepat meninggalkan Dewo dan istrinya diikuti pandangan mata laki-laki itu. Irma mencari-cari keberadaan Anton. Irma baru behenti berjalan setelah dirinya merasa sudah berada jauh dari Dewo. Namun ketika dia sedang mengangkat handphone dan bermaksud untuk menelpon suaminya sebuah tangan kembali menahannya.

“Please Irma, jangan menghindar. Kita kan masih bisa berteman”, suara laki-laki itu mendesau di belakang telinganya. Posisi mereka saling membelakangi sehingga tidak ada orang yang curiga bahwa mereka sedang bercakap-cakap.

“Tapi Wo”

“Aku hanya ingin minta nomor handphonemu”

“Untuk apa Wo, kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu”

“Jadi kau sebut aku pengganggu?”

“Bukan kau tapi aku, aku nggak mau nanti disebut mengganggu rumah tanggamu”

“Ayolah sayang, aku hanya ingin curhat saja sama kamu”

“Wo, pleaase, nanti istrimu melihat kita”

“Jangan khawatir, dia sedang ke kamar kecil. Makanya cepat kasih aku nomor handphonemu”

“Ya sudah, tapi lihat-lihat waktunya ya kalau mau menghubungi” akhirnya Irma menyebutkan beberapa angka.

“Jangan khawatir sayang, kamu masih seperti dulu baik dan cantik. Pasti Anton semakin mencintaimu”

“Please Wo”

“Aku berkata jujur, kamu memang terlihat makin cantik. Kamu bahagia kan?

“Aku bahagia Wo, sangat bahagia. Kamu telah banyak membantuku untuk mewujudkan semua itu. Kamu sendiri juga bahagia kan Wo?”

“Seperti yang kau lihat”

“Istrimu juga cantik. Kelihatannya dia perempuan yang baik dan setia pada pasangan. Tidak seperti aku yang.............”

“Stt..........”, di antara himpitan pengunjung lain, Dewo memegang erat tangan Irma.

“Wo, aku harus pergi sekarang”

“Tapi aku masih ingin melepaskan kangenku sama kamu”

“Jangan memulai Wo, dulu kamu yang mengajarkan aku arti kesetiaan”

Laki-laki itu lalu melepaskan genggaman tangannya. Kini dia memandang ke wajah Irma. Untuk beberapa saat dia terus saja memandangi wajah Irma. Kemudian sambil mengucapkan kata-kata perpisahan, dia berbalik meninggalkan Irma.

“Sampai ketemu Wo”, Irma memandang kepergian laki-laki yang dulu pernah begitu dekat di hatinya. Setelah bayangan Dewo tak terlihat, dia lalu menelpon Anton.

Di sebuah bangku sambil menunggu Anton Irma teringat kembali awal pertemuannya dengan Dewo. Sore itu, hujan lebat, halte yang hanya berukuran kecil itu disesaki oleh puluhan manusia yang sama-sama ingin berteduh. Irma berdiri tepat di samping seorang laki-laki. Entah kenapa, di tengah suasana yang dingin oleh tampiasan air hujan, Irma merasakan sesuatu yang hangat mengaliri bahunya yang menempel di dada laki-laki itu. Dia menoleh ke wajah laki-laki itu, tanpa diduga laki-laki itu menoleh pula ke arahnya. Mata mereka bertubrukan. Ada rasa serrr di dada Irma. Laki-laki itu tersenyum. Irma berpaling tak menghiraukan senyum laki-laki itu. Untung tak lama kemudian bis yang ditunggu Irma datang. Dia segera berlari menerobos hujan dan meloncat ke dalam bis. Tak disangka laki-laki itu ternyata naik bis yang sama dengannya. Mereka kembali berdesakan di dalam bis. Kali ini posisi mereka lebih rapat dibandingkan di halte tadi. Dewo berdiri di belakang Irma, kedua tangannya berada di antara kedua bahu Irma. Seperti laki-laki yang sedang melindungi kekasihnya. Bahkan desah nafas laki-laki itu tertangkap jelas di telinga Irma. Dada Irma semakin bergemuruh. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang terbalut busana setengah basah. Hembusan angin yang masuk dari jendela bis tak mampu meredam gejolak yang bergemuruh di dadanya.

“Dingin ya”, laki-laki itu berbisik.

Irma kesal merasa digoda. Dia menggeser badannya mencoba menjauh dari laki-laki itu. Tiba-tiba bis direm mendadak. Penumpang saling bertubrukan. Tak terkecuali Irma dan laki-laki itu. Tanpa disengaja laki-laki itu menjadikan tubuhnya sebagai tempat berpegangan Irma untuk menghindari agak tidak terjerembab. Kedua tangan kekarnya memeluk tubuh Irma yang juga doyong ke depan. Untuk beberapa saat baik Irma maupun laki-laki itu tak bisa berkata-kata. Inginnya Irma marah, apalagi laki-laki itu sempat menyentuh kedua payudaranya tapi dia tahu semua kejadian itu tidak disengaja. Dia hanya bisa bersikap pura-pura tak merasakan apa-apa. Akhirnya bis sampai juga di tempat tujuan. Irma bergegas turun. Laki-laki itu juga turun berjalan di belakang Irma.

“Mbak, mbak, tunggu mbak”, laki-laki itu mencoba menjejeri langkah Irma. Irma tak perduli dia terus berjalan menuju sebuah mall.

“Mbak, aku cuma mau minta maaf atas kejadian di bis tadi”

“Sudah saya maafkan. Itu kan kejadian yang tidak disengaja. Maaf ya mas saya sedang ditunggu suami”

“O...., oke, makasih ya mbak”, laki-laki itu tak lagi mengikuti Irma. Pertemuan-pertemuan lain terus terjadi sampai akhirnya menjadi kebiasaan yang sayang untuk dihindari. Perasaan-perasaan istimewa terpupuk setiap hari dibumbui oleh kekaguman dan kebaikan masing-masing. Lama kelamaan, tanpa harus mengucapkan kata I LOVE YOU, kesepakatan itu terbentuk. Dewo yang masih lajang tak hirau dengan status Irma yang sudah bersuami. Irmapun demikian, dia tak perduli dengan ikatan perkawinan yang saat itu sangat menyiksanya.

“Ma, udah lama nunggu ya?”, Anton yang tiba-tiba muncul langsung duduk di sampingnya.

“Nggak juga. Sudah dapat buku yang dicari?”, Irma mencoba menetralkan perasaannya dengan bertanya.

“Sudah, nih”, Anton memperlihatkan tentengannya.

“Kalau gitu kita pulang aja yuk, mama udah capek nih. Lagi pula kasihan anak-anak di rumah kelamaan nunggu”

“Oke, tapi kita cari makanan dulu ya buat oleh-oleh mereka”

Anton lalu menggandeng Irma menjauh dari keramaian. Di sudut pintu lain sepasang mata mengawasi kepergian mereka dengan tatapan cemburu. “Selamat berbahagia Irma, dihapusnya sebuah nomor yang beberapa menit yang lalu baru disimpannya di memori handphonenya.

Pamulang, 4 Mei 2007

KESETIAAN


Tiga bulan usia kandunganku ketika dengan sangat marahnya Romo mengusir Gusti dari rumahku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bisa bertemu dengannya. Kata tukang kebunku, berkali-kali Gusti berusaha untuk menemuiku tetapi orang-orang yang bekerja di rumah tidak ada yang berani menyampaikannya padaku. Mereka semua takut dipecat Romo jika ketahuan telah membantu Gusti. Gusti sangat tertekan dengan keadaan itu. Mungkin karena alasan itu dia kemudian memutuskan untuk pergi dari kota kami. Aku tahu dari surat Gusti yang ditulisnya untukku. Di dalam suratnya dia berkali-kali meminta maaf padaku karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan cinta kami. Dia juga mohon pamit untuk pergi jauh bukan dengan maksud untuk meninggalkanku begitu saja tapi dia sendiri merasa putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahan untuk tetap tinggal di kota kami. Berada dekat denganku tetapi tidak bisa melihatku. Aku benar-benar sedih dan kalut saat membaca suratnya. Aku takut kehilangan Gusti, aku takut tak bisa lagi bertemu dengannya. Lalu aku berusaha untuk kabur dari rumah. Aku ingin ikut kemanapun Gusti pergi, tetapi harapan itu kandas. Romo memergokiku dan beliau murka. Akhirnya dibuangnya aku jauh ke tempat ini. Hancur luluh hatiku. Pupus sudah harapanku untuk bisa bertemu dengan Gusti. Di tempatku yang baru, aku seperti mayat hidup, berhari-hari aku tak mau makan dan tak mau bicara. Dengan sabar mbok Ijah terus menemani dan membujukku. Perempuan tua itu tak henti-hentinya mengingatkanku akan bayi yang berada di dalam rahimku. Akupun luluh. Aku tak mau kehilangan bayiku. Bayi itu adalah harta paling berharga yang aku miliki, anak yang dititipkan Gusti. Buah cinta kami berdua yang kelak mungkin akan mempertemukan kami kembali.

Di tempat pembuanganku bayi itu lahir. Seorang bayi perempuan yang cantik. Aku namai dia Bintang Anugrahning Gusti. Bintang yang dianugerahkan Tuhan melalui cinta Gusti untukku. Aku berharap kelak dia benar-benar menjadi seorang bintang dalam perjalanan hidupnya. Setelah Bintang lahir, aku mencoba mencari tahu tentang keberadaan Gusti dengan cara menghubungi kembali teman-temanku. Tetapi semua usahaku hanya sia-sia. Teman-teman yang dulu setia melindungi kami sudah banyak yang pindah tempat tinggal. Mereka yang ada juga tidak pernah menerima kabar darinya. Tapi aku tidak putus harapan. Aku yakin suatu saat Bintang kecilku pasti akan mempertemukan kami kembali meski entah kapan. Dengan keyakinan itu pula sampai sekarang aku tidak bisa menerima tawaran laki-laki lain yang ingin mengajakku menikah. Akupun tak punya niat untuk kembali ke rumah Romo meski berkali-kali Ibuku membujukku untuk kembali. Aku bertekad untuk membesarkan Bintang dengan tanganku sendiri.

“Mama.....”, gadis berumur tiga tahun itu menghampiriku. Kedua tangannya yang montok segera memeluk tubuhku. “Bintang mau maem lagi ma”, rengeknya manja.

“Oke, honey boleh maem lagi tapi sebelumnya harus mandi dulu, karena sudah sore ya?”

Gadis kecil itu mengangguk setuju. Segera kulucuti pakaiannya dan membopong tubuhnya yang padat berisi itu ke kamar mandi.

Dari dapur mbok Ijah mengelus-elus dada melihat keakraban kami. Mbok Ijaklah satu-satunya orang yang tahu sejarah kami berdua. Orang tua itu begitu sayang kepadaku sehingga ketika Romo memutuskan untuk membuangku ke tempat ini mbok Ijah memaksa untuk ikut bersamaku. Aku sendiri tak bisa jauh dari mbok Ijak, dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri karena memang sejak kecil dialah yang mengasuhku. Dia lebih tahu tentang sifat dan karakterku daripada ibu kandungku sendiri. Dari orang tua itu pula aku belajar banyak tentang arti cinta, kesabaran dan kesetiaan. Dulu sambil menyuapiku makan dia selalu mengajariku tentang falsafah hidup yang tidak pernah aku lihat ada pada keluarga ningratku. Satu kalimat yang masih kuingat hingga kini adalah bahwa jangan sekali-kali menilai orang dari derajatnya. Terkadang orang yang lahir di lingkungan berderajat rendah, budi pekertinya lebih mulia daripada orang yang terlahir di lingkungan yang berderajat tinggi.

Setiap saat aku berusaha mencerna dan meresapi arti kalimat itu. Hingga tanpa kusadari aku telah berjalan di atas kalimat itu. Mbok Ijah senang karena aku tak pernah pilih-pilih dalam berteman. Bahkan kebanyakan teman-temanku berasal dari kalangan orang tak mampu. Romo selalu marah kalau melihat aku mengajak beberapa temanku yang berpakaian kumal itu memasuki halaman rumah besar kami. Romo mengusir mereka dan kemudian memanggil mbok Ijah dan menuduh orang tua itu telah mengajarkan hal-hal yang tidak benar kepadaku. Sejak saat itu aku mulai mengerti dan melihat kebenaran dari kalimat yang mbok Ijah tanamkan di benakku. Aku tak lagi gentar oleh amarah Romo. Dengan sembunyi-sembunyi aku tetap bermain dengan teman-temanku itu.

Kini kalimat itu selalu aku dengungkan di telinga Bintang kecilku. Aku berharap dia juga dapat mencerna dan meresapi kalimat itu dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Aku ingin dia tahu bahwa ayahnya juga berasal dari kalangan orang yang berderajat rendah, tetapi pintar dan memiliki hati yang baik.

Sering Bintang bertanya kenapa ayahnya tidak berkumpul dengan kami seperti keluarga yang lain. Aku selalu menjawab bahwa meski jauh, ayah sangat sayang pada Bintang dan suatu saat ayahnya akan datang untuk menemuinya, lalu mengucapkan kata I love you and I miss you so much my little girl. Gadis kecil itu kemudian akan menjawab sendiri seperti yang kuajarkan I love you and I miss you too, ayah. Setiap kali mendengar kalimat-kalimat mesra itu, mataku selalu berkaca-kaca, kenangan-kenangan indah yang dulu kami buat bersama kembali muncul, menari-nari di pelupuk mataku. Dulu, setiap hari senin pagi, Gusti pasti mengucapkan kalimat-kalimat itu. Karena di hari minggu kami tak bertemu. Romo tak pernah mengijinkan aku keluar rumah untuk acara apapun di hari minggu kecuali pergi bersama keluarga.

********

Perkenalanku dengan Gusti berawal ketika mbok Suminah juru masak di rumahku memperkenalkan anak lelakinya kepada Romo dan Ibu. Pemuda yang hanya lulusan SMA itu sudah beberapa bulan ini tidak bekerja. Kontrak kerjanya sebagai sopir di sebuah perusahaan sudah habis. Karena itu dengan merendah-rendah mbok Suminah memintakan pekerjaan untuknya kepada Romo. Waktu itu tahun pertama aku masuk perguruan tinggi. Akhirnya Romo memberinya pekerjaan sebagai sopir yang bertugas mengantar dan menjemputku kuliah.

Gusti pemuda yang sangat baik, sopan dan ramah. Meski hanya lulusan SMA, dia tidak kelihatan kampungan. Dia sangat pandai membawa diri ditambah lagi wajahnya yang lumayan ganteng dan otaknya yang cerdas, membuatku suka bergaul dengannya. Banyak teman-teman yang menggodaku bahwa dia lebih pantas menjadi pacarku ketimbang seorang sopir. Gurauan itu kami tanggapi hanya dengan senyum-senyum saja tapi terkadang dengan nakal aku jawab bahwa memang kami pacaran. “Hati-hati kalau bicara non, nanti kalau Romo non dengar bisa marah dan saya bisa dipecat”, ujarnya setiap kali aku berkata begitu.

“Ndak apa-apa, aku yang akan bertanggungjawab kalau Romo marah”, jawabku.

Setiap hari hubunganku dengan Gusti bertambah baik, dia lebih kunggap sebagai seorang sahabat daripada sekedar sopir. Kepadanya sering aku tumpahkan segala macam uneg-uneg yang mengganjal hatiku, terutama tentang peraturan Romo yang sangat protect terhadap diriku. Aku senang karena dia sangat respon dan selalu memberi perhatian terhadap apa saja yang aku ceritakan kepadanya.

Witing tresno jalaran soko kulino pepatah Jawa itulah yang tampaknya mulai mewarnai perjalanan kami berdua. Setiap hari bertemu, bertegur sapa, bercanda, rasanya kami mulai saling merindukan dan bergantung satu sama lain. Mbok Ijah diam-diam memperhatikan perubahan yang terjadi pada diriku. Orang tua itu tahu kalau aku sedang jatuh cinta. Dia selalu mengingatkanku untuk berhati-hati, begitu juga kepada Gusti dia selalu mengingatkan untuk tetap menjaga sikap. Tidak ada yang tahu jalinan cinta kami kecuali mbok Ijah. Di hadapan orang lain dan terutama Romo kami tetap berlaku sebagaimana majikan dan sopir. Kami ingin jalinan cinta ini tetap terjaga dan menurut kami itulah cara teraman untuk menjaganya. Biarlah hanya kami berdua dan mbok Ijah saja yang tahu. Lalu aku mulai pandai mengarang-ngarang cerita kepada Romo mengapa setiap hari aku selalu terlambat pulang. Untungnya Romo tidak pernah bertanya secara detail tentang kegiatanku di kampus. Mungkin juga karena dia percaya bahwa aku tidak mungkin akan berbuat yang macam-macam apalagi jatuh cinta kepada seorang sopir.

Tanpa terasa dua tahun sudah kami merahasiakan hubungan cinta kami. Semakin hari semakin berat rasanya untuk berpisah. Inginnya selalu bersama, saling memberi kasih sayang, saling mengucap kata sayang, I love you so much, I miss you so much lalu kami akan saling jawab I love you too, I miss you too. Rasanya tak ada kata-kata indah yang bisa melebihi kata-kata itu. Gejolak asmara itu semakin tak bisa dibendung. Kami benar-benar lupa diri. Bayang-bayang Romo yang tak mungkin bisa merestui hubungan kami membuat perasaan cinta kami semakin dalam. Hingga akhirnya kami melakukan hal terlarang itu. Rasa saling memiliki yang terlalu berlebihan membuat kami lupa diri.

Aku mulai terlambat menstruasi. Aku sampaikan hal ini kepada Gusti dan dia tampak sangat senang. Dia memang selalu berkata ingin mempunyai anak yang lahir dari rahimku, alasannya pasti anaknya akan cantik seperti ibunya dan tidak ada alasan bagi Romo untuk menolak untuk menikahkan kami jika tak ingin keluarga malu. Tetapi pasti masalahnya tidak semudah dan sesederhana yang kami bayangkan. Kamipun mulai gelisah memikirkan bagaimana harus mengatakan hal ini kepada keluargaku.

“Tenang sayang, kita akan cari jalan keluarnya”, ucapnya mencoba menenangkanku tiap kali kuungkapkan kegelisahanku. Aku tahu bahwa dia juga takut dan khawatir.

Memasuki bulan kedua mbok Ijah mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuhku. Dengan sangat hati-hati perempuan tua itu bertanya tentang kebenaran analisanya kepadaku. Aku yang sudah lama memendam kegelisahan seorang diri tanpa bisa kutahan lagi langsung menangis dalam pelukan perempuan tua itu. Mbok Ijah mengelus-elus rambutku dan bertanya apa rencana kami dengan bayi yang ada di dalam perutku. Aku menggeleng bingung. Pada dasarnya aku dan Gusti ingin mempertahankannya karena dia adalah hasil buah cinta kami. Tetapi setiap kali terbayang wajah Romo hati kami menjadi ciut, tak tahu mesti berbuat apa. Mbok Ijak sangat prihatin dan dia sedih karena tak bisa membantu masalahku. Ibuku yang akhirnya juga tahu keadaanku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak menyalahkan mereka. Aku sadar, siapapun tak bisa menghadapi sifat keras Romo.

Pada akhirnya aku tak bisa lagi menyembunyikan kehamilanku dari Romo. Aku tak bisa lagi berbohong bahwa rasa mual ku itu karena masuk angin. Romo sangat murka, sementara Ibu hanya menunduk dan pasrah dituduh sebagai perempuan yang tidak becus mendidik anak. “Katakan, siapa laki-laki itu?”, tanya Romo kepadaku dengan suara keras. Matanya merah dan gerahamnya mengeras. Aku tak bisa menjawab. Aku tak mau membuat romo bertambah marah. Tapi sikap diamku justru membuat Romo meradang. Romo hampir saja menamparku ketika dengan tiba-tiba Gusti datang dan mengaku sebagai laki-laki yang akan bertanggungjawab atas bayi yang kukandung. Mata Romo seketika melotot seolah mau keluar. Dengan langkah panjang Romo menghampiri Gusti, menampar wajahnya dan menuding-nuding Gusti sebagai orang yang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak tahu toto kromo dan segudang kata-kata penghinaan lainnya. Saaat itu juga Romo mengusir Gusti dan juga mbok Suminah. Romo lebih senang aku hamil tanpa suami daripada menerima Gusti yang anak seorang juru masak itu sebagai menantunya.

Itulah sekelumit kisah perjuangan yang aku dan Gusti lakukan untuk bisa memiliki cinta yang tumbuh di dalam hati kami berdua. Meskipun pada akhirnya jalinan kasih itu tak sampai, aku terus berusaha untuk menjaganya agar cinta itu tetap tumbuh di hatiku. Aku terus hidup dengan kenangan yang dia tinggalkan untukku. Itulah satu-satunya alasanku kenapa aku tetap menunggunya hingga detik ini. Aku yakin suatu saat dia pasti kembali untuk menemui Bintang dan aku.

Kupandangi Bintang kecilku yang sudah tertidur pulas di sampingku. Kucium pipinya yang lembut dan kubisikkan ke telinganya kalimat I love you so much honey. “Gusti, di manapun kamu berada, aku percaya bahwa kamupun pasti sedang merindukan kami berdua.

Ciganjur, Juli 2002


Selasa, 11 November 2008

KERAJAAN IMPIAN


Aku tak ingin keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat wajah-wajah polos tanpa dosa berhias debu, yang terkadang disertai ingus yang mungkin tak sempat dibersihkan oleh ibu-ibu mereka yang tengah sibuk menanti metro mini-metro mini atau bis-bis berhenti di hadapan mereka dan kemudian memaksa langkah-langkah mereka yang membawa beban tubuh-tubuh mungil itu melompat gesit ke dalamnya, menyumbangkan nada-nada sumbang yang semakin sumbang karena diselingi oleh alat musik ala kadarnya yang terbuat dari botol bekas minuman yang diisi dengan segenggam beras.

Aku tak mau keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat tangan-tangan dan kaki-kaki mungil yang terbungkus kulit dan baju dekil itu bermain-main dengan angin, tak ada genggaman mainan yang bisa mereka gunakan untuk menciptakan sebuah imajinasi atau makanan kecil yang bisa mereka gigit-gigit sebagai pengisi waktu luang mereka ketika menemani ibu-ibu mereka mengais rejeki.

Aku tak mau keluar rumah. Kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kulihat sorot-sorot mata suci dan menggemaskan itu meredup terhalang oleh terik matahari yang membakar kulit mulus mereka. Sorot mata yang seharusnya menebarkan semangat untuk terus maju melewati tahapan-tahapan hidup itu seolah tahu bahwa nasib telah menentukan bahwa mereka tak akan mudah untuk menapaki tahapan-tahapan itu.

Aku tak mau keluar rumah lagi dan berjalan melewati mereka jika yang bisa kuberikan ke mereka tiap hari hanya selembar ribuan kumal atau sekotak kecil susu dan sebungkus biskuit atau terkadang pakaian-pakaian bekas pakai anakku. Aku sadar, apa yang telah kuberikan kepada mereka itu tak akan pernah menolong mereka untuk keluar dari kungkungan kemiskinan. Aku sadar, apa yang telah kuberikan kepada mereka itu tak akan bisa menolong mereka untuk mendapatkan hak menikmati hidup masa kanak-kanak yang layak. Masa depan mereka tidak akan pernah berubah, mereka akan terus berada di atas jalanan. Melompat dari satu metro mini ke metro mini yang lain sebagaimana yang diajarkan oleh ibu-ibu mereka saat ini.

Tidak, aku tak mau lagi keluar rumah, bahkan kalau bisa untuk selamanya, agar tak lagi kurasakan denyutan di kepalaku akibat menahan jatuhnya airmata. Aku hanya ingin tidur, terus dan terus tertidur agar bisa kubangun mimpi-mimpi besarku yang selama ini hanya menghuni dunia khayalku. Membuat orang mengira aku sudah gila karena tersenyum-senyum seorang diri. Aku ingin mewujudkannya dan itu hanya bisa jika aku memindahkannya ke dunia mimpi. Aku ingin ketika orang melihatku tersenyum dalam tidurku mereka hanya akan menebak bahwa aku sedang bermimpi indah. Aku ingin segera melakukan itu, aku ingin segera dapat bersentuhan dan bercengkerama dengan mereka tanpa ada perasaan malu dan prasangka dari orang lain bahwa aku melakukan semua itu agar terlihat sebagai orang yang baik dan perduli pada sesama. Di dunia mimpiku, tak ada yang akan mengganggu. Aku bisa berbuat semauku bahkan aku akan bisa merubah dunia mereka menjadi dunia yang sangat menyenangkan dan membawa mereka kelak ke kehidupan yang lebih layak.

Aku ingin segera tidur, maka perlahan-lahan mulai kubaringkan tubuhku di atas kasur. Kucoba mengingat satu persatu wajah bocah-bocah malang itu untuk kemudian kumasukkan ke dalam memoriku. Aku mulai tersenyum senang ketika ruangan bercat warna-warni dan penuh dengan berbagai mainan itu dipenuhi oleh gelak tawa mereka. Kulihat ada beberapa teman-teman relawan juga tergelak melihat kelucuan mereka. Papan nama dengan tulisan “BABIES DAY CARE” yang terpampang di depan ruangan ikut bergoyang-goyang menyemarakkan hari pertama beroperasinya tempat penitipan bayi dan balita pengemis jalanan ini. Pita merah putih yang tadi pagi baru ku gunting yang menandai peresmiannya masih melilit di sebagian tulisan itu. Kini aku bisa bernafas lega, ibu-ibu merekapun bisa bekerja tanpa khawatir akan keadaan mereka. Bocah-bocah malang itu akan mendapatkan pelayanan yang baik, makanan yang bernutrisi, imunisasi dan faksinasi, pakaian yang bersih dan permainan-permainan yang akan bisa mengembangkan otak mereka menjadi pintar dan cerdas. Aku senang dan bahagia karena akhirnya bisa mewujudkan impian besarku ini. Ini baru satu impian. Masih banyak impian-impian besar lainnya yang kelak ingin aku wujudkan.

Kumiringkan posisi tidurku, dengan posisi tidur seperti ini aku bisa semakin dalam menyelami dunia mimpiku. Aku mulai melangkah pergi meninggalkan bocah-bocah lucu itu dan mempercayakannya kepada para pengasuh yang sudah sangat terampil dan terlatih dalam hal mengurus bayi dan balita. Kuciumi dan kupeluk mereka satu persatu sebelum pergi. Bagi mereka, tentu saja aku bukanlah orang asing yang baru mereka kenal. Mereka telah terbiasa melihat senyum ikhlasku, mereka telah terbiasa merasakan sentuhan tanganku dan mereka telah akrab dengan perasaan gemasku manakala bertatap mata dengan mata jenaka mereka. Dengan damai mereka bergelayut manja di atas pangkuanku. Aku hanya pamit sebentar, itu yang kubisikkan ke telinga mereka. Mereka mengerti, mereka tahu aku pergi untuk membangun mimpi-mimpiku yang lain.

Kukendarai limosinku, kubentangkan sayap-sayapnya hingga tak menapak lagi di jalanan beraspal. Lemusin itu melesat kencang melewati pemandangan yang hingga hari ini terus mengiris dadaku, membuatku tak nafsu untuk menjamah makanan, membuatku terus mensyukuri nikmat yang telah kudapat selama ini. Ini bulan ramadhan, pengemis yang berderet di sepanjang jalan lebih banyak jumlahnya dari bulan-bulan biasa. Masih banyak bayi-bayi dan balita-balita yang dijadikan objek oleh orang tua mereka untuk menarik simpati dari para pengguna jalanan yang melintas di depan mereka. Ironis memang, sebenarnya merekapun tak tega membawa bayi-bayi dan balita mereka, tapi apa daya, hanya dengan cara itu mereka bisa mendapatkan belas kasihan dari orang. Aku bahkan tak bisa memaksa mereka agar mau menitipkan bayi-bayi mereka ke tempat penitipan anak. Bayi-bayi itu adalah alat kerja mereka. Kalau sudah begitu, apa yang bisa aku lakukan? Sebagai seorang ibu, hatiku sangat teriris melihat pemandangan seperti itu. Hanya sebuah pesan yang bisa kutinggalkan untuk mereka agar mereka memperhatikan kesehatan bayi-bayi itu. Aku terus memacu limosinku agar bisa cepat sampai ke tempat tujuan. Dadaku sudah sangat sesak oleh berjuta kesedihan tiap kali melihat pemandangan seperti itu terjadi di depan mataku. Akhirnya limosinku mendarat di sebuah area yang luasnya kira-kira lima hektar. Terik mentari yang memanggang bumi tak menyurutkan para buruh bangunan untuk terus bekerja menyelesaikan bangunan-bangunan yang aku rancang sendiri. Di area ini aku akan mendirikan pusat perdagangan plus rumah-rumah susun dengan fasilitas rumah ibadah dan rumah kreatif. Aku akan peruntukkan semua ini untuk anak-anak jalanan dan para pengemis agar mereka tak lagi berkeliaran di jalan-jalan, tidak lagi tidur di atas trotoar jalan atau trotoar toko dan sebagainya. Mereka semua akan kuberikan usaha yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mereka bisa tinggal di rumah-rumah yang telah kusediakan. Selain itu mereka juga akan kudidik agar menjadi orang-orang yang taat beragama dan bisa menghormati pemeluk agama lain. Akan ada musholla, gereja, juga vihara di area ini. Ruang kreatif bisa dipakai oleh anak-anak agar bakat dan kreativitas mereka terasah dengan baik. Dengan begitu mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang produktif. Hasilnya kelak bisa mereka jadikan sebagai bekal untuk menata masa depan mereka. Selain itu, yang paling penting adalah gedung sekolah. Sekolah ini akan buka sepanjang pagi hingga malam hari. Jadi mereka bisa memilih sendiri kapan waktunya bisa bersekolah. Nantinya pengelolaan area ini akan aku serahkan ke mereka sendiri termasuk biaya-biayanya. Mereka harus memiliki mental hidup yang kuat, tidak melulu bergantung pada pemberian orang lain. Mereka harus menggaji orang untuk menjaga keamanan dan kebersiahn di sini. Semua itu bisa mereka lakukan dengan cara menyisihkan sebagian dari keuntungan berdagang mereka. Aku mau semua kebutuhan yang mereka perlukan bisa mereka temukan di sini. Sehingga perputaran uang mereka tidak kemana-mana. Untuk pembeli, orang dari luar boleh berbelanja di sini tapi para penghuni tetap di sini tidak boleh belanja ke luar kecuali untuk kulakan barang yang akan mereka jual. Karena itu akan aku usahakan jenis usaha yang diperdagangkan di sini adalah semua barang yang menjadi kebutuhan mereka. Mulai dari warung makan, minuman, pakaian, sandal, sepatu, toko kelontong, toko olah raga, toko alat-alat musik, sayur mayur dan sebagainya. Kelak bagi yang sudah berhasil di dalam usahanya harus rela meninggalkan rumah tinggalnya. Hal ini untuk memacu mereka agar bisa memiliki rumah sendiri. Sementara rumah yang selama ini mereka tinggali bisa ditempati oleh penghuni baru. Aku sadar, berapapun rumah yang aku bangun untuk anak-anak dan pengemis jalanan tidaklah akan cukup untuk menampung keberadaan mereka yang ribuan itu. Karena itu, dengan membangun kesadaran dan sikap toleransi di antara mereka, akan tercipta lingkungan yang harmonis, saling tolong menolong dan merasa senasib sepenanggungan. Inilah kerajaan mimpiki. Aku akan menjadi ratu di sini dengan sistim pemerintahan yang demokratis tentu saja. Akan kusejahterakan semua rakyatku, akan kuberikan semua fasilitas pendidikan agar mereka bisa menjadi bangsa yang bermartabat.

Mau tahu darimana aku mendapatkan uang untuk membiaya semua proyekku ini? Suatu malam, dalam kelelahan dan rasa kantukku sepulang dari kerja, aku melihat seorang kakek-kakek melambai-lambaikan tangannya ke arahku dari sebuah rumah yang berada di ujung jalan yang setiap hari aku lewati baik ketika aku mau pergi atau pulang kerja. Aku hentikan langkah kakiku, ku tengok belakang, kanan dan kiriku, tak ada orang lain selain aku. Kakek itu terus melambai-lambaikan tangannya. Aku menunjuk dadaku, mencoba bertanya apakah yang dia panggil itu aku. Kakek itu mengangguk. Segera kulangkahkan kakiku ke arahnya. Kakek itu tersenyum menyeringai. Wajahnya pucat dan kedua biji matanya melosok ke dalam bahkan nyaris tak terlihat kalau dia memiliki biji mata. Meski agak takut kubalas senyumannya. “Ada apa kakek memanggil saya?”, tanyaku sedikit ragu.

Kakek itu menghela nafas, dalam dan tampak sangat berat. Sepertinya ada penderitaan luar biasa yang telah dialaminya selama bertahun-tahun. Jemarinya yang kurus menunjuk ke sebuah tembok. Aku melihat ke tempat yang dia tunjuk. Tak ada apa-apa di tembok itu. Hanya sebuah lukisan buram yang menempel anggun di sana. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku memberinya tanda bahwa aku tak melihat apa-apa di sana. Kakek itu terus menunjuk ke arah tembok itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya membatin mungkin kakek ini bisu. Aku lalu berjalan ke arah tembok itu. Kutunjuk lukisan yang tergantung di situ. “Ini?”, tanyaku. Dia mengangguk. Kuamati lukisan itu. Tiba-tiba lukisan itu seperti bergerak-gerak. Reflek aku melompat mundur. Objek yang ada di dalam lukisan itu terus bergerak-gerak, memainkan sebuah opera dengan cerita tentang sebuah pembunuhan. Aku terbelalak, laki-laki yang terbaring di sana dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya itu wajahnya mirip dengan kakek yang berdiri di belakangku. Kupalingkan wajahku ke arah laki-laki tua itu, tapi hup, jantungku rasanya hampir berhenti berdenyut, laki-laki tua itu tak ada lagi di sana. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah tapi tetap tak kutemui laki-laki tua itu. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kuayunkan langkahku, mencoba berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah itu. Malam berikutnya, kakek itu mendatangiku lagi. Dia mengatakan bahwa seseorang telah membunuhnya dan mengubur mayatnya di dalam tembok di balik lukisan itu. Dia juga bilang, kalau aku bisa menolongnya keluar dari dinding itu dia akan memberiku hadiah yang sangat besar yang akan bisa kugunakan untuk membeli mimpi-mimpiku.

Tahu nggak, hadiah apa yang diberikan oleh kakek itu kepadaku, ketika akhirnya aku bisa menolongnya keluar dari himpitan tembok itu? Uang yang tak terhitung jumlahnya. Tak terhitung. Semua itu diberikan oleh kakek itu untukku. Itulah kenapa akhirnya aku bisa membangun kerajaan mimpiku ini.

Krak....gedubrag.........tubuhku melesek ke sebuah lubang. Aku terbangun dan kulihat dipan tuaku tak kuat lagi menampung tubuh dan kerajaan impianku sehingga patah menjadi dua. Tapi aku tak perduli, aku masih ingin menikmati statusku sebagai ratu di kerajaan mimpiku. Aku umbar senyum kebahagiaan ini. “Untuk rakyatku”, teriakku.

“Ya ampun, mama jatuh”!, pekik anakku sambil tertawa geli. Akhirnya aku tersadar dari alam mimpiku karena pekikan itu. Kupandang anakku dengan rasa haru yang luar biasa. Dalam hati aku mengucapkan beribu-ribu rasa syukur kepada sang pencipta karena bisa memberikan kehidupan yang layak kepada buah hatiku sehingga nasibnya tidak seburuk nasib anak-anak jalanan itu.***********

Depok, 5 September 2008