Rabu, 05 Oktober 2011

AISYAH MENGGUGAT

AISYAH MENGGUGAT...................
Garasi berukuran 4 kali 4 yang sudah beralih fungsi sebagai tempat belajar itu tampak dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bersantap makan siang. Mereka juga sedang menunggu kedatangan sang tuan rumah. Beginilah gambaran yang terjadi setiap tahun di garasi ini sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan. Mereka tak lain adalah orang-orang kampung yang tinggal di sekitar rumah ustadz Mansyur dan istrinya Aisyah. Mereka berkumpul untuk menerima sedekah dari keluarga ustadz Mansyur yang berupa sembako dan uang dengan harapan mereka akan dapat menjalankan ibadah puasa keesokan harinya dengan tenang dan khusyu’ karena sudah memiliki bekal untuk berbuka puasa dan sahur. Sungguh perbuatan yang sangat mulia dan patut untuk ditiru tentunya.
Ustadz Mansyur dan Aisyah masih berusia sangat muda. Mereka menikah empat tahun yang lalu dan sampai sekarang belum dikaruniai anak. Usia mereka kira-kira sekitar tiga puluhan tahun tetapi kiprah mereka di tengah-tengah masyarakat membuat sebagian tetangganya angkat jempol untuk mereka. Karena itu julukan ustadz dan ustadzah yang diberikan oleh tetangga-tetangganya pantas untuk disandangnya karena mereka aktif dalam kegiatan keagamaan dan setiap satu bulan sekali ustadz Mansyur memimpin pengajian di tempat tinggalnya sementara Aisyah mengajar TPA untuk anak-anak tetangganya.
Rupanya pasangan muda ini tidak mau melewatkan datangnya bulan Ramdhan ini tanpa mengisinya dengan berbuat kebaikan. Karena mereka tahu Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda sebagai ganjaran atas ibadah yang dilakukan hambanya pada bulan ini. Pahala bagi amalan sunnah yang kita lakukan pada bulan ini akan sama dengan pahala amalan fardhu yang kita laksanakan di bulan-bulan yang lain dan pahala bagi yang yang melaksanakan amalan fardhu pada bulan ini adalah tujuh puluh kali lipat dibanding bulan-bulan yang lain. Bayangkan, siapa yang tidak tergiur dengan janji Allah yang begitu besarnya itu. Tentu saja Aisyah dan ustadz Mansyur adalah termasuk orang yang ingin mendapatkannya.
Aisyah akhirnya keluar dari dalam rumahnya. Wajahnya tersenyum ramah ketika menyapa orang-orang yang tengah asyik menyantap hidangan makan siang yang telah disiapkannya.
“Apa kabar bapak ibu?, bagaimana masakan saya, enak tidak?”, tanyanya sambil duduk di antara mereka.
“Alhamdulillah baek ustadzah”, jawab mereka hampir berbarengan. Sebenarnya Aisyah keberatan jika dirinya dipanggil ustadzah karena ilmu agama yang dimilikinya tidaklah banyak. Masak hanya karena dia mengajar anak-anak tetangga mengaji terus kemudian dipanggil ustadzah? Suaminya juga mendapat julukan ustadz awalnya hanya guyonan para tetangga saja karena dengan suka rela dia bersedia memimpin pengajian di saat warga yang lain tidak ada yang mau dan akhirnya jadi keterusan deh. Jadi sebenarnya dia dan suaminya adalah ustadz dan ustadzah dadakan. Tapi ya sudahlah, kalau orang-orang kemudian memanggilnya begitu mereka ambil hikmahnya saja dan menjadikannya sebagai tameng agar selalu berperilaku selayaknya seorang ustadz dan ustadzah. Dengan begitu, mereka harus selalu berhati-hati dalam menjaga tingkah laku mereka.
“Wah ya pasti enak lah kalau ustadzah yanga masak mah”, celetuk salah seorang dari mereka.
“Semoga ustadzah dan keluarga juga selalu dalam lindungan Allah subhanallahu ta’ala”, timpal yang lainnya.
“Alhamdulillah, makasih...makasih. Ayo silahkan diteruskan atuh makannya. Santai wae di sini mah ya”, Aisyah mempersilahkan para tamunya untuk meneruskan makan siang mereka.
“Lho, mang Kadir kemana nih kok nggak kelihatan?”, Aisyah bertanya ketika dilihatnya ada yang tidak hadir di antara tamu-tamu langganan tahunannya ini.
“Entu ustadzah, tadi bilangnya sih lagi ngojekin orang ke Kebayoran. Mungkin sore dia baru bisa ke sini”, jawab temannya mang Kadir yang sama-sama berprofesi sebagai tukang ojek.
“Oh.... ya sudah nggak apa-apa, rejeki kan nggak boleh ditolak ya”
Setengah jam kemudian mereka sudah menyelesaikan makan siang mereka. Beberapa ibu-ibu yang hadir ikut membantu PRTnya Aisyah untuk membereskan sisa-sisa makan siang mereka dan membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur.
“Tanpa terasa bulan puasa sudah di depan mata kita ya bapak ibu, alhamdulillah Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertemu Ramadhan tahun ini. Semoga kesempatan itu juga tetap masih diberikan untuk Ramadhan tahun-tahun yang akan datang, amin”, Aisyah mulai membuka pertemuan siang itu dengan sedikit formal.
“Amiin.....”, jawab semuanya.
“Karena itu bapak dan ibu sekalian harus benar-benar menjaga kesehatan, banyak-banyak beribadah biar Allah terus melindungi kita semua.”
“Insya Allah ustadzah”
“Seperti biasanya, saya ingin berbagi sedikit kepada bapak dan ibu, tolong jangan dilihat seberapa besar yang kami berikan tapi yang paling penting adalah keikhlasan kami berbagi dengan bapak dan ibu sekalian, ya?”
“Ya kagak lah ustadzah, justru kami yang ngucapin terimakasih atas kebaikan ustadzah dan keluarga kepada kami”, Babah Amad yang paling tua di antara yang hadir berbicara mewakili yang lainnya.
“Alhamdulillah, kalau begitu biar nggak pada kelamaan ninggalin pekerjaan, saya akan mulai membaginya” Aisyah kemudian mulai membagi bingkisan-bingkisan dan amplop kepada semua yang hadir. Wajahnya terlihat sangat gembira . Aisyah senang bisa menyambut kedatangan Ramadhan dengan berbagi kebahagiaan bersama kaum dhu’afa’ yang ada di sekitarnya. Aisyah berharap bisa melaksanakan ibadah bulan ramadhan tahun ini dengan penuh kekhusukan. Aisyah juga sangat percaya bahwa bulan Ramadhan adalah bulan suci yang di dalamnya sangat banyak sekali pahala dan berkah bagi orang-orang yang melakukan amal shaleh. Aisyah berharap dengan melakukan banyak ibadah dan amal shaleh pada bulan ini, segala harapan dan keinginannya akan dikabulkan oleh Allah Swt. Aisyah sangat ingin masuk sebagai salah satu orang seperti yang disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya “Barang siapa yang menyambut kedatangan Ramadhan dengan penuh kegembiraan maka Allah akan mengharamkan jasadnya menyentuh api neraka”. Alangkah indah dan nikmatnya janji Allah itu, begitu bathin Aisyah.
Usai menerima bingkisan, satu persatu orang-orang yang hadir mohon pamit sambil tak lupa mengucapkan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya dan mendoakan agar Aisyah dan keluarganya selalu diberi rejeki yang melimpah dan berlipat ganda serta selalu dijaga kesehatannya oleh Allah subhanahu wata’ala. Ada pula yang mendo’akan semoga Asiyah segera diberi momongan. Semua do’a yang terlontar Aisyah jawab dengan mengucap amin dan rasa syukur.
Sesuai dengan julukannya yaitu Ramadhan bulan yang suci maka sudah sepatutnyalah seluruh umat muslim menyambutnya dengan kesucian jasmani dan rohani dan kemudian mengisinya dengan mmemperbanyak berbuat kebajikan. Aisyah pun tak ingin ketinggalan dengan moment-moment penting seperti ini. Selain membagi-bagi bingkisan kepada para dhu’afa’, istri ustadz Mansyur ini juga memperbaiki penampilannya. Kalau pada hari-hari biasa kemana-mana hanya mengenakan kerudung panjang atau selendang sebagai penutup kepalanya atau lebih seringnya hanya diselempangkannya di kedua bahunya, mulai hari pertama puasa Aisyah sudah memakai jilbab untuk menutupi seluruh kepalanya. Selama ini suaminya memang tidak pernah memaksa Aisyah untuk mengenakan jilbab atau berbusana muslim lengkap. Karena menurutnya seseorang yang baik tidak dinilai dari caranya berpakaian saja tapi dari akhlak dan juga hatinya. Lagi pula sesuatu yang dipaksakan atau tidak datang dari hati nurani hanyalah pekerjaan yang sia-sia karena tidak akan mendapatkan pahala dari Allah. Tapi meski begitu, Aisyah tidak lantas berbuat seenaknya, dia tetap menghormati suaminya yang seorang ustadz dengan berpakaian sopan dan berperilaku baik kepada orang-orang di sekitarnya. Hampir tidak pernah terdengar ada pertikaian atau perselisihan yang terjadi antara Aisyah dengan tetangga-tetangganya. Ya kalau bergosip ssedikit-sedikit sih nggak apa-apalah, namanya juga manusia tempat ssegala lupa dan khilaf. Itu juga dilakukannya bersama ibu-ibu yang lain dan yang dibicarakannya tak lain adalah kelakuan para selebritis yang kebanyakan tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. ***********
Aisyah melihat angka-angka yang tertera di kalender yang tergantung di salah satu dinding ruang keluarganya. Beberapa kali dia melipat-lipat jemarinya seperti orang yang sedang berhitung. Dahinya yang putihpun berkerut. Tampaknya sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Tanggal berapa ya aku terakhir dapet, kok jadi lupa begini sih” keluhnya sambil mencoba menghitung-hitung kembali.
“Oh iya, waktu itu kalau nggak salah pas ada arisan di rumah bu Rt, hm... arisannya tanggal berapa ya. Aduuh kok jadi pikun begini sih aku”, Aisyah semakin menggerutu karena tak berhasil mencari kepastian tanggal dia mendapat haid terakhir kalinya.
“Lagi ngapain sih yang, kok sejak tadi aku perhatikan kamu ngomong-ngomong sendiri”, ustadz Mansyur yang baru selesai shalat maghrib menghampirinya.
“Eh mas ingat nggak kapan aku terakhir dapet?”
“Dapet apaan?”
“Ih... haid maksudku, gitu aja nggak paham sih”
“Lagian ngomong kok nggak jelas, kan bisa jadi dapet arisan atau dapet giliran kasih kopi ke satpam, mana aku tahu dapet yang kamu maksud adalah itu. Hm... kalau itu sih aku inget doong he..he...”
“Ih dasar, kalau masalah itu aja selalu inget”, Aisyah mencubit lengan suaminya yang mencoba menggodanya.
“Ya iya dong, wajib diingat kalau urusan yang satu itu. Waktu itu malam sabtu, sehari setelah malam jum’at, jadi setelah kita melaksanakan sunnah Rasul untuk membunuh orang –orang kafir he..he....”
“Oh iya he....he... terus besoknya ada arisan di rumah Bu Rt. Baru inget deh sekarang, makasih ya mas”
“Biasanya nggak pernah dihitung gitu, memang mau ngapain?”, suaminya bertanya penasaran.
“Besok kan bulan puasa mas, bulan penuh berkah dan ampunan. Malaikat jibril akan sering turun untuk membagi-bagikan rejeki kepada orang yang selalu berbuat baik dan rajin beribadah di bulan puasa. Siapa tahu kalau kita memohon sesuatu kepada Allah, permohonan kita akan dikabulkan, iya kan?”
“Iya, tapi jangan sampai niat puasanya karena mengharap berkah dari Allah, nanti nggak dapat pahala syurga”, tukas ustadz Mansyur.
“Insya Allah nggak mas, puasa tahun ini pokoknya aku ingin benar-benar puasa yang diridhoi oleh Allah supaya aku menjadi orang yang beruntung, bisa mendapatkan kemulyaan bulan ini. Aduh, sampai lupa deh mau menghitung kapan kira-kira aku akan mendapatkan kembali haid bulan ini. Sudah sana mas makan duluan nanti aku menyusul. Kita kan harus ke masjid untuk tarawih” Aisyah mendorong lembut tubuh suaminya sambil senyum-senyum dan setelah suaminya meninggalkannya dia pun kembali menatap kalender dan melingkari satu angka yang ada di sana. Kemudian dia mulai mencocokkan angka itu dengan kalender Ramadhan. Sesaat wajah Aisyah tampak kecewa dan sedih.
“Ya Allah, aku mohon beri aku kesempatan untuk mendapatkannya?”, bisiknya sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
“Yang.... lama banget sih ngitung-ngitung tanggalnya, ayo makan dulu, itung-itungannya nanti dilanjutkan ba’da tarawih aja”, ustadz mansyur terdengar berteriak dari ruang makan.
“Iya... iya... sebentar lagi mas, nih aku sudah jalan nih”, Aisyah menjawab dengan berteriak pula sambil kakinya melangkah menyusul suaminya ke ruang makan.
“Lho, mas sudah selesai ya makannya?’, tanya Aisyah ketika dilihatnya piring suaminya sudah kosong.
“Belum dong, ini baru mau ronde kedua, nunggu kamu biar makannya bareng”, jawab ustadz Mansyur sambil menyendok nasi ke piringnya.
“Aku lagi males makan”, Aisyah berkata sambil duduk di samping suaminya.
“Kenapa? Nanti sakit lho. Besok kan kita mulai puasa jadi harus menjaga kesehatan biar puasanya lancar”
“Saya berharap bulan ini tidak mendapatkan haid mas.................”
“Sabar yang..... kita percayakan semuanya pada Allah. Kalau sampai sekarang ktia belum mendapatkannya, mungkin Allah melihat kita belum siap untuk menerima amanat itu. Yang penting usaha kita harus terus ditingkatkan selain berdoa, gimana?”, ustadz Mansyur mengerlingkan matanya dengan genit ke arah Aisyah.
Aisyah tersenyum mendengar apa yang diucapkan suaminya. Hatinya bagai tersiram es dan dia meyakini kebenaran ucapan suaminya itu. Harus terus meningkatkan usaha dan terus berdoa. Dalam hati Aisyah berjanji untuk melewati Ramadhan kali ini dengan memperbanyak amal ibadah dan berbuat kebajikan dan memperbanyak berdoa tentunya.
“Betul mas, usaha dan doa itu yang penting. Insya Allah Ramadhan kali ini membawa banyak berkah buat kita, amin”, ujar Aisyah. Dia jadi menemukan kembali semangat makannya. Dipenuhinya piringnya dengan nasi beberapa lauk lalu memakannya dengan lahap.*****************
“Mas, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan nanti aku dan ibu-ibu komplek mau melakukan i’tikaf di Masjid Agung, bolehkan mas?” Aisyah meminta ijin kepada suaminya ketika mereka sedang sama-sama berbuka puasa sore itu.
“Ya boleh dong, masak istri mau beribadah dilarang sih”, jawab ustadz Mansyur.
“Pokoknya nanti sebelum berangkat, aku akan siapkan semua keperluan sahur mas, mas tinggal menghangatkannya saja”
“Terus kamu sendiri nanti sahur di mana?”
“Ibu-ibu bilang sih pada mau bawa bekal mas, atau bisa juga membelinya di warung-warung tenda yang ada di dekat masjid Agung. Gampanglah kalau urusan itu, nggak sahur juga nggak apa-apa kok”
“Hm.... beneran nih, nggak bakal kenapa-kenapa kalau nggak sahur? Nanti baru tengah hari udah klepek-klepek dan bilang lapar”, ledek ustadz Mansyur
“Ha.... ha...... tahu aja sih kalau istrinya suka nggak tahan lapar”, Aisyah tertawa senang diledek seperti itu. Itu memang salah satu kelemahannya, susah menahan lapar. Pernah suatu ketika dalam candaannya di depan teman-temannya dia berkata “Ya Allah, aku mau deh menjalankan ibadah apa saja asalkan jangan kau suruh aku berpuasa”. “Enak banget permintaanmu itu Syah”, komentar salah satu temannya waktu itu.
“Kenapa kita disunnahkan untuk sahur sebelum berpuasa, karena sahur itulah yang membedakan puasa kita dengan puasanya orang Yahudi, seperti yang Rasulullah katakan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim. Sahurnya orang yang mau melaksanakan puasa juga penuh dengan berkah Allah. Itu juga yang dikatakan Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Karena itu sahur meskipun sunnah sangat dianjurkan untuk dilakukan. Katanya kamu mau mendapatkan berkah Ramadhan, jadi ya jangan pernah untuk tidak sahur”, ustadz Mansyur kembali menasehati istrinya.
“Iya..iya mas, aku akan sahur, jangan khawatir”
“Ya sudah, ayo lekas habiskan kolaknya, mas tunggu di kamar shalat ya untuk melaksanakan shalat maghrib”
“Oke bos, siap laksanakan”, Aisyah lalu memasukkan sendokan terakhir kolak ke dalam mulutnya. Setelah meneguk sisa teh manisnya dia buru-buru ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan kemudian menyusul suaminya untuk bersama-sama melakukan shalat maghrib berjama’ah. Sekilas sudah terbayang di pelupuk matanya sop buntut yang bakal menjadi menu makannya malam ini. Namun begitu tangannya terangkat untuk melakukan takbiratul ihram, semua urusan dunia sirna dari ingatannya, yang ada tinggal dirinya dengan sang pencipta.***************
Tak terasa Ramadhan telah memasuki sepertiga dari keseluruhan waktunya. Semangat para muslimin dan muslimat kembali dibangkitkan bila datang sepuluh malam terakhir. Itu karena di antara sepuluh malam terakhir itu Allah telah membuat satu malam yang disebut malam penuh kemulyaan di mana pada malam itulah pertama kali diturunkan al-Qur’an, kitab suci yang merupakan pedoman bagi seluruh umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya dan pada malam itu pula turun para malaikat untuk mengatur segala urusan. Pada malam penuh kemulyaan itu dianjurkan kepada seluruh umat muslim untuk menghidupkan malam itu dengan memperbanyak amalan ibadahnya, seperti melakukan shalat malam, bertadarus membaca al-Qur’an, berdzikir dan ibadah-ibadah lainnya.
Aisyah sangat optimis kali ini Allah juga bakal mengabulkan keinginannya sebagaimana yang sudah-sudah. Selama ini dia tak pernah berhenti untuk berbuat kebaikan dan menjalankan amal ibadah-amal ibadah lainnya. Tiap selesai shalat Aisyah selalu tak lupa untuik berdzikir dan menyempatkan diri untuk membaca al-Qur’an, tak heran jika saat ini dia sudah hampir mengkhatamkan seluruh isi al-Qur’an, tiap malam Aisyah juga melakukan qiyamullail sebelum menutupnya dengan shalat witir. Aisyah juga selalu menyisihkan sebagian makanan berbuka puasanya untuk tetangga-tetangganya yang kurang beruntung, dia juga sudah mengurangi porsi mengobrol dengan para tetangga membicaakan gosip-gosip terkini dari para selebritis. Pokoknya hampir seluruh waktunya di bulan puasa ini Aisyah habiskan untuk melakukan amalan yang baik.
Sambil bernyanyi gembira Aisyah menata masakannya di meja makan. Ada kolak, setiap hari kolak ini tidak boleh tidak ada karena ustadz Mansyur sangat menyukai ta’jilan yang satu ini. Kemudian ada opor ayam, tahu dan tempe goreng dan tak ketinggalan pula kerupuk dan sambal terasinya. Teh hangat manispun sudah tersedia di teko kecil berdekatan dengan kotak berisi buah kurma. Setelah selesai menata semua masakan di meja, Aisyah kemudian mengambil rantang yang sudah diisinya dengan beragam lauk untuk diantarkannya ke rumah mak Onah, seorang janda tua yang hidup sebatang kara dan tinggal tidak terlalu jauh dari rumah Aisyah. Keseharian mak Onah berjualan nasi uduk, dulu Aisyah dan suaminya pulalah yang memberinya modal untuk berjualan nasi uduk.
Di depan pintu pagar Aisyah bertemu dengan ustadz Mansyur yang baru saja pulang dari bekerja. “Aku mengantar bukaan dulu ke rumah mak Onah mas”, pamitnya pada suaminya.
“Iya, nggak usah ngobrol terlalu lama ya, sebentar lagi kan maghrib”
“Insya Allah, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”, jawab ustadz Mansyur.
Aisyah menepati janjinya, selang sepuluh menit kemudian dia sudah berada kembali di rumah. Dilihatnya sang suami sedang mendengarkan kultum menjelang buka puasa di salah satu TV swasta.
“Mas, nanti malam aku dan ibu-ibu akan mulai melakukan i’tikaf”, ucapnya dengan wajah berseri-seri.
“Biasa aja kelle, gembira banget sih”
Aisyah tersenyum lebar. Dia gembira karena mengira Allah telah mengabulkan doanya. Buktinya sampai detik ini belum ada tanda-tanda dia bakal kedatangan tamu bulanannya. Biasanya kan sehari atau dua hari menjelang haid, payudaranya sudah terasa kencang dan sakit.
“Ya senang lah, karena Allah mengabulkan doaku”, celotehnya.
“Jangan takabur begitu, nggak baik”, suaminya menasehatinya.
“Lho bukan takabur mas, tapi bersyukur. Memangnya mas nggak ikutan seneng kalau doa istrinya dikabulkan Allah?”, wajah Aisyah sedikit merengut.
“Ya senang lah, apalagi kalau lihat wajah kamu yang lagi merengut begitu, aku bersyukur sekali karena telah diberi seorang istri yang meskipun sedang merengut masih saja tetap terlihat cantik”
“Ih..... mas senangnya menggoda deh”, Aisyah memukul pundak suaminya kemudian memeluknya mesra.
“Eit.... awas lho nanti batal puasa kita. Nanti aja habis buka puasa ya, kita buka yang lain juga, ha..ha..”
“Uh, maunya. Maaf ya ustadz Mansyur, malam ini saya tidak bisa karena saya punya janji dengan pacar saya yang lain”, gantian Aisyah yang menggoda suaminya.
“Eh udah adzan nih, yuk kita buka puasa”, sambil berdiri Aisyah menggandeng suaminya dan berjalan menuju ruang makan.
Selesai berbuka puasa dengan makanan yang ringan-ringan Aisyah dan ustadz Mansyur biasanya akan melaksanakan shalat maghrib terlebih dadulu, setelah itu mereka akan kembali meneruskannya dengan makan malam. Tapi sore ini terpaksa ustadz Mansyur harus shalat seorang diri karena sesuatu hal telah terjadi pada Aisyah
“Lho, wajahmu kenapa yang.. kok kayak orang habis kehilangan sesuatu aja?”, tanya ustadz Mansyur ketika dilihatnya wajah Aisyah tampak sedih sekali begitu keluar dari kamar mandi.
“Allah nggak adil sama aku mas”
“Astaghfirullahal adziim, istighfar yang... bagaimana kamu bisa punya pikiran seperti itu?”
“Sudah lama aku mendambakannya tapi tak pernah dikabulkannya. Tahun lalu kejadiannya juga sama seperti ini”
“Memangnya apa yang kamu dambakan? Dosa lho kalau kamu sampai menyepelekan Allah”
“Sama seperti umat muslim yang lain, aku juga ingin bisa mengalami malam istimewa itu mas, malam yang datangnya cuma satu tahun sekali dan adanya hanya di bulan Ramadhan. Apa karena aku perempuan maka tidak diprioritaskan. Apa salah kalau aku menggugat Allah dan menganggapnya telah berlaku tidak adil?”
“Masya Allah.... bicaramu semakin ngawur saja, ayo kita shalat dan minta ampun sama Allah”, ustadz Mansyur menarik tangan istrinya untuk diajak shalat berjama’ah.
“Aku nggak bisa, aku dapat haid. Aku juga nggak akan bisa melakukan i’tikaf, nggak akan bisa memaksimalkan ibadahku di sepuluh malam terakhir ini, lewat sudah kesempatanku untuk mendapatkan malam itu”, Aisyah menghentakkan tangannya dengan marah.
“Oh.... jadi ini tho yang jadi penyebabnya. Tunggu di sini ya, nanti kita bicara lagi setelah aku selesai shalat”, ustadz Mansyur kemudian meninggalkan Aisyah dengan gelengan kepala. Aisyah yang sedang marah pada dirinya sendiri membuang muka, apalagi ditambah sikap suaminya yang bukannya ikut prihatin tapi justru malah menyalahkannya, membuatnya semakin marah.
Usai shalat, ustadz Mansyur mengajak istrinya duduk di ruang keluarga. Dari mulutnya mengalirlah nasehat-nasehat untuk istrinya yang sedang marah dan kecewa pada Allah.
“Pertama, sikap kamu yang marah pada Allah itu sangatlah tidak terpuji dan tidak mencerminkan sebagai seorang muslimah yang baik . Kamu tahu kan, Allah itu Maha tahu akan apa yang akan dan sudah diperbuatnya. Kalau memang sudah waktunya bagi kamu haid, ya seharusnya kamu bersyukur dong, itu artinya kamu adalah seorang perempuan yang sehat dan dianugerahi kesempatan untuk memiliki keturunan. Coba kalau kamu tidak bisa haid mungkin akan bersarang berbagai penyakit di rahimmu”
“Tapi buktinya sudah empat tahun aku belum juga hamil mas, apa itu yang dimaksud adil?”, Aisyah memotong perkataan suaminya.
“Itu hanya masalah waktu, kita sudah periksa dan dokter bilang kita baik-baik saja, iyakan? Insya Allah, Allah punya rencana lain yang lebih bagus untuk kita. Kedua, kalau kamu memanggap Allah tidak adil, berarti kamu tidak lagi mempercayai al-Qur’an. Coba kamu baca dan pahami baik-baik apa yang Allah katakan di sana. Allah mengatakan bahwa semua manusia itu di hadapan Allah sama kedudukannya, kecuali taqwa yang membedakan. Ketiga, kalau yang kamu maksud dengan malam istimewa itu adalah malam lailatul qadr, dan perempuan yang dalam keadaan haid tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkannya, kamu juga salah besar. Allah memperuntukkan malam lailatul qadr itu buat semua umat muslim, baik laki-laki dan perempuan. Caranya, yaitu dengan memperbanyak amal ibadah. Shalat malam, tadarusan, berdzikir dan ibadah-badah lainnya”
“Justru itu mas, sekarang aku tidak lagi bisa melakukan semua itu karena terhalang haid. Padahal menurut hadits Rasulullah, ibadah yang paling utama untuk mendapatkan malam lailatul qdar adalah shalat malam”, Aisyah kembali memotong ucapan suaminya.
“Seperti yang aku katakan tadi sayang, Allah itu Maha Adil, siapa saja dan dalam keadaan apapun juga jika Allah berkenan menerima amal ibadahnya, maka dia berkesempatan untuk mendapatkan berkah lailatul qadr. Jadi jangan khawatir. Kalau kamu sedang haid, kamu maasih bisa membaca al-qur’an dengan tanpa menyentuhnya. Kamu bisa memperbanyak zikir, memperbanyak istighfar dan juga memperbanyak berdoa. Allah kan sudah tahu kamu hobby sekali berbuat amal shaleh, itu juga bisa menjadi bekal untuk mendapatkan berkah lailatul qadr. Jadi nggak ada alasan untuk marah dan menganggap Allah itu tidak adil. Ayo sekarang lakukan istighfar sebanyak-banyaknya”, Ustadz Mansyur meraih tangan Aisyah dan mengelus punggung tangan perempuan itu.
“Astaghfirullahal adziim..... ampuni dosaku ya Allah, yang telah bersu’udhon kepadamu”, tanpa malu-malu Aisyah menangis di hadapan suaminya.
“Maafkan istrimu yang bodoh ini mas”, Aisyah menyandarkan kepalanya di bahu ustadz Mansyur. Samar-samar terdengar suara dari dalam perut suaminya itu.
“Ih.... kamu lapar ya, ayo aku temani makan”, Aisyah berkata sambil mencubit perut suaminya.
“Bayaran untuk ustadz pribadi ya nggak cuma ditemani makan saja dong”, ustadz Mansyur berkata sambil nyengir kuda.
“Maksud lloh?”
“Biasanya kalau hari pertama cuma noktah-noktah aja kan yang keluar?”
“Ihh..... amit-amit deh, ustadz kok kelakuannya genit begini, meski baru noktah-noktah tetap nggak boleh”, Aisyah kemudian menghambur ke pelukan suaminya. Mereka beriringan menuju ruang makan. Dan malam itu tampak Aisyah tak henti-hentinya berdzikir dan memuji nama Allah serta memanjatkan doa agar hatinya selalu terjaga dari segala buruk sangka terutama berburuk sangka kepada Allah subhanahuwata’ala.

Berlin, akhir Ramadhan 1431 H/ 2010 M

Tidak ada komentar: