Senin, 12 Mei 2008



JANGAN BERI BUNDA BUNGA

by : Diah Rofika

Budi dan Guntoro sudah berteman sejak awal mereka kuliah. Mereka dulu satu kelompok dalam kegiatan ospek. Persahabatan itu terus berjalan baik hingga kini bahkan mereka sudah seperti saudara. Guntoro sudah tidak mempunyai ibu, tapi dia telah menganggap ibunya Budi sebagai pengganti ibunya yang telah pergi ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama. Keluarga Budi pun sudah menganggap Guntoro dan Laras adiknya seperti keluarga mereka sendiri. Orang tua Budi menyayangi Guntoro dan adiknya seperti mereka menyayangi anak-anak mereka sendiri. Karena itu wajar ketika Budi mengutarakan maksudnya untuk membuat suatu pesta kecil untuk ulang tahun ibunya, Guntoro langsung setuju dan dengan sepenuh hati memberi dukungan terhadap rencana Budi itu.

“Kita harus membuat konsep yang bagus untuk acara itu”, Guntoro membuka percakapan saat mereka tengah berkumpul di kampus.

“Oh iya dong dan ini harus kita rahasiakan. Kita akan buat kejutan untuk para perempuan perkasa yang telah melahirkan kita itu”, Budi menimpali.

“Agnes, kamu punya usul nggak untuk acara kami?, kamu kan perempuan. Jadi pasti tahu dong pesta seperti apa yang disukai oleh perempuan”

“Tergantung dong. Meski kami sama-sama perempuan, tapi ibu-ibu dan remaja pasti punya selera yang berbeda”

“Ya kalau bisa sih pesta remaja yang disukai oleh ibu-ibu gitu. Dengan begitu kita yang jadi panitia kan nggak bete-bete amat, iya nggak?”

“Iya betul”.

“Ya udah, nanti gue coba pikirin deh. Kali aja nyokap gue bisa bantu. Kebetulan tanteku kan juga sering jadi EO di pesta-pesta gitu deh. Pokoknya kalau elo butuh perlengkapan pesta sampai catering dan hiasan ruangan, gue bisa bilang ke tante gue itu”

“Tapi ini kan cuma pesta kecil aja Nes”

“Justru karena pesta kecil makanya harus dibikin meriah”

“Kira-kira berapa biaya nyewa tante loe itu”

“Udah tenang aja, gue nanti yang bakal ngelobi dia. Kita bisa minta paket yang paling murah tapi hasil memuaskan”

“Ya udah terserah elo aja deh. Tapi elo harus tetap jaga rahasia kita ini ya”

“Tenang aja, lagian kan nyokap gue nggak begitu akrab sama nyokap elo”

“Sip deh kalau gitu”

“Oh iya, udah siang nih, aku cabut duluan ya”, Agnes pamit pada Budi dan Guntoro”

“Oke, kita juga mau cabut kok. Eh tapi kapan kita bisa dapat kabarnya?”

“Besok. Nanti malam gue baru bisa telpon tante gue. Biasa, dia tuh super sibuk orangnya”

“ Thanks ya Nes udah mau bantuin kita”. Agnes menjawab dengan senyuman. Lalu dia berjalan meninggalkan kedua sahabatnya itu.

“Gun, kita cari makan aja yuk, perut ku udah lapar nih”

“Ayo deh, siapa tahu sambil makan nanti kita nemuin ide”

Sambil berboncengan motor Budi dan Guntoro menuju warung tempat mereka biasa makan siang meninggalkan debu yang berterbangan diterjang roda-roda motor mereka.

*******************

Awan berwarna biru terang ketika Budi, Guntoro dan Agnes berkumpul di pinggir lapangan seusai bermain basket.

“Gimana ide gue, bisa diterima nggak?” Agnes membuka percakapan.

“Bagus, ide loe bagus banget. guwe setuju. Gimana menurut loe Gun?”

“Hmm bagus, tapi sebaiknya nggak perlu kebanyakan bunga deh. Apalagi sampai bokap loe kasih hadiah bunga segala. Kuno tahu, ibu-ibu sekarang mah lebih seneng dikasih cincin berlian, kalung dengan liontin batu permata, pokoknya jangan bunga lah. Guwe nggak setuju banget. Istri kok dihargai hanya dengan seikat bunga”

“Ini kan simbolik aja man. Biar kesannya romantis. Perempuan kan biasanya penyuka bunga”

Guntoro terdiam. Setiap kali mendengar kata bunga yang terbayang di ingatannya adalah kenangan pahit tentang ibundanya tercinta yang telah meninggal beberapa tahun silam. Masih tergambar jelas dalam ingatannya peristiwa-peristiwa menyakitkan yang terjadi di dalam keluarganya. Ayah Guntoro seorang pengusaha sukses, meski modal didapat dari warisan yang ditinggalkan oleh orang tua istrinya. Awalnya ayah, Bunda, dirinya dan juga Laras hidup dalam kebahagiaan. Sampai pada suatu ketika datang sepucuk surat yang mengabarkan bahwa ayah mempunyai perempuan lain. Bunda tidak begitu saja langsung percaya, justru Bunda curiga jangan-jangan surat itu dikirim oleh lawan bisnis ayah untuk menghancurkan keutuhan keluarganya. Surat itu lalu Bunda sampaikan kepada ayah. Saat itu Guntoro masih duduk di bangku SMP, tapi dia sudah bisa menilai ekspresi seseorang dari hanya dengan melihat wajah atau sorot mata orang itu. Dia sempat melihat ayahnya terkejut sesaat dan wajahnya sedikit pasi ketika membaca surat itu. Ayah lalu berkata dengan suara pelan, “pastilah itu pekerjaan orang-orang yang iri terhadap kesuksesan usaha kita”. Kemudian tangannya merangkul pundak Bunda dengan mesra dan Bunda percaya.

Keesokan harinya ayah mengirim karangan bunga mawar segar untuk Bunda. Bunda tampak senang dan bahagia dengan kiriman ayah itu. Begitu juga Guntoro dan Laras, mereka percaya ayah tidak mungkin berbuat jahat kepada Bunda. Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat, beberapa hari kemudian di suatu malam, ayah pulang kerja dengan wajah merah menahan marah. Suara teriakannya memanggil Bunda menggema memenuhi semua sudut rumah. Guntoro dan Laras turut terkejut dibuatnya. Dengan tergopoh-gopoh Bunda datang menghampiri ayah dan plak... satu tamparan keras mendarat di pipi halus Bunda. Bunda tersungkur ke lantai sambil memegangi pipinya yang memerah. Guntoro yang melihat kejadian itu lalu berlari menghampiri Bunda dan menolongnya berdiri sementara Laras menangis histeris dan lari masuk ke kamarnya.

“Ayah ini kenapa, apa salah Bunda?”, teriak Guntoro saat itu. Seperti tidak mendengar teriakan Guntoro, ayah kemudian berlalu menuju ruang kerjanya. Wajah Guntoro merah menahan marah tetapi Bunda justru menenangkannya.

“Sudah nak, mungkin ayah lagi banyak masalah di kantor. Sudah, Bunda nggak apa-apa kok”, suara lembut Bunda meredakan emosi yang saat itu membara di hati Guntoro.

Sejak peristiwa malam itu ayah menjadi jarang pulang dengan alasan sibuk mengurus bisnis di luar kota. Perhatian ayah kepada keluarga juga berkurang dan ayah lebih sering bersikap kasar kepada Bunda. Tak seorangpun yang tahu mengapa ayah berubah seperti itu. Tiap kali habis berbuat kasar ayah selalu mengirimi Bunda bunga sebagai permintaan maafnya dan Bunda selalu memaafkannya.

“Gun, loe kenapa, kok diajak ngomong malah bengong gitu sih”, teguran Budi membuyarkan lamunan Guntoro.

“Eh nggak, nggak apa-apa. Sori, guwe cuma teringat nyokap guwe aja kok”

“Sori ya Gun, nyokap loe pasti senang di sana karena loe selalu mengingatnya. Tapi loe kan punya nyokap lain yang nggak kalah sayangnya sama nyokap kandung loe”

“Iya Gun. Guwe aja iri lihat sikap nyokapnya Budi ke elo”

“Tuh kan, Agnes yang orang lain aja iri, gimana guwe yang anak kandungnya sendiri. Habis sih Guntoro itu sok jaim gitu deh kalau di depan nyokap guwe. Kagak kayak guwe yang ngejablak aja”

“Enak aja loe. Emang dasarnya guwe tuh anak baik. Kagak kayak loe”

“Ha...ha...ha.....”, ketiganya tertawa terbahak. Seketika kesedihan di hati guntoro hilang.

*******

Budi membeli rangkaian mawar putih di sebuah toko bunga untuk keperluan pesta besok. “Ini mawar putih kesukaan nyokap”, waktu nyokap elu masih ada, bunga apa yang beliau sukai?” tanyanya kepada Guntoro sambil menjalankan mobil.

Guntoro tak menjawab.

“Heh, kok diam aja sih, ingat lagi sama nyokap loe? Harusnya tuh mengenang apa yang disukai beliau waktu masih hidup itu bikin elo jadi senang”

“Hm, semua jenis bunga nyokap guwe suka” akhirnya guntoro menjawab. “Dia sangat suka berkebun dan menanam bunga. Tapi tragisnya, bunga juga yang bikin nyokap pergi ninggalin guwe dan Laras”.

“Maksudnya nyokap elu keracunan bunga?”

“Bisa dibilang begitu, tapi sudahlah terlalu sakit buat guwe kalau inget kejadiannya”.

“Sory deh, guwe nggak bermaksud membangkitkan kenangan pahit masa lalu elu ”. Budi jadi paham kenapa selama ini Guntoro hampir tidak pernah menceritakan masa lalu keluarganya. Dia hanya bercerita tentang Laras dan kehidupan mereka sekarang.

“Nggak apa-apa”, jawab Guntoro sambil mengingat kembali saat-saat terakhir bersama Bundanya. Malam itu, Bunda, dirinya dan Laras tengah bersantai menonton acara televisi setelah melaksanakan shalat Isya bersama. Kebetulan ayah sedang dinas keluar kota. Bel di ruang tamu berbunyi, berarti ada tamu di luar sana. Bunda, Guntoro dan Laras saling pandang, mengira-ngira siapa tamu yang datang malam-malam begini. Bunda segera beranjak untuk membuka pintu. Tubuhnya yang kurus dan pucat terlihat jelas saat dia berjalan.

Bunda kembali dengan membawa satu rangkaian bunga di tangannya. Matanya yang cekung mengamati tulisan di kartu yang tergantung di salah satu sisi bunga. Dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Pengirimnya sih betul ayah, tapi bukan untuk Bunda, juga bukan untuk kalian”, ucap Bunda.

“Lalu untuk siapa dong, mungkin Bunda salah baca”, ujar Laras.

“Mana mungkin Bunda salah baca, jelas di sini tertulis “buat Dik Sri tersayang, dari mas Danu”, jelas Bunda lagi

Belum hilang kebingungan Bunda, datang seorang perempuan muda ingin bertemu Bunda. Dari caranya berpakaian, sepertinya perempuan itu sedang hamil.

Bunda lalu mempersilahkan perempuan itu duduk. Mulailah mereka bercakap-cakap. Perempuan itu bernama Sri. Dia mengaku sudah satu tahun ini menjadi istri simpanan pak Danu, dan saat ini sedang mengandung anak pak Danu. Hampir satu bulan ini pak Danu tidak pernah mengunjunginya bahkan kalau ditelpon ke handphonenya yang menerima suara perempuan dan selalu mengatakan pak Danu sedang tidak berada di tempat.

Suasana di ruang tamu menjadi hening, tapi kemudian terdengar perempuan muda itu berteriak minta tolong. Guntoro dan Laras yang mendengar teriakan itu menjadi terkejut, lalu mereka bergegas lari ke ruang tamu. Mereka melihat Bunda terkulai lemas di atas sofa.

“Bu Danu tiba-tiba pingsan”, perempuan muda itu berkata dengan terbata-bata. Matanya tampak memerah menahan tangis. Laras segera menelpon dokter keluarga mereka. Dokter keluarga yang datang untuk memeriksa mengatakan bahwa Bunda tidak pingsan tetapi meninggal.

Guntoro tidak pernah mengira kalau Bundanya begitu cepat pergi. Jantung Bunda tidak kuat menahan rasa terkejutnya mendengar suami yang selama ini selalu menunjukkan rasa sayang dan cintanya ternyata telah lama mengkhianatinya. Guntoro lalu menuduh ayahnyalah yang telah menyebabkan Bundanya pergi. Kalau saja ayah tidak salah mengirimi Bunda bunga, kalau saja ayah tidak berselingkuh, pastilah sampai saat ini Bunda masih bersamanya.

“Hmm... ngelamun lagi deh. Kalau tahu pesta ini bakal bikin elo sedih begini, mending kita batalin aja deh”

“Eh jangan...jangan. Sori guwe agak sedikit sentimentil. Pesta ini harus tetap dilaksanakan. Elo harus bisa ngebahagiain nyokap loe. Mumpung kesempatan itu masih ada. Nanti loe yang nyesel sendiri. Habis kan baru tahun ini kita jadi panitianya. Biasanya kan nyokap loe sendiri yang buat pesta”

“Nah gitu dong. Tapi Gun, guwe mau tanya sedikit, tapi loe jangan marah ya”

“Ya tergantung pertanyaannya dong”

“Tuh kan”

“Iya, iya. Mau tanya apa sih”

“Begini, kita ini kan udah kayak saudara sendiri. Orang tua guwe udah nganggap elo kayak anak sendiri. Sebenarnya apa sih yang menyebabkan nyokap loe meninggal? Hm...tapi kalau loe nggak mau nyeritain sih nggak apa-apa”

“Sebenarnya bukan guwe nggak mau cerita, tapi setiap kali guwe ingat peristiwa itu, hati guwe langsung sakit”. Akhirnya Guntoro menceritakan kisah masa lalu keluarganya. Budi yang mendengar cerita itu nyaris nggak percaya kalau ayahnya Guntoro tega menyakiti istrinya yang telah bebuat banyak untuk dirinya terutama untuk karirnya.

“Pantaslah kalau elo merasa sakit hati sama bokap elo. Tapi kan sekarang bokap elo udah dapat balasannya”

“Iya sih. Tapi guwe sama Laras belum bisa maafin dia”

“Nggak apa-apa. Tapi suatu saat elo harus bisa maafin dia. Biar bagaimanapun dia itu bokap elo. Suatu saat elo berdua pasti bakal ngebutuhin dia”

Percakapan mereka terhenti ketika mobil mereka sudah sampai di pekarangan rumah Budi. Dengan berjingkat-jingkat mereka masuk ke dalam rumah membawa sekeranjang bunga. Mereka takut nyokap mengetahui kedatangan mereka.

*******************

Pagi itu, Nita kakaknya Budi memaksa mamanya untuk menemaninya belanja ke supermarket. Padahal perempuan setengah baya itu sedang malas untuk keluar rumah. Tapi karena itu adalah bagian dari rencana mereka, maka Nita harus bisa mengeluarkan mamanya dari rumah pagi itu.

Tak lama setelah mamanya pergi, sebuah mobil box yang membawa peralatan pesta datang. Mereka segera menyulap ruang keluarga menjadi ruang pesta lengkap dengan hiasan dan peralatan catteringnya. Dalam waktu kurang lebih dari dua jam, persiapan untuk pestapun selesai. Makanan dan minuman aneka rupa sudah terhidang dengan rapi. Ketika pada siang hari Nita dan nyokapnya datang, perempuan setengah baya itu merasa sangat bahagia. Apalagi ketika dia membaca tulisan di spanduk “SELAMAT ULANG TAHUN PAHLAWAN RUMAH TANGGA, KAMI BANGGA PADAMU”

Seketika capek dan lelah yang dirasakannya bertahun-tahun sirna begitu saja. Pengorbanannya tidak sia-sia untuk tetap memilih menjadi ibu rumah tangga.

“Terimakasih, terimakasih” perempuan itu berkata dengan mata berkaca-kaca.

“Untuk menunjukkan jati dirinya, seorang perempuan tidak harus bekerja di luar rumah. Karena memanfaatkan pendidikan yang telah di dapat bisa di mana saja termasuk di dalam rumah. Mendidik anak adalah tugas yang sangat mulia. Ibu kami telah membuktikannya pada kita semua. Kami persembahkan pesta hari ini untuk Ibunda DR. Suparni, Spd”, tepuk tangan memenuhi ruangan begitu Guntoro selesai membacakan narasinya. Suasana haru bercampur gembira mewarnai pesta siang itu. **********

Tidak ada komentar: