Senin, 12 Mei 2008

PAUSE




PAUSE
by: Diah Rofika

“Jadi keputusanmu sudah bulat untuk keluar dari kantormu? Nggak nyesel ? Aku sih senang kamu di rumah tapi lama-lama bisa jenuh lho.”, Anto mengirimkan pertanyaan itu lewat sms. Kujawab iya meski dengan perasaan masygul. Aku hafal sekali sifat Anto. Sepuluh tahun berumah tangga dengannya ditambah masa pacaran 4 tahun cukup bagi kami untuk saling mengerti sifat masing-masing. Sekilas orang yang membaca sms itu pastilah mengira Anto adalah orang yang perhatian dan memberi kebebasan terhadap istri. Tapi bagi aku yang sudah sangat mengenal pribadinya, sebenarnya sms itu lebih menyiratkan tentang kekecewaannya. Dia lebih suka jika aku bekerja, punya penghasilan sendiri sehingga tidak merepotkan dia dan tentu saja jadi lebih berkelas ketimbang hanya sebagai ibu rumah tangga saja. Untuk aku sendiri, bekerja adalah media untuk mengaktualisasikan diri, kan sayang sudah sekolah tinggi-tinggi tapi ilmunya tidak dimanfaatkan. Kalau menghasilkan uang ya alhamdulillah, paling tidak untuk membeli keperluan pribadi tidak perlu meminta-minta pada suami. Sangat tidak enak bergantung hidup pada orang lain meski orang lain itu adalah suami sendiri. Itu sudah pernah aku rasakan pada tahun-tahun pertama pernikahan kami, saat itu aku belum bekerja. Butuh ini atau itu harus minta kepada suami. Kalau suami moodnya lagi bagus sih biasanya permintaan kita dituruti tapi kalau lagi badmood, boro-boro dia mau memenuhi permintaan kita, yang ada malah kita dicap sebagai istri yang tahunya menuntut saja. Yang paling tidak enak adalah ketika orang tua kita atau keluarga kita membutuhkan bantuan. Rasanya berat untuk menyampaikannya pada suami. Baginya diri kita yang tanpa penghasilan saja sudah menjadi beban apalagi keluarga yang lain. Karena itu setelah anak pertamaku berumur tiga tahun aku memutuskan untuk bekerja. Ketika kusampaikan niatku itu, suamiku langsung setuju. Waktu itu tujuanku murni untuk membantu keuangan suami, antara lain untuk memback up jika ada kebuthan di luar yang kami rencanakan meski untuk itu aku harus merelakan pengasuhan anakku ke tangan pengasuh. Hingga akhirnya aku sendiri merasa maniak untuk bekerja. Gaji bukan lagi prioritas utama, tetapi memperluas kolega, bertemu dan berinteraksi dengan segala macam orang dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat buat orang banyak memberi kepuasan dan kebahagian buat diriku. Saking maniaknya aku bekerja, ketika anak keduaku lahir, aku hanya betah mengambil cuti selama satu bulan. Padahal jatah cuti melahirkan kan dua bulan. Aku benar-benar ketagihan untuk bekerja. Aku merasa puas karena bisa mengerjakan banyak hal dan dengan uang hasil keringatku sendiri aku bisa membeli semua yang aku inginkan, bisa membantu keluargaku, bisa membelikan sesuatu untuk orang tuaku, mertuaku, menyalurkan jiwa sosialku yang terkadang tak bisa terkontrol, tanpa meminta pada suami. Suamiku senang karena uangnya tidak banyak yang dikeluarkan untuk keperluan rumah tangga. Dia bisa menambah tabungannya dan menimbun impian-impiannya yang suatu saat berharap bisa diwujudkannya dengan tabungannya itu.

Jika memikirkan semua itu, berat memang mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaanku. Tapi apa boleh buat. Apa enaknya sih bekerja dalam suasana yang serba ditekan dan dibatasi. Peraturan-peraturan yang ada semakin lama kami rasakan semakian menindas. Istilah populernya “harre gene, masih pakai cara diktator, capek deh”. Padahal visi misi kami justru membantu mereka yang tertindas dan diperlakukan tidak adil. Tapi kami sendiri justru mengalami ketidakadilan. Jadi untuk apa kami mengusung wacana itu, menggembar-gemborkannya ke sana ke mari kalau ternyata kendaraan yang kami tunggangi justru dipimpin oleh orang yang senangnya menindas dan tak kenal demokrasi. Sementara kami tidak memiliki daya untuk memperbaikinya. Kediktatoran dan tirani lebih dipilih untuk mengendalikan para stafnya. Karena itu sebelum sistim itu meracuni tubuh dan pikiran kami, kami memilih untuk mundur. Gave up, hanya kata itu yang bisa kami lontarkan ke dewan penasehat ketika kami diundang untuk berdialog dengan mereka setelah mereka menerima tembusan surat pengunduran diri kami. Suasana kantor sudah benar-benar tidak kondusif, kami tidak bisa lagi bekerja dengan optimal, tidak bisa dengan leluasa mengusulkan ide dan pendapat kami. Sebenarnya untuk apa mereka menggaji kami selama ini kalau bukan untuk ide-ide kreatif kami. Kami kan bukan bekerja di pabrik garment sebagai penjahit baju atau sebagai pemasang kancing yang cukup hanya mengandalkan ketrampilan tangan saja. Kami bekerja dengan otak dan pikiran kami. Jadi kalau harus dibatasi dan didikte tidak boleh begini dan begitu, lama-lama otak kami bisa tumpul, tidak berkembang.

Cukup lama bagi aku dan teman-teman mempertimbangkan untuk berani membuat keputusan resign ini. Karena taruhannya adalah masa depan kami, terutama buat teman-teman laki-laki yang notabene mereka adalah kepala keluarga. Untungnya sih rata-rata dari mereka adalah orang-orang yang cukup kreatif, punya banyak koneksi di sana sini. Jadi meski mereka nanti tidak lagi bekerja di kantor mereka tetap bisa mencari penghasilan. Bahkan kalau lagi mujur dari kerja yang nggak menentu itu bisa mendapat penghasilan yang jauh lebih besar dari gaji yang selama ini mereka terima dari kantor. Mereka sudah terbiasa bekerja seperti itu. Hanya bedanya, dulu mereka melakukannya hanya sebagai pekerjaan sambilan saja. Tapi yang paling penting dari itu semua adalah mereka bisa dengan bebas mengeksparesikan ide-ide mereka, Mereka bisa bebas berkreasi dan berkarya tanpa dibatas-batasi oleh segala macam peraturan. Yah, aku bisa sedikit lega. Aku bisa mengurangi rasa bersalah karena telah menyeret mereka ke dalam situasi seperti ini. Demi menjaga idealisme, mereka rela melepas pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sementara aku sendiri, apa yang akan aku lakukan setelah keluar dari kantor ini, aku belum tahu. Berdiam di rumah, mengurus anak-anak atau paling-paling menulis cerpen atau puisi. Sama sekali belum terbayang mau apa aku ke depannya nanti. Yang pasti aku akan kembali bergantung hidup pada suami.
“Hai Win, bengong aja kayak sapi ompong, sudah selesai belum beres-beresnya?”, suara Heru menghentikan lamunanku. Dia berdiri di depan pintu ruanganku. Kedua tangannya menenteng dua buah kardus yang pasti berisi barang-barang miliknya yang nanti akan dibawanya pulang.
“Gue mau taruh ini di bawah biar nanti gampang ngambilnya”, sambungnya lagi sambil berlalu.
“Wah kalau gitu bisa bantuin guwe dong”, celetukku.
“Makanya kerja jangan sambil bengong, jadi nggak selesai-selesai”, teriaknya.
“Winda sedih ninggalin teman curhatnya”, Restu nimpalin dari ruangannya yang bersebelahan dengan ruanganku.
Aku tersenyum sambil memandangi komputer yang sudah hampir tujuh tahun ini menemaniku bekerja. Menampung semua keluh kesahku, kesedihanku, kegembiraanku. Tanpa terasa mataku mulai berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya, khawatir ada yang melihat sifat asliku – cengeng -. Kupandangi satu persatu barang-barang yang esok tak lagi bisa kusambangi. Meja dan laci-laci yang dengan setia menampung berkas-berkas rahasiaku. Filing cabinet yang selalu siap menerima file-fileku dan rak-rak buku yang dengan senyum selalu memajang buku-buku dan laporan-laporan pekerjaanku. Ah rasanya berat berpisah dengan mereka semua.
“Hai, apakah kalian juga merasakan kesedihan seperti yang aku rasakan saat ini? Seandainya ada pilihan lain yang bisa aku pilih, tentulah aku tidak perlu meninggalkan kalian semua. Semoga kalian nanti mendapatkan partner yang lebih baik dari aku”

“Bu Winda, mau makan siang?” Udin office boy kantorku sudah berdiri di depanku. Seperti biasanya, tangannya memegang kertas dan pulpen untuk mencatat pesanan kami.
“Eh Din, kayaknya kita bakal keluar aja deh untuk makan siang. Sekalian pamitan sama orang-orang yang ada di warung”
“Oh gitu. Ibu nanti sering-sering main ya”
“Jangan khawatir Din, kan ada telpon. Kita bisa telpon-telponan, kamu juga bisa main ke rumahku kan kalau kangen sama aku. Sama omelanku maksudnya he...he....”
“Ibu bisa aja. Ya udah bu, kalau gitu saya ke bawah dulu”
“Oke”
Aku kembali mengemasi barang-barangku. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal aku bergegas ke bawah menemui Heru, Restu dan yang lainnya untuk bersama-sama cari makan siang. ***************

Kulirik jam yang terpajang di samping komputerku. Jarum pendeknya mengarah ke dekat angka tiga sementara jarum panjangnya mengarah ke angka sembilan. Ku hela nafas dengan perasaan berat. Hari ini sepertinya jam berlalu begitu cepat. Kalau hari-hari kemarin sih aku menjalaninya dengan senang. Karena dengan begitu aku bisa cepat-cepat mematikan komputer, melepaskan mata dari angka-angka yang terkadang membuat pusing kepala lalu dengan bergegas meninggalkan kantor agar bisa mampir ke mall yang setiap hari aku lewati sekedar untuk memandangi pakaian-pakaian yang terpajang di etalasi-etalasi toko atau mencari oleh-oleh untuk kedua anakku yang menungguku di rumah. Tapi tentu tidak untuk hari ini. Justru aku ingin hari berputar kembali ke pagi hari agar waktuku lebih panjang untuk duduk di kursi yang sekian tahun dengan rela telah menampung tubuhku dan membuatku merasa nyaman untuk mengerjakan tugas-tugasku atau biar aku bisa lebih lama memandangi isi ruanganku, beristirahat di perpustakaan sambil membaca buku baru atau bercengkerama dengan teman-teman saat makan siang sambil menonton televisi. Sebentar lagi semua itu hanya akan menjadi kenangan, kenangan yang akan selalu kubanggakan sepanjang hidupku. Karena meski hanya tujuh tahun, aku pernah merasakan menjadi perempuan yang mandiri, perempuan yang tidak bergantung hidup pada suami, perempuan yang berjuang untuk menolong perempuan-perempuan yang merasa tertindas dan teraniaya dan mendampingi mereka untuk menjadi individu yang mandiri, individu yang sadar akan hak-haknya.

“Eh Win, elo kenapa sih dari pagi kerjaannya bengong melulu, udah deh nggak usah dipikirin lagi. Bosen tau’ hampir setengah tahun kita nunggu untuk bisa keluar dari sini. Harusnya hari ini kita senang karena keinginan itu akhirnya terwujud”, Heru masuk ke ruanganku dengan mengomel karena melihat aku yang tanpa gairah.
“Iya sih Her, tapi guwe bener-bener sedih ninggalin program-program yang udah kita konsep dengan susah payah. Khawatir aja, kalau itu semua nanti bakal diacak-acak sama orang-orang baru yang sama sekali nggak ngerti jalan pikiran kita”, jawabku mencoba menutupi perasaanku yang sebenarnya.
“Ya biarin aja, kali aja mereka punya konsep yang lebih bagus dari yang udah kita kerjain. Yang penting lembaga yang udah kita rintis dengan susah payah ini harus tetap jalan, tetap exist dan dikenal orang meskipun dengan program yang berbeda. Lagi pula apapun nanti yang terjadi dengan lembaga ini, sudah bukan urusan kita lagi”.
“Wah-wah, kalian memang pekerja yang teladan, sudah mau keluar masih saja semangat untuk berdiskusi”, Restu yang datang dengan Nita ikut bicara.
“Mending deh diskusi, ini nih si Winda kepikiran terus mau ninggalin kantor. Yang bakal ditinggal aja nggak mikirin kita”
“Iya Win, nanti kita rintis lagi lembaga baru di mana kita bisa bebas mengeluarkan pendapat dan ide-ide kita. Kalian semua kan orang-orang yang udah berpengalaman, banyak kolega, dekat dengan beberapa lembaga dana, jadi dont worry lah”, Nita mencoba mengahibur.
“Tuh dengerin apa kata bu guru. Tenang aja, kita bakal sama-sama lagi nanti. Kalau nanti guwe jadi direktur, guwe tetap butuh tenaga keuangan yang cerdas kayak elo Win, guwe tetap butuh programmer kayak Heru, guwe tetap butuh sekretaris program kayak Nita, he....he....”
“Ah dasar, gila semua. Ya udah deh sana pada kembali ke tempat masing-masing. Pandangin sepuas-puasnya deh ruangan kalian. Detik-detik terakhir hampir tiba nih”, aku mengusir mereka dari ruanganku. Setelah hari ini aku pasti akan sangat merasa kehilangan mereka. Nggak ada lagi teman-teman yang mau mendengar keluh kesahku, mendukung keinginan-keinginan dan obsesi-obsesiku. Hanya ada Anto, orang yang terlalu asyik dengan dunianya sendiri, yang menganggap remeh pekerjaanku dan juga obsesi-obsesiku. Menganggapku tak pantas untuk diajak diskusi soal pekerjaannya, berkenalan dengan teman-teman kantornya ataupun kolega-koleganya yang lain.
“Mas, aku pingin banget membukukan puisi-puisi atau cerpen-cerpenku”, ungkapku suatu ketika.
“Alah, buat apa sih puisi atau cerpen dibukukan, tulisan-tulisanmu kan cengeng gitu”
“Kamu nggak fair menilai seperti itu, padahal kamu nggak pernah membacanya”
“Udah, kerjaanmu kan udah banyak. Nggak usah pingin yang aneh-aneh deh. Kebutuhan kita juga masih banyak”.
Aku benci sekali kalau mengingat peristiwa itu. Tapi apa dayaku. Meski aku senang dunia sastra tapi aksesku sangat terbatas di dunia itu. Selain itu, membuat buku kan juga perlu biaya. Darimana aku punya biayanya kalau aku nggak pernah punya tabungan. Hasil kerja selama bertahun-tahun selalu habis untuk menolong keluarga yang membutuhkan, membeli kebutuhan pribadiku dan terkadang membantu mertua jika diapun tidak berhasil menembus suamiku. Sampai sekarang puisi-puisi dan cerpen-cerpen itu hanya tersimpan di komputer saja. Ada beberapa sih yang pernah dimuat di majalah atau koran. Tapi kalau punya buku hasil tulisan sendiri kan nilainya lain.
“Ayo Win, semua udah nunggu di bawah tuh”, Heru lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
“Oke, aku segera ke bawah. Tolong panggilin Udin ya Her”

Udin membantu mengangkat barang-barang kami ke bagasi taksi yang sudah menunggu di halaman kantor. Setelah semua beres kami semua berkumpul di ruang tamu membuat acara perpisahan sederhana. Kami memberikan bingkisan, sekedar kenang-kenangan kepada Udin yang selama ini dengan setia melayani kami dan juga Tami yang rajin medistribusikan surat-surat dan menyambungkan telepon ke meja-meja kami.
“Terimakasih ya untuk kerjasama kalian selama ini”, aku mewakili teman-teman mengucapkan rasa terimakasih kepada mereka berdua.
“Kami juga terimakasih mbak, mas. Kami pasti akan sangat kehilangan mbak-mbak dan emas-emas semua”, Tami mengucap dengan menangis.
“Udah-udah, jangan sedih dong, kita kan masih bisa ketemu dan juga saling telpon. Taksinya udah kelamaan nunggu tuh”, Restu segera mengakhiri acara perpisahan sore itu.
Kami segera melangkah meninggalkan kantor dengan perasaan yang hanya kami sendiri yang tahu. **********

Pamulang, 18 April 2007

Tidak ada komentar: