Senin, 12 Mei 2008


SEPARUH MALAM
Warta Kota Minggu, 2 Pebruari 2003
Krak...brak... Suara seperti pohon tumbang dan guyuran hujan yang membasahi tubuhku telah membangunkanku dari keterlelapan malamku. Kudengar di luar sana suara orang berlarian dan berteriak penuh kepanikan. Tanah longsor.....banjir.....banjir.....! Suasana sangat gelap ditambah hujan yanga begitu deras telah menyamarkan penglihatanku, sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara bergemuruh yang semakin lama semakin jelas di telingaku, seperti suara badai.
“Siti....cepat bawa adikmu pergi dari sini”, ibuku berkata dengan suara lirih. Kulihat tubuhnya tertimpa batang pohon yang juga menghancurkan sebagian bangunan rumah kami.
“Ibu......!”, aku tak memperdulikan perintahnya. Aku sangat panik dan berusaha untuk menolongnya.
“Ayo Ti, cepat selamatkan dirim dan adikmu. Biarkan ibu di sini. Ayo cepat, tinggalkan ibu, jangan pikirkan ibu”
“Tidak bu, aku tidak akan pergi tanpa ibu”, jawabku sambil terus berusaha menyingkirkan batang pohon dari atas tubuhnya. Batang pohon itu terlalu besar, aku tak kuat. Di tengah kepanikanku aku berteriak-teriak histeris meminta pertolongan pada orang-orang yang lalu lalang. Namun sepertinya tak satu orangpun yang mendengar teriakanku. Semua orang sibuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Aku mulai menangis, takut dan putus asa. Kupeluk tubuh ibuku yang terus memyuruhku untuk segera pergi. Aku tak perduli. Aku tak mau pergi tanpa ibu. Aku tak mau kehilangan ibu. Adikku yang berdiri tak jauh dariku menggigil kedinginan. Dia juga terus menangis dan memanggil-manggil ibu. Orang terus berlarian tanpa memperdulikan keadaan kami. Mereka tetap tak memperdulikan teriakan permintaan tolong kami. Tiba-tiba seseorang mengangkat tubuh adikku dan menarik tanganku. Kami berlari kencang sekali meninggalkan ibuku, meninggalkan semua yang kami punya.
“Ibu.....ibuuu....” aku terus berteriak-teriak histeris memanggil ibuku tapi orang yang mengajakku berlari tak menghiraukannya. Kami terus berlari, berpacu dengan suara gemuruh yang terus mendekat seolah seaang mengejar kami.
“Lepaskan aku, aku harus menolong ibu, ibu.....aku nggak mau pergi tanpa ibu, aku mau balik ke ibu!” aku terus berteriak. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan orang itu tetapi arus manusia semakin menyeretku menjauhi desaku. Suara gemuruh semakin terdengar jelas, mendekat dan terus mendekat. Lalu semuanya menjadi rata dalam sekejap. Hanya separuh malam gelombang air becampur lumpur telah menghanyutkan dan menenggelamkan semua yang ada. Rumah, ternak, sawah, jembatan, manusia, termasuk ibuku.
Jalan-jalan tertutup lumpur tebal, tak lagi tampak desaku kecuali hamparan lumpur hitam. Separuh malam sudah kuhabiskan untuk menangis, toh kesedihan kali ini lebih berlipat-lipat rasanya dibandingkan ketika aku menghabiskan waktu semalam suntuk untuk menangisi jasad ayahku yang remuk karena terjatuh dari lereng gunung saat sedang menambang kapur. Rasa sedih dan kehilangan yang kurasakan saat itu hanyalah rasa ketakutan sesaat mengingat ayah adalah tulang punggung keluarga. Ayah adalah simbol kehormatan keluarga. Tak ada laki-laki maka tak ada kehormatan. Kenyataan ini menjadi pil pahit yang harus kami telan sepanjang waktu. Sedangkan kesedihan yang kurasakan saat ini adalah kesedihan yang sesungguhnya. Kesedihan yang terbakar oleh rasa sakit akibat amarah, apinya terus berkobar membakar jiwaku, terus menyelusup semakin dalam, menerobos dinding-dinding urat-urat syarafku dan akhirnya mengendap menjadi bongkahan kebencian yang tak ada akhirnya. Separuh malam telah kuhabiskan dengan menangis, namun hingga mata ini menjadi bengkak, tak jua kembali apa yang pernah menjadi milikku. Bahkan jasad ibukupun sampai detik ini belum juga berhasil ditemukan.
Tak habis-habisnya aku menangis, hingga tak ada lagi sisa air mata yang keluar ketika aku masih ingin melampiaskan kemarahanku dengan menangis. Tak ada lagi air mata, kering kerontang seperti juga mata air-mata air yang selama ini menjadi sumber kehidupan penduduk desa kami. Tak lagi mengalirkan airnya yang jernih, pun kerongkongan kami tak lagi bisa merasakan segarnya air pegunungan. Yang tertinggal hanyalah rasa sakit yang menyesakkan dada dari limbah-limbah pertambangan yang dibuang ke lereng-lereng dan sampai ke desa kami. Limbah-limbah itu telah mengaratkan fungsi anggota tubuh kami karena tak ada lagi makanan bersih yang masuk ke dalamnya. Butiran nasi telah bercampur dengan bongkahan-bongkahan kapur yang dulunya justru menjadi tangki penyimpanan air yang sangat kuat. Dari tangki-tangki buatan alam itulah ribuan hektar sawah kami terairi dengan baik, ternak kami berkembang biak dengan baik sehingga kami bisa makan makanan dari ladang kami sendiri dan minum susu segar dari ternak-ternak kami. Kebutuhan gizi tercukupi sehingga kami bisa tumbuh dan berkembang dalam kebebasan alam kami. Kami adalah orang-orang yang kaya, kami dapat mencukupi kebutuhan hidup dari hasil bumi kami sendiri tanpa harus membeli, sampai akhirnya pertambangan menghancurkan masa depan kami.
Musim panas kali ini sangat mencekik, sungai-sungai yang dulunya tetap mengalir di musim panas kini menjadi onggokan batu kapur yang lebar dan gersang. Air terjun yang dulunya melimpahkan airnya secara teratur ke lereng-lereng bukit telah lama mengering. Pun pohon-pohon yang dulunya tumbuh subur, seperti hamparan karpet hijau, kini tiada lagi. Semua berubah menjadi gurun gersang. Penambangan telah mematikan hutan dan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan kami. Tetapi sayang, sebagian besar dari kami lebih percaya bahwa tidak turunnya hujanlah yang meneybabkan kekeringan ini terjadi. Bukan karena penambangan itu. Lalu mereka beramai-ramai menggelar ritual, beragam sesajen dibuat untuk mendatangkan hujan. Padahal jika lingkungan tidak dirusak, meskipun tidak turun hujan satu tahunpun mata air akan tetap mengalirkan airnya. Pohon-pohon akan terus memproduksi air sehingga kita tidak akan kekurangan air seperti sekarang ini.
Namaku Siti, umurku baru tiga belas tahun ketika para kontraktor itu datang ke desaku. Mereka menawarkan proyek yang nantinya akan bisa meningkatkan taraf hidup kami. Itu yang dikatakan mereka. Aku tak mengerti apa yang kemudian mereka bicarakan dan negosiasikan dengan para lelaki di desaku termasuk juga ayahku. Hingga suatu hari aku melihat ayahku dan para lelaki lainnya meningglkan ibuku dan para perempuan bekerja sendirian di sawah. Ayahku dan para lelaki itu tidak pernah lagi berangkat ke sawah tetapi mereka menuju lereng-lereng pegunungan. Mereka tidak lagi mencangkuli dan mengairi sawah, juga mencari rumput untuk makan ternak-ternak kami. Mereka beralih profesi sebagai penambang kapur. Setiap hari mereka mencungkili lereng-lereng tempat penyimpanan air alami kami. Mereka tidak sadar bahwa penambangan ini akan berakibat pada rusaknya fungsi hutan dan mengeringkan sumber-sumbe air yang selama ini menghidupi desa kami.
Suatu hari, dengan sangat suka cita, kulihat truk-truk besar berbelalai panjang dan mulut menganga lebar penuh gerigi tajam melintasi jalan berkerikil di desaku. Pemandangan yang belum pernah aku lihat seumur hidupku. Kuikuti truk-truk itu sampai ke penambangan dan kulihat roda-rodannya terus berputar dan bergerak, Belalai panjangnya menjulur ke sana ke mari, mengeruk kapur-kapur yang setiap hari dicungkili ayahku dan para lelaki dari desaku. Ketika belalai itu terangkat ke atas, kulihat mulutnya telah penuh oleh kapur yang kemudian dimasukkannya ke badan-badan truk. Di sisi yang lain, kulihat beberapa orang dengan menggunakan gergaji yang besar tengah menebangi pohon-pohon kami. Suara mesinnya bising sekali, membuat gendang telingaku seakan mau pecah.
Tiga tahun sudah proyek penambangan itu berjalan. Dampaknya mulai kami rasakan. Air yang kami minum berbau kapur, banyak ikan-ikan di sungi yang mati terkena racun limbah, makanan yang ibu masakpun tak lagi terasa lezat. Di musim panas, sumur-sumur kami yang tadinya dipenuhi oleh air, mulai mengering sehingga kami harus menggali lebih dalam lagi. Untuk mengairi sawah, kami harus menunggu giliran karena air yang ada tidak mencukupi dan ternak-ternak banyak yang mati karena kehausan dan kelaparan. Ketika musim hujan tiba, air dengan deras mengalir ke lereng gunung, menimbulkan banjir, menghanyutkan tanah dan mengikis tepi-tepi sungai sehingga tak bisa lagi membendung air. Air terus meluap memenuhi dataran, menghanyutkan tanaman padi dan jagung yang sudah dengan susah payah kami rawat. Air terus meluap hingga masuk ke teras-teras rumah kami.
Kini baru kusadari bahwa semua yang pernah aku lihat dulu itu sesungguhnya adalah proses pengrusakan ekologi. Pemerintah telah salah dalam mengartikan tata cara kehidupan tradisional kami. Mereka menganggap masyarakat kami tak lain adalah masyarakat desa yang miskin yang harus dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan pembangunan. Padahal dalam kenyataanya, pembangunanlah yang justru telah menggiring kami kepada kemiskinan yang sesungguhnya. Dengan pembangunan yang menyimpang karena ditumpangi oleh nafsu keserakahan, mereka telah merusak alam yang selama ini telah memenuhi kebutuhan dasar hidup kami. Ke mana mereka ketika dengan suara lantang kami minta dibangunkan sekolahan, supaya kami para anak-anak tidak perlu mengayuh sepeda puluhan kilo untuk dapat membaca dan menulis, kemana mereka ketika dengan memohon-mohon kami minta dibangunkan puskesmas, supaya jika kami sakit cepat bisa mendapatkan pertolongan dan pengobatan. Dan kemana mereka ketika dengan suara yang hampir serak kami meminta jalan desa kami di aspal. Kemana, kemana mereka semuanya yang selama ini mengumbar komitmen di mana-mana tentang pentingnya menjamin kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan.
Namaku Siti, umurku sudah enam belas tahun ketika banjir bandang dan tanah longsor yang menenggelamkan desaku itu terjadi. Bahkan belum genap satu bulan kami menggelar ritual untuk mensyukuri hujan yang terus menerus mengguyur desa kami yang selama musim panas seperti gurun, tandus dan gersang. Tak cukup hanya separuh malam untuk memperbaiki alam kami yang sudah rusak dan mengembalikan semua yang pernah kami miliki.

Tidak ada komentar: