Senin, 12 Mei 2008


HARGA PEREMPUAN
by Diah Rofika
Majalah Noor, 2005
Warti mengayuh sepedanya lebih kencang sehingga botol-botol jamunya yang telah kosong terdengar bergemerincing di antara dua sisi boncengan sepedanya. Jilbab yang dikenakannya pun ikut bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama angin yang mempermainkannya. Warti ingin cepat-cepat sampai di rumah kontrakan yang dihuninya bersama teman-temannya sesama penjual jamu dan mengabarkan kepada mereka bahwa pak Janggut bos para agen jamu akan mengadakan perlombaan membuat jamu gendong. Kebetulan sekali tadi dia bertemu dengan bosnya itu dan beliau memintanya untuk menyebarkan berita bagus itu kepada para penjual jamu gendong lainnya.
Akhirnya sampai juga dia di depan deretan rumah petakan yang rata-rata dihuni oleh para pedagang kecil seperti dirinya.
“Assalamu’alaikum”, ucapnya ketika mau memasuki rumah kontrakannya.
“Wa’alaikum salam”, jawab teman-temannya yang ternyata sudah terlebih dahulu sampai di rumah.
“Waduh, tumben Ti kamu datang paling telat, apa para pelangganmu memintamu untuk menemani mereka”, sapa Supinah meledek. Biasanya Warti memang paling cepat pulangnya dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Ada kabar bagus teman-teman”, ucapnya lagi tanpa menghiraukan ledekan Supinah. Tangannya sibuk menurunkan perangkat jamunya dari atas sepedanya.
“Kabar bagus apa Ti, apa kamu ketemu duda atau pangeran kaya yang mengajakmu kawin”, ledek Supinah lagi.
“Kamu itu lho yu, sukanya meledek aku terus. Aku tadi ketemu bos Janggut, beliau bilang mau mengadakan perlombaan membuat jamu untuk ita-kita”.
“Walah, itu sih bukan berita bagus, paling-paling kita dimintain iuran, iya tho?”
“Ndak, bukan itu. Malahan nanti kita yang bakal dapat duit, karena ada sponsor yang mau membiayai perlombaan itu”
“Maksudmu, sponsor itu mau kasih kita tambahan modal, gitu?” tanya Narsih bersemangat. Gadis asal Wonogiri ini memang sedang getol mencari tambahan modal untuk merealisasikan cita-citanya membuka kios jamu. Alasannya biar nggak capek mengayuh sepeda.
“Bukan begitu Sih, tapi kita akan mengikuti lomba membuat jamu gendong. Siapa yang jamunya paling enak ya berhak dapat duit sebagai hadianya”, jawab Warti memberi penjelasan kepada teman-temannya biar nggak pada salah persepsi.
“Walah Ti...Ti, pengen dapat tambahan modakl saja kok sampai repot begitu”, celetuk Narsih.
“Kirain kita dapat bonus cuma-cuma karena bos menghargai kita sebagai perempuan yang gigih bekerja”, timpal Atun yang sejak tadi hanya diam saja.
“Apanya yang repot tho Tun, bukankah setiap hari pekerjaan kita adalah membuat jamu untuk kita jual, untuk mendapatkan duit. Lagi pula tujuan kita mengikuti lomba kan bukan hanya untuk mendapatkan hadiah, yang paling penting lagi, kita bisa menunjukkan kepada semua orang bahwa ini lho yang selama ini kita jua, hasil karya kita. Jam uasli buatan tangan kita sendiri. Bukan menjual penampilan kita yang kebanyakan orang bilang kita ini kemayu, yang pandainya merayu laki-laki, yang selalu dicurigai oleh para ibu-ibu karena takut suami mereka kepincut pada kita. Kita tunjukkan kepada semua orang bahwa kita ini perempuan-perempuan yang punya prestasi, yang bisa hidup mandiri dan bekerja keras untuk mendapatkan uang yang halal. Dan kamu yu, hentikan mimpi-mimpimu yang ndak jelas itu, jaman kayak gini mana ada rejeki yang datang sendiri tanpa dicari, tanpa ada usaha untuk mendapatkannya. Sekalipun itu uang haram, pasti selalu pake cara untuk mendapatkannya. Apalagi uang yang halal”, jelas Warti lagi menimpali olokan teman-temannya.
“Huh”, dengus Supinah dengan muka cemberut. Dia merasa digurui oleh Warti yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya dan baru beberapa tahun pula tinggal di Jakarta. Dia juga merasa tersindir karena penampilannya selama ini memang cenderung berlebihan. Dia selalu berdandan tebal dan berpakaian seksi ketika sedang berjualan. Sudah lama Supinah memendam perasaan marah pada Warti karena merasa gadis ingusan itu telah menyaingi dirinya yang telah lebih lama hidup di Jakarta. Setiap ada kesempatan dia selalu melampiaskan kemarahannya itu. Hanya saja dia merasa tidak enak kepada teman-temannya yang lain, karena mereka lebih bisa menerima kelebihan Warti dengan lapang dada.
“Sudah tho yu, maafin aku ya, bukan maksudku sok pintar atau menyindir kamu, aku hanya berusaha menyampaikan apa yang tadi bos janggut terangkan kepadaku, juga tentang pandangan masyarakat terhadap keberadaan kita”, ucap Warti pelan ketika melihat wajah supinah yang tampak marah. “Sekarang siapa yang mau setor tabungan dari keuntungan hari ini?”, tanyanya kemudian untuk mencarikan suasana.
Inilah sifat Warti yang disukai teman-temannya, tidak gampang marah tapi mudah untuk minta maaf dan memaafkan. Keteganganpun sirna, mereka lalu menyodorkan sejumlah uang kepada Warti. Setiap uang yang dia terima dicatat di dalam sebuah buku dan ditandatangani oleh yang menyerahkan. Semua itu untuk menghindari kesalahpahaman ataupun fitnah yang mungkin saja terjadi.
Menyisihkan separuh dari keuntungan yang didapat setiap hari adalah idenya. Dia ingin kerja keras dia dan teman-temannya bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi mereka di kemudian hari. Apalagi di antara mereka kan sudah ada yang berkeluarga dan memiliki anak yang mereka tinggal di kampung. Mereka rela hidup terpisah dengan anak dan suami demi mencari tambahan penghasilan. Kalau dipikir, berapa sih keuntungan dari menjual jamu, paling hanya cukup untuk makan mereka sehari-hari di Jakarta. Boro-boro bisa kirim uang ke kampung, balik modal saja susah. Saingan mereka cukup banyak. Lalu kapan bisa majunya, sampai tuapun keadaan ekonomi mereka akan tetap seperti ini. Padahal keluarga di kampung mengharapkan mereka pulang dengan membawa uang. Karena itu perlu ada sedikit paksaan untuk bisa menabung. Setiap hari mereka dipaksa untuk menyisihkan penghasilan mereka dan setelah seminggu tabungan harian mereka dipindahkan ke bank, agar lebih aman dan berkembang.
Warti memang berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dia selalu menginginkan perubahan untuk dirinya. Seperti ketika dia memutuskan untuk memakai jilbab. Semua teman-temannya sempata mencibir dan mencemooh dia. Mereka bilang dengan menutup seluruh tubuh maka tidak akan ada orang yang mau membeli jamu-jamu mereka. Para laki-laki yang selama ini menjadi pelanggan jamu mereka pasti akan beralih kepada penjual jamu yang berpenampilan sedikit seksi. Bukankah sebenarnya hanya alasan saja mereka membeli jamu, padahal yang sebenarnya mereka ingin menggoda penjualnya. Kalau lagi mujur bisa mengencani mereka. Warti tak perduli dengan cibiran dan cemoohan teman-temannya. Pokoknya niat dia lillahita’ala, mencari rejeki yang halal sambil beribadah. Dia tidak khawatir jika jamunya nanti tidak laku, pasti bukan lantaran penampilannya yang berubah tapi mungkin karena jamu buatannya memang kurang enak. Buktinya toh sampai sekarang sudah hampir setengah tahun berlalu sejak Warti memutuskan untuk memakai jilbab, apa yang diramalkan oleh teman-temannya itu tidak terbukti. Malahan bertambah banyak pelanggan yang membeli jamu buatannya. Sampai-sampai dia menambah beberapa botol lagi jamu yang dijualnya. “Subhanallah”, Warti memuji kebesaran nama Allah yang telah memberinya petunjuk dan hidayah. Memang sih, ada juga satu atau dua orang yang mengolok-olok penampilannya, terutama para laki-laki iseng yang selama ini memendam kejengkelan karena tak pernah berhasil merayunya. Mereka bilang sok alimlah, sok suci, dan sebagainya. Maklumlah, wajah Warti memang terbilang manis kulitnya coklat mulus, ditambah tubuhnya yang tinggi semampai, tak heran jika banyak laki-laki yang berusaha mencuri perhatiannya. Tapi Warti tak mau ambil pusing dengan semua itu. Kepada mereka Warti menjelaskan bahwa dia hanya menjalankan ajaran agama dan Insya Allah tidak untuk menyakiti orang lain. Toh mesti mengolok-olok, mereka masih membeli jamu buatannya. Itu artinya, untuk menarik pelanggan, para penjual jamu gendong tak perlu berpenampilan seksi apalagi sampai memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Menurutnya, seseorang itu dihargai karena prestasi dan usahanya. Sekalipun dia seorang perempuan, seorang penjual jamu gendong, bukan semata-mata karena penampilan luarnya.
Berkah yang didapat Warti itu memicu teman-temannya untuk mengikuti jejaknya. Beberapa di antara mereka sudah mengenakan jilbab. Warti berharap, semoga teman-temannya melakukan itu semua karena didorong oleh niat ikhlas beribadah kepada Allah, bukan karena ingin mendapatkan yang lain. Bukankah rejeki itu sudah ada yang mengatur, kita hanya bisa berdo’a adan berusaha saja. Karena itu sedikit atau banyak rejeki yang kita dapaat, kita wajib mensyukurinya.
Warti sangat mensyukuri karunia yang diberikan Allah kepadanya. Kini dia bisa menabung lebih banyak lagi. Peluang untuk mewujudkan cita-citanya seolah terbuka lebar. Dia ingin kelak bisa mendirikan tempat kursus menjual jamu, menularkan ilmu membuat jamunya kepada perempuan-perempuan lain yang berekonomi lemah seperti dirinya agar bisa hidup mandiri, tidak melulu tergantung kepada keluarga atau suami mereka. Pengalaman pahit yana dulu menimpa keluarganya telah memberinya pelajaran yang sangat berharaga, termasuk mempengaruhi cara berfikirnya. Dia tidak ingin pengalaman pahit itu terulang pada kehidupannya kelak dan juga kehidupan teman-temannya sesama perempuan.
Seringkali pada dini hari ketika dia baru memulai aktivitasnya membuat jamu, bayangan kejadian masa lalu itu muncul dalam ingatannya. Tapi cepat-cepat dia berusaha menepisnya. Tak pernah dia menceritakan kisah pahitnya itu kepada orang lain. “Semua telah berlalu, yang penting sekarang adalah masa depan dan orang lain tak perlu tahu masa laluku”, bathinnya. Tapi kejadian yang menimpa salah satu pelanggan barunya memaksa dia untuk mengingat kembali lembaran masa lalu itu. Apa yang dialami oleh ibu Dina, si pelanggan barunya itu hampir sama dengan apa yang dulu dialami oleh ibunya. Sama-sama diperlakukan secara tidak manusiawi oleh laki-laki yang mengaku mencintai mereka. Bedanya, ibunya tak pernah punya niat untuk menggugurkan kandungannya. Paling tidak, itulah yang terfikir oleh Warti saaat pertama mengenal perempuan itu. Matanya tampak sembab dan suaranya terdengar parau ketika berbicara.
“Ada jamu peluntur Yuk?”, tanyanya pelan sekali seperti takut terdengar orang lain.
“Saya tidak pernah membawa jamu itu bu, tapi kalau pil tuntas ada. Banyak ibu-ibu yang meminumnya untuk mempercepat masa haidnya”.
“Saya bukannya ingin menuntaskan haid saya, tapi bayi yang ada dalam perut saya”, jawabnya ketus.
“Astaghfirullah hal azim”.
Mata perempuan itu berkaca-kaca, terlihat sekali ketidakstabilan dalam dirinya. Warti sangat kasihan melihat kondisi perempuan itu.
“Saya tidak punya siapa-siapa selain dia, saya memutuskan untuk tidak bekerja demi melayani dia, saya...saya sudah berkorban banyak demi dia, tapi dia malah meninggalkan saya mbak”, tiba-tiba tanpa diminta perempuan itu mulai bercerita tentang rumah tangganya, tentang suaminya yang sering berlaku kasar kepadanya, suaminya yang sering membawa perempuan lain ke rumah. “Saya takut mbak, bagaimana nasib saya nanti, nasib bayi yang ada dalam kandungan saya ini. Dia bilang saya mandul, saya perempuan yang tidak berguna. Padahal lihat mbak, saya bisa hamil, saya sedang mengandung anaknya. Tapi apa yang dia katakan, dia bilang saya telah berselingkuh dengan laki-laki lain, bahwa bayi ini bukan anaknya. Coba Yuk, apalagi yang bisa saya lakukan?”, perempuan itu mulai menangis.
“Saya tak bisa lagi mengharapkan bayi ini akan menolong saya. Bahkan tadi malam suami saya menyampaikan niatnya untuk menceraikan saya. Karena itu saya ingin menggugurkan bayi ini Yuk, saya takut kelak nggak bisa membiayai hidup anak ini”
“Istighfar bu, masih ada yang bisa menolong ibu. Ingat pada Allah Subhanahuwata’ala, anak adalah harta yang tak ternilai yang dititipkan allah kepada kita, karena itu Dialah yang kelak akan memberi rejeki kepada anak ibu”, nasehat Warti.
Dia tidak mampu menahan keharuan melihat penderitaan yang dialami nyonya muda itu. “Duh Gusti, sampai kapankah perempuan akan berhenti mengalami nasib seperti ini?, sampai kapankah laki-laki akan berhenti memperlakukan perempuan seperti ini?, dalam hati Warti sangat marah melihat ketidakadilan ini. Mungkin jika perempuan bisa hidup mandiri, tidak menggantungkan ekonomi kepada laki-laki dan laki-laki menerima keberadaan perempuan sejajar di sisinya. Warti berjanji untuk terus berjuang mewujudkan semua harapan itu.

Tidak ada komentar: