Jumat, 22 Januari 2010

SANG PENGAMAT



“Jangan pernah meremehkan pekerjaan sebagai tukang parkir, karena di saat anda lengah, dia bisa menjadi pengamat handal atas perilaku anda”

Sungguh benar apa yang dikatakan Ahmad Albar dalam salah satu lagunya bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Kita semua adalah para aktor yang harus memerankan tiap-tiap episode dari kehidupan kita sehari-hari. Persis dengan sinetron-sinetron kejar tayang yang kita lihat setiap hari di televisi kita. Skenarionya bisa berubah sewaktu-waktu bila kita menghendakinya. Masing-masing dari kita bisa menjadi penonton bagi yang lainnya dan terkadang juga bisa menjadi sutradara atau produser dari lakon yang akan atau sedang kita mainkan. Rasanya pas kalau saat ini aku ingin berperan sebagai pengamat. Pekerjaanku sehari-hari sebagai tukang parkir di sebuah pusat perbelanjaan memaksaku untuk melihat berbagai macam realita yang terjadi di lingkungan tempatku bekerja. Dari situ aku bisa belajar banyak tentang perilaku manusia. Inilah salah satu kisah yang berhasil aku rekam dalam memori ingatanku selama beberapa pekan ini.
Kisah ini dimulai ketika di suatu sore ada mobil bercat merah metalik memasuki area parkir di mana aku bekerja. Merah adalah warna favoritku, yang berarti berani. Sepertinya pemilik mobil itu juga punya pemikiran yang sama tentang arti warna favoritku ini. Meski menurutku keberanian yang dia miliki tidak pada tempatnya. Nanti kalian akan tahu apa maksud dari analisaku ini. Yang jelas karena alasan warna itulah, aku kemudian memberi sedikit perhatian kepada mobil itu. *************

Sore ini tidak seperti biasanya, cuaca sedikit mendung. Kulihat mobil sedan bercat merah terang itu tidak parkir di depan kedai juice segar, tetapi lebih memilih parkir di depan sebuah salon kecantikan. Padahal pada sore-sore sebelumnya, mobil itu selalu parkir di depan kedai juice segar yang ada di seberang sana. Ini sore ke sepuluh, di mana aku berperan sebagai pengamat dan pemilik mobil merah itu sebagai respondennya. Ketika pertama kali kulihat, pemiliknya bersama seorang perempuan yang kelihatannya adalah istrinya, keluar dari mobil dengan wajah berbinar ceria. Mereka bergandengan tangan memasuki kedai juice segar dan mereka terlihat semakin ceria ketika sudah keluar dari kedai itu. Aku berpikir mungkin segelas juice segar telah menyegarkan pikiran mereka dan membuat aura wajah mereka menjadi berseri-seri. Tapi pada kali kedua, ketiga dan sampai yang kesembilan kemarin sore, aku melihat sepertinya ada sesuatu yang tengah terjadi pada pasangan suami istri itu. Inilah situasi yang kulihat selama sepekan lebih.
Laki-laki itu sudah membuka pintu mobilnya, wajahnya sumringah. Sejurus kemudian dia melempar pandang ke arah kedai juice segar. Sepasang mata bening, dengan sigap menyambut pandangan itu dari dalam kedai, seolah dia memang sudah sejak tadi menunggu kedatangan laki-laki itu. Sementara sepasang mata lain dari balik kaca mobil secara diam-diam mengamati kejadian itu. Wajahnya terlihat muram. Laki-laki itu segera memahami perubahan yang terjadi pada wajah istrinya, dia mulai terlihat sedikit salah tingkah, namun tetap tak bisa melepaskan begitu saja pandangan matanya dari kedai itu. Direngkuhnya pundak sang istri yang baru keluar dari mobil dengan sikap mesra, mereka berjalan menjauhi tenda juice segar menuju sebuah warung makan yang berjarak hanya beberapa meter saja dari kedai juice segar. Wajah sang istri masih tidak berubah, malah terlihat semakin mendung. Perempuan itu berusaha melepaskan bahunya dari rengkuhan suaminya. Dia mempercepat langkahnya sehingga suaminya tampak tertinggal beberapa langkah darinya. Bisa kubayangkan apa yang tengah dirasakan perempuan itu, sedih, marah, kecewa, pastilah begitu. Bagaimana tidak, aku yang laki-laki saja, muak melihat kelakuan laki-laki itu, apalagi istrinya. Sayangnya, perempuan itu sepertinya sungkan untuk mengatakan kalau dirinya tidak suka dengan kelakuan suaminya. Bahkan untuk sekedar berkata “mas, jangan parkir di sini dong”, saja sepertinya dia tidak punya keberanian. Bisa jadi kata-kata itu hanya sampai di kerongkongannya saja. Sebenarnya sih, kalau dia memang suami yang baik dan perhatian pada istri, dia pasti bisa dengan cepat memahami perubahan wajah dan sikap istrinya itu. Tapi, dasar laki-laki bahlul, sepertinya dia tidak paham atau memang sengaja tidak mau paham dengan situasi itu. Atau barangkali dia juga sudah hafal betul tabiat istrinya sehingga menganggap sikap yang diperlihatkan istrinya itu adalah hal yang sudah biasa terjadi. He...he....terkadang aku juga berbuat begitu kepada istriku. Kalau sekiranya dia meminta dibelikan sesuatu yang menurutku tidak penting, dan harganya mahal, dengan sengaja aku berpura-pura tidak paham. Wah repot juga kalau harus menuruti semua keinginan istri. Penghasilan tukang parkir sepertiku ini, bisa mengirim uang ke kampung untuk makan dan bayar sekolah anak tiap bulan saja sudah untung. Tapi kalau ditambah embel-embel untuk beli ini dan itu, aduuh, nyerah deh aku. Nah biasanya pada situasi seperti itu, wajah istriku bisa menekuk 90 derajat. Tapi karena aku sudah hafal dengan kebiasaannya yang satu ini, maka sering aku cuekin saja. Dulu sih waktu pertama-tama, aku sering merasa khawatir, takut dia keterusan ngambek dan minggat meninggalkan aku. Tapi setelah beberapa kali nggak terjadi situasi yang aku khawatirkan ya sudah, anggap saja angin lalu. He...he...keterlaluan juga ya aku. Nah mungkin laki-laki itu juga berpikiran sama denganku.
Setengah jam berlalu, pasangan suami istri itu kulihat keluar dari warung makan. Tangan si perempuan menenteng sebuah bungkusan, mungkin makanan untuk anak-anaknya di rumah. Dengan wajah menunduk dia berjalan menuju mobilnya dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa menoleh kanan kiri. Sementara sang suami, tanpa bisa menahan, kembali mengarahkan pandangannya ke kedai juice segar meski hanya sesaat. Kemudian, perlahan mobil merah itu melaju pergi, meninggalkan senyum kecil di sudut bibir sang penjual juice segar.***************

Di sore yang lain aku melihat perempuan penjual juice segar itu duduk termenung seorang diri. Wajahnya terlihat resah. Kebetulan tak ada pembeli yang harus dilayaninya. Iseng-iseng aku menghampirinya. Aku ingin tahu apakah dia juga akan memperlakukanku sama dengan laki-laki bermobil itu jika aku melempar pandang ke arahnya? Tampangku kan nggak kalah gantengnya dengan laki-laki itu.
“Hm...mbak jus mangganya satu dong”, pintaku ketika sudah duduk di dalam kedainya. “Nggak apa-apa deh mengorbankan uang sepuluh ribu untuk satu gelas jus mangga”, bathinku, hitung-hitung untuk menambah energi, tapi lebih dari itu, yang penting aku bisa mengetes sikap perempuan penjual jus ini.
“Kok kayaknya kurang bersemangat mbak, apa karena sepi pembeli ya?”, pancingku. Mataku sengaja menatap genit ke wajahnya. Aku tahu, dia pasti sedang menantikan kedatangan si pemilik mobil merah.
“Nggak juga mas, biasa saja”, jawabnya dengan senyum tersipu. Matanya menatapku sejenak lalu kembali diarahkan ke pekerjaannya.
Ada perbedaan pada caranya memandangku dengan ketika dia memandang laki-laki bermobil itu. Bahkan keresahan di wajahnya tak juga sirna meski sudah kuberi senyum yang paling manis yang pernah aku miliki. Apa karena baru sekali ini aku memberi perhatian kepadanya atau karena aku tidak datang dengan mobil? Aha, mungkin dengan sering-sering membeli jus di kedainya dia mau bersikap manis kepadaku. Wah bisa bangkrut dong aku, judul tepatnya besar pasak daripada tiang. Tapi besok aku akan beli jus lagi deh. Berkorban uang sepuluh ribu demi mendapatkan data yang akurat ya nggak apa-apa tho. Biar jatuhnya bukan fitnah, dengan demikian aku akan terhindar dari dosa. Mudah-mudahan besok sore laki-laki bermobil itu tidak datang lagi seperti sore ini.
“Ada yang lagi ditunggu yang mbak?”
“Ah nggak, eh hmm...ya ada tho mas, nunggu pembeli”, suaranya terdengar gugup.
“Memang sepi ya kalau pelanggan setia tidak datang. Ngomong-ngomong laki-laki yang suka memarkir mobil merahnya di sini itu pelanggan setia mbak kan?”, tanyaku to the point, dengan begitu kan nggak perlu modal yang banyak untuk mengorek keterangan dari dia.
“Ah...yang mana, yang parkir mobil di depan kedai ini kan ganti-ganti orang mas”, sanggahnya.
“Tapi yang bermobil merah mentereng dan memiliki tatapan maut kan cuma satu ya mbak”, akhirnya aku tak tahan juga untuk menohoknya.
Perempuan penjual jus itu, melirikku sekilas dan kemudian membuang pandangannya ke luar kedai. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sesuatu. Kemudian terdengar desahan nafasnya, pelan dan berat.
“Saya cuma mau pesan supaya mbak hati-hati, bermain api bisa terpercik lidah sendiri. Dia itu sudah punya istri dan mbak juga sudah punya suami. Awalnya memang sekedar berpandangan tapi lama-lama bisa keterusan dan akhirnya lupa daratan”
“Mas ini sebenarnya tukang parkir atau tukang khutbah sih, salah sasaran mas kalau khutbah di sini”, si penjual juice segar mulai merasa gerah.
“Ellhoo, saya ini ya tukang parkir tapi sekarang sedang merangkap menjadi pengamat mbak. Daripada buang duit untuk beli kaset VCD mendingan nonton tayangan gratis yang setiap hari terjadi di sini, betul tho mbak?”, kalimatku terdengar agak sinis.
Perempuan penjual juice itu tak merespon. Wajahnya terlihat semakin jengkel.
“Saya sih cuma kasihan saja sama istri pemilik mobil itu, sepertinya dia tertekan banget sama kelakuan suaminya itu. Bayangkan deh kalau mbak berada di posisi si nyonya itu, pasti akan merasakan hal yang sama dengannya”
“Aduh mas, kok ngomongnya semakin ngacau sih, saya nggak kenal dengan dia jadi ngapain harus pusing-pusing membayangkan apa yang sedang dia rasakan. Tadi pagi salah sarapan ya mas”, penjual juice segar itu menimpali dengan nada lebih sewot.
“Apa untuk bertenggangrasa terhadap orang lain mesti kenal dulu mbak, wah kalau begitu repot banget dong dan saya jamin dompet dhuafa’ akan kuwalahan melayani salam perkenalan dari para donatur ke calon orang-orang yang akan dibantunya”
“Terserah mas saja deh”, penjual juice itu lalu meninggalkan kedainya dan bergabung dengan penjual pempek yang ada di sebelah kedainya.
Segera kuhabiskan sisa jus manggaku, setelah meletakkan uang sepuluh ribuan di bawah gelas, kutinggalkan kedai juice segar itu. “Kok ada ya orang seperti dia ini, nggak punya perasaan banget sih. Padahal yang dia sakiti itukan kaumnya sendiri, perempuan juga”, bathinku sedikit jengkel. Tapi aku juga merasa lega karena telah berhasil mendapatkan data-data yang aku butuhkan tentang sosok artis yang sedang aku amati ini, meski belum semuanya. Malam terus merambat, mobil merah tak jua tampak meski hanya bayangannya. Tenda penjual juice segarpun hanya tinggal kerangkanya saja. ************
Meski cuaca mendung, tetapi tak menghalangi orang untuk berwisata kuliner menghabiskan sorenya setelah seharian bekerja. Sebenarnya bukan makanannya yang dicari tetapi kongkow-kongkownya itu, melepas lelah dengan sebungkus nasi kucing atau semangkok bubur ayam, cukuplah. Aku sudah berada di posisiku sejak jam empat tadi, bahkan bisa kusaksikan perempuan penjual juice segar itu mendirikan tendanya bersama beberapa lelaki muda yang tak lain adalah para anak buahnya. Entah mungkin dia merasa ada yang mengamatinya, dia menoleh ke arahku. Aku melambaikan tangan seraya tersenyum. Dia tak membalas senyumku. Mungkin hatinya masih gondok dengan ucapan-ucapanku kemarin sore. Binar di matanya terlihat redup, tidak seperti ketika dia melihat laki-laki bermobil itu datang ke tempat ini. Matanya bersinar bak bintang kejora. Sebegitu kuatkah magnet yang melekat di mata laki-laki itu sehingga bisa membuat para perempuan yang dipandangnya menjadi ketagihan. Sekali lagi, aku bisa membayangkan bagaimana perasaan istri laki-laki itu mengetahui suaminya sering melemparkan magnetnya itu ke perempuan lain. Aku jadi teringat perkataan istriku ketika kutuduh ia cemburu kepadaku.
“Jangan ge er deh mas, marah itu tidak melulu menjadi tanda kalau aku cemburu. Aku cuma gak mau ada perempuan yang salah mengartikan sikapmu itu mas. Kalau pas ketemu perempuan yang nekad bagaimana coba? Terus dia ngejar-ngejar mas karena merasa mas sudah naksir sama dia. Kan repot sendiri kamu mas. Lagian aku malu mas, kalau ada teman atau saudara yang melihat kelakuan buruk mas itu. Mereka pasti menggunjing, oh..ternyata suaminya si Sri itu mata keranjang ya. Ih...amit...amit deh. Mikir yang panjang dulu deh sebelum melakukan hal-hal seperti itu mas”
Kalau dipikir-pikir benar juga apa yang dikatakan istriku. Siapa lagi yang mau menjaga perasaan pasangan kita kalau bukan kita sendiri. Ah....daripada pusing mikirin masalah orang lain, mending minum wedang jahe saja, biar mata jadi segerr.
“Suka wedang jahe juga mas?”, tiba-tiba seorang laki-laki menyapaku. Dia langsung duduk di sampingku. Dia membawa segelas jus segar. Secara reflek kulayangkan pandanganku ke kedai juice segar, tampak sepasang mata berbinar indah di sana. “Dasar perempuan gatal” bathinku gusar.
“Eh mas, ditanya kok malah ngelamun mas?”, laki-laki itu kembali bersuara.
“Oh............iya, hmm....tumben pak sendirian, mana istrinya?”, tanyaku dengan sedikit kikuk karena masih tak menyangka kalau laki-laki itu yang menyapaku. Wah jangan-jangan si penjual juice segar itu telah menceritakan kepada laki-laki ini tentang kejadian kemarin sore. Waduh...bisa gawat nih. Tuh kan, jadi berburuk sangka. Aku menggeser dudukku agar tidak berada terlalu dekat dengannya. Menjaga dari segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi.
“Dia sekarang malas nemenin saya ke sini, nggak tahu kenapa. Alasannya sih capek atau pengen cepet ketemu anak-anak”
“Wah ya memang lebih baik begitu pak daripada ke sini tapi korban perasaan”, timpalku sedikit sewot setelah tahu bahwa dia tidak punya niat jahat terhadapku.
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Aku berlagak cuek, kuhirup sedikit wedang jahe yang masih panas.
“Perempuan memang susah ditebak”, laki-laki itu berbicara sendiri.
“Sebenarnya mudah kok pak menebak perasaan perempuan, apalagi istri sendiri, itu kalau kita memang pasangan yang baik buat dia”
“Maksud mas?, selama ini saya juga sudah berusaha menjadi pasangan yang baik buat istri saya, tapi ada saja hal-hal kecil yang membuat dia marah dan ngambeg. Pusing mas”, laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda kalau dia tidak mengerti dengan apa yang dimaui istrinya..
“Itu kan menurut bapak, belum tentu menurut istri bapak dan juga...hmm....saya”
“Sepertinya sejak tadi kata-kata mas ini menyudutkan saya. Padahal kita kan tidak pernah saling kenal sebelumnya”, laki-laki itu mulai tersinggung.
“Saya berkata yang sebenarnya pak, itu yang pernah saya alami. Makanya saya paling takut mengumbar mata saya ke perempuan-perempuan lain”.
Ekor mata laki-laki itu melirik ke arahku.
“Kok tumben mobil bapak tidak parkir di depan kedai itu?”, tanyaku seraya menunjuk ke kedai juice segar.
“Sepertinya istri saya tidak suka kalau saya parkir di situ”
Ternyata sebenarnya dia tahu kalau istrinya tidak suka dia parkir di situ. Tapi kenapa kemarin-kemarin dia terus melakukannya. Jangan-jangan laki-laki ini memang sengaja ingin mempermainkan perasaan istrinya. Dasar laki-laki tak berperasaan.
“Bapak tahu sebabnya?”
“Entahlah”, jawabnya seraya mengangkat bahunya.
“Mungkin ini nih pak yang menjadi pangkal sebabnya”, aku menunjuk ke gelas jus yang dipegangnya.
“Ini?, jus ini? Memangnya kenapa dengan jus ini?”
“Memang tidak secara langsung pada jus ini, tapi pada yang membuat jus ini nih”
“Oh ho...ho.... mas ini bisa saja. Saya kan tidak berbuat apa-apa sama penjual jus ini”, laki-laki itu kemudian tertawa.
“Sepertinya bapak kurang yakin dengan jawaban bapak sendiri?, saya juga tidak menuduh bapak melakukan apa-apa kepada penjual jus ini, atau....jangan-jangan......”
“Ha....ha....ha....mas ini ternyata orang yang lucu. Saya senang bisa ngobrol sama mas”
“Saya serius lho pak, memang bapak tidak berbuat macam-macam dengan si penjual jus ini, tapi mata bapak........”, aku sengaja menggantungkan ucapanku.
“Jadi, selama ini anda selalu mengamati saya ya”
“Ellhoh, jadi bapak belum tahu tho? Di sini, selain menjadi tukang parkir saya juga dijuluki sang pengamat pak, makanya jangan bersikap yang aneh-aneh kalau sedang berada di wilayah ini...............”
“E...alaaah lha dalaaah...............”, laki-laki itu ngeloyor pergi sambil garuk-garuk kepala.
“Rasain lu”, umpatku sambil nyengir kuda. Sekarang kalian tahu kan apa yang kumaksud dengan sikap berani yang di miliki oleh si pemilik mobil merah mentereng itu? SEBAIKNYA ADEGAN INI JANGAN DITIRU**************

Pamulang, 3 Desember 2009