Rabu, 11 Juni 2008



PERBEDAAN YANG INDAH


Kulangkahkan kaki dengan sedikit gamang sambil menarik tali koper menuju loket pemesanan taksi. Kegamangan itu bertambah saat taksi mulai meluncur menuju kawasan Malioboro. Sengaja aku memilih hotel yang dekat dengan pusat perbelanjaan itu agar aku bisa mencari hiburan ketika perasaan tak nyaman itu datang. Lima tahun sudah aku tak menginjakkan kaki di kota ini. Kota yang sarat dengan kenangan, baik kenangan indah maupun sedih. Kota yang telah menempaku menjadi manusia yang memiliki sikap toleransi terhadap masalah-masalah sosial yang ada di sekitarku, kota yang telah membuatku menjadi perempuan mandiri yang mengerti akan hak dan kewajiban yang mesti aku jalani dengan seimbang termasuk berani mempertahankan prinsip hidup yang belakangan orang mudah untuk melepasnya karena tekanan persoalan hidup yang begitu kompleks. Sejak aku mendapat beasiswa untuk meneruskan kuliah di Belanda, hingga satu tahun yang lalu aku kembali ke Indoneisa, baru kali inilah aku memiliki kesempatan untuk mengunjungi kota ini. Namun begitu, aku masih lumayan hafal hampir semua sudut-sudut kota ini. Memang tak banyak yang berubah, suasananya tetap seperti dulu, tentram dan damai. Tidak banyak polusi dan udaranya tetap segar. Meski di jalan-jalan terlihat lebih dipadati oleh kendaraan bermotor namun masih tetap terkendali. Orang yang bersepeda tetap menjadi objek pemandangan yang menakjubkan. Itulah yang membedakannya dengan Jakarta. Mungkin karena penduduk di kota ini selalu hidup dalam rasa syukur dan tidak pernah ngoyo. Auranya terekspresikan oleh alam dan menjadikan kota ini menjadi kota yang begitu nyaman untuk ditinggali. Mana bisa kita menemukan suasana seperti ini di Jakarta. Sudah panas, sumpek, bising, banyak polusi, jalanannya juga selalu macet, toleransinya terhadap sesama wargapun sangat rendah. Hidup di Jakarta jika tidak memiliki teman atau saudara dekat akan sangat menderita. Karena setiap orang sibuk mengurus diri mereka sendiri, tak ada yang perduli terhadap kesulitan orang lain. Tapi anehnya, meski keadaannya seperti itu masih saja banyak orang dari daerah yang berminat datang ke sana. Setiap tahun terus bertambah jumlah orang dari daerah yang ingin mengadu nasib di kota itu. Padahal tidak melulu nasib mereka berubah menjadi lebih baik setelah tinggal di sana. Ujung-ujungnya tuna wisma makin berjubel, memenuhi setiap sudut kota. Di jalanan, terminal, stasiun, pasar, tempat-tempat peribadatan, di kendaraan-kendaraan umum. Mereka mengemis, mengharapkan belas kasihan orang lain. Belum lagi masalah kriminalitas. Yang dulunya ketika masih tinggal di daerah berkelakuan baik, karena tuntutan hidup bisa berubah menjadi penjahat. Mereka merampok, mencopet, menjual obat-obatan terlarang, demi mendapatkan uang. Sementara, orang-orang yang sudah lama hidup di Jakarta, kerap kali mereka merindukan suasana pedesaan dengan udaranya yang sejuk dan bersih. Seperti juga aku. Seandainya aku bisa memilih, aku ingin tinggal dan bekerja di sini. Sayangnya, kantor tempatku bekerja sekarang ini belum memiliki kantor perwakilannya di kota ini. Karena itu aku senang sekali ketika ada yang mengundangku untuk datang ke sini. Hitung-hitung bisa sambil refreshing, menghilangkan rasa penat dan jenuh yang sering aku rasakan sejak hidup di Jakarta. Aku sengaja minta cuti beberapa hari dari kantorku, biar bisa lebih lama tinggal di sini. Tentu juga karena ada misi lain yang sudah lama aku rencanakan.

Sampai di hotel sudah pukul 15.00 wib. Aku memutuskan untuk istirahat saja di dalam kamar sambil menyiapkan beberapa berkas yang besok harus aku presentasikan. Beberapa kali panitia acara menelponku, memastikan keberadaanku di Yogya. Meski sedikit menjengkelkan karena handphone terus berbunyi tetapi bisa dimaklumi. Memang seperti itu kalau kita menjadi panitia sebuah acara workshop atau seminar. Selalu ada kekhawatiran kalau-kalau pada detik-detik terakhir narasumber membatalkan untuk datang. Dulu ketika mahasiswa, aku pun sering melakukan hal yang sama. Kan tidak mudah mencari pengganti narasumber dalam waktu cepat. Kalaupun dapat, mereka pasti merasa hanya dijadikan ban serep saja. Serba salah.

Malam telah tiba. Kubuka tirai jendela kamarku yang kebetulan pas menghadap ke Malioboro. Terlihat suasana di bawah sana sangat ramai. Lalu lalang manusia di antara dagangan dan warung-warung lesehan yang tergelar di kanan kiri jalan membuat Malioboro tampak begitu padat. Di salah satu warung kulihat laki-laki tua dengan pakaian khas abdi dalem kasultanan, batik loreng-loreng dan blangkon menutup kepala sedang memainkan alat musik tradisional sambil berdendang. Pastilah yang dia dendangkan adalah lagu-lagu jawa yang sarat dengan pesan-pesan moral dan hm...asmarandana. Tembang cinta yang bisa menggetarkan kalbu dan menghanyutkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Cinta memang sesuatu yang rumit dan pelik, terkadang sangat sulit untuk dimengerti. Cinta terkadang juga bisa mengalahkan segalanya. Bahkan perbedaan yang sangat prinsip sekalipun. Untuk memahami cinta dibutuhkan pengertian dan toleransi yang tinggi. Tokh berdasarkan pengertian dan toleransi itu pula akhirnya aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh cinta yang selama hampir tiga tahun aku bangun bersama seseorang. Suasana malam ini, membuatku teringat kembali akan kenangan tentang cinta itu. Akankah kutemukan kembali jejak-jejaknya yang tertinggal dan tak sempat kuselamatkan dalam waktu yang hanya beberapa hari ini? Masihkah dia menyimpan sisa-sisa cintanya untukku setelah dia memutuskan untuk menjadi pelayan bagi Tuhannya.

Kenang-kenangan itu memaksaku untuk keluar dari kamar, menyusuri kembali trotoar demi trotoar bersama remangnya malam. Mencoba memetik kembali kenangan yang pernah kulewati bersamanya ketika masa kuliah dulu. Kucoba menguak rindu yang lama terpendam oleh waktu. Tiba-tiba aku jadi rindu, rindu pada kebersamaan yang dulu terjalin begitu indahnya. Adakah yang lebih indah dari mencintai dan dicintai seseorang dengan tulus? Kerinduan itu makin melemparku kembali pada masa awal perkenalan kami.

“Wonderful, you look very smart and intelligent, congratulation miss Nina”, seseorang bertepuk tangan seraya menghampiriku. Dia memuji penampilanku ketika tadi aku mengisi sebuah sessi diskusi panel di kampus.

“Terimakasih”, jawabku singkat. Dia mengulurkan tangannya seraya menyebut namanya.

“Edo”

“Nina”, kusebut juga namaku sambil membalas uluran tangannya. Pada percakapan selanjutnya dia tak henti-hentinya memuji presentasiku tentang membangun relasi antar kelompok beragama yang aku beri judul “The Patterns of Life among Inter-Faith Groups”. Dia sangat apresiatif terhadap cara berpikirku yang menurut dia sangat terbuka dalam memandang sebuah agama. Padahal saat ini di mana-mana marak aksi-aksi saling kecam dari sebagian pemeluk agama tertentu kepada pemeluk agama lain.

Setelah perkenalan itu, lama kami tak saling bertemu. Aku sendiri sudah melupakan sosok laki-laki itu. Tiba-tiba di suatu petang, datang sepucuk surat ke tempat kostku. Tertulis di situ pengirimnya adalah Edo. Aku berusaha untuk mengingat pemilik nama itu tetapi aku benar-benar lupa. Sebuah kalimat singkat dia tulis di dalam suratnya itu “I invite you to my party at my house on Saturday night” Edo.

”Who are you Edo, and why you invite me to your party?” demi memenuhi rasa penasaranku itu, aku memutuskan untuk datang ke pesta itu. Dengan ditemani oleh sahabatku kami menelusuri jalan Wirotaman mencari alamat laki-laki itu seperti yang tertera di kartu undangannya.

“Hai Nina, thankyou for coming”, seorang laki-laki menyambutku di depan pintu masuk.

“Oh.....jadi kamu Edo yang waktu itu.........”

“Yes right, sekali lagi terimakasih karena mau hadir di acaraku malam ini”

Ternyata dia adalah laki-laki tampan yang dua bulan lalu memberiku ucapan selamat atas presentasi makalahku.

Sejak pesta malam itu, keakraban di antara kami mulai terjalin. Edo yang belakangan kuketahui adalah seorang direktur sebuah Lembaga Kursus Bahasa Inggris sekaligus dosen di sebuah akademi bahasa asing banyak memberiku bimbingan dan masukan terutama dalam melatih bahasa Inggrisku yang masih sangat kacau. Tentu saja aku jadi senang bergaul dengannya. Dalam waktu singkat saja, bahasa Inggrisku jadi tambah lancar, kepercayaan diriku juga jadi semakin meningkat ketika harus mengisi acara-acara yang ada percakapan Inggrisnya.

Seiring berjalannya waktu, hubungan yang tadinya hanya sebatas teman, meningkat menjadi hubungan yang lebih dekat. Layaknya sepasang merpati, kami terbang bebas kemanapaun kami suka, selalu berdua. Perbedaan keyakinan di antara kami tidak menghalangi kami untuk saling mencintai. Perbedaan bagi kami adalah gambaran hidup yang dinamis, perbedaan adalah rahmatan lil ‘alamin jadi kenapa harus dipermasalahkan. Apalagi kami sama-sama aktif di dalam organisasi-organisasi lintas agama. Aku selalu menyampaikan kepada teman-teman yang mulai termakan oleh hasutan pihak-pihak yang tidak menginginkan kita hidup rukun dengan pemeluk agama-agama lain bahwa kita ini hidup di negara yang memiliki banyak agama, jadi sudah menjadi kewajiban bagi masing-masing pemeluk agama itu untuk selalu menjunjung tinggi sikap toleransi dan solidaritas di antara mereka. Karena meski berbeda keyakinan, kita ini satu bangsa, yang dulu diperjuangkan bersama-sama tanpa memperdulikan bahwa mereka menganut agama yang berbeda. Dengan pandangan yang seperti itu, aku dan Edo dapat mempertahankan hubungan kami dengan baik. Tapi, yang namanya pacaran, pastilah tidak selalu akur, terkadang kami juga bertengkar, saling diam. Untungnya Edo selalu bisa mencairkan suasana. Mungkin karena usia dia yang lebih tua dari aku sehingga dia tahu bagaimana harus mensikapi setiap permasalahan yang kami hadapi.

“Perhaps, our love isn’t very exciting, but we always could make it be happy ending”, kira-kira seperti itulah gambaran hubungan kami yang selalu kami katakan kepada teman-teman kami.

Ah.....tanpa terasa kaki ini telah melangkah begitu jauh meninggalkan hotel. Malam telah begitu larut. Jalanan sudah semakin sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan saja yang masih melintas. Namun kidung asmarandana sayup-sayup masih terdengar. Lampu-lampu teplok hanya menyisakan nyala api yang kecil, mungkin minyaknya telah hampir habis. Entah sudah berapa trotoar dan sudut jalan yang malam ini aku lalui, namun kenangan indah itu belum habis aku tuai. Masih ada empat malam lagi untuk mengumpulkan jejak-jejaknya. Esok aku akan kembali menyusuri sudut-sudut yang lain agar semua kenangan itu menjadi utuh tekadku dalam hati sambil melangkahkan kaki kembali ke hotel.

******

Rasa kantuk begitu kuat menyergap mataku. Mata ini benar-benar pedas dan sepet, minta segera dipejamkan. Karena itu, sesampainya di Hotel segera kubaringkan tubuhku dan dalam sekejap aku sudah tertidur pulas. Seharian ini memang sangat melelahkan. Setelah malamnya aku begadang menelusuri jejak-jejak masa laluku, tadi seharian harus memandu kelompok buruh perempuan untuk training workshop jender dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini memang penting untuk dilakukan mengingat mereka adalah kelompok yang sangat rentan terhadap terjadinya kekerasan. Untungnya tugasku hanya sampai sore saja karena malam ini ada fasilitator lain yang akan menggantikanku. Aku terbangun ketika kudengar alarm di handphoneku berbunyi. Kulirik jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Ups..... sudah jam tujuh. Dengan langkah malas kugerakkan kakiku menuju kamar mandi. Aku ingin merendam tubuhku dengan air hangat. Mungkin dengan begitu, badanku bisa kembali segar. Sambil menunggu air di dalam bath cup penuh kutelpon bagian room service untuk meminta segelas susu hangat. Benar saja, setelah satu jam berendam dan meminum segelas susu hangat tubuhku terasa lebih segar. Kidung asmarandana yang sayup-sayup mulai terdengar seolah menarik langkahku untuk kembali menyusuri kota bersejarah ini, mengingat kembali puing-puing masa lalu itu. Dengan berbalut sweater kutelusuri jalanan di sepanjang Malioboro. Di depan sebuah kedai yang menjual gudeg kuhentikan langkahku. Masih tetap seperti dulu, selalu ramai dikunjungi pembeli. Kedai bu Anik memang terkenal enak. Entahlah, apakah sekarang masih bu Anik yang berjualan ataukah sudah digantikan oleh anak cucunya atau mungkin orang lain. Tetapi melihat begitu ramainya orang yang berkunjung, bisa jadi masih bu Anik yang berjualan di situ. Kutoleh deretan bangku paling pojok yang menghadap ke alun-alun. Sepasang muda-mudi duduk berhadapan tengah menikmati makanan sambil bersenda gurau. Kenangan pahit itu tiba-tiba muncul. Di bangku itu, empat tahun yang lalu menjadi saksi ketidakkonsistenanku terhadap sikap idealisme yang selalu aku gembar-gemborkan. Di bangku pojok itu tempat di mana terakhir kali aku bercakap-cakap dengan Edo. Keindahan yang selama tiga tahun kami bangun akhirnya runtuh karena perbedaan itu. ”Let me go with my own way”, itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan kepadanya ketika aku memutuskan untuk pergi mengejar ambisiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukan hal itu. Kemiskinan yang aku dan keluargaku rasakan membuatku merasa ada sesuatu yang harus kukejar dan kucapai. Orang tuaku yang hanya petani miskin tak mampu membiayai aku dan kelima saudaraku untuk bersekolah lebih tinggi. Untung waktu itu ada sepasang suami istri yang terketuk hatinya untuk mengangkatku menjadi anak asuhnya. Melihat prestasi belajarku yang bagus, mereka bersedia membiayai sekolahku hingga sampai ke perguruan tinggi. Tentu saja kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku terus berusaha untuk mempertahankan prestasi belajarku hingga akhirnya aku lulus UMPTN dan diterima di UGM. Selama kuliah, aku berusaha bekerja agar bisa memberi kesempatan kepada adik-adikku untuk bersekolah seperti diriku. Itulah sekelumit kisah tentang perjalanan hidupku.

Tetapi sebenarnya ada alasan lain yang lebih membuatku malu untuk menceritakannya terutama kepada teman-teman seperjuangan yang selama ini gigih membangun sikap pluralisme, ketimbang cerita tentang kemiskinan keluargaku. Orangtuaku sangat menentang hubunganku dengan Edo karena alasan perbedaan keyakinan. Masih kuingat kata-kata Bapakku di suatu hari ketika aku punya kesempatan untuk liburan ke kampung, “Bapak labiah elok kahilangan anak daripado punyo anak tapi mamiliah jo urang nan lain agamonyo. Bapak jo ibu iyo urang ndak bapunyo, tapi kami ndak pernah tapikia ndak manuka kaadaan kami nan susah untuak pindah ka agamo lain”. –ketika aku kecil, desaku termasuk daerah yang menjadi sasaran misionaris- Bapak dan ibuku tetap tidak merestui hubunganku dengan Edo meski kukatakan bahwa aku tak akan berpindah agama.

Aku kembali ke Yogya dengan membawa beban yang begitu berat. Waktu itu aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa jika nanti Edo menanyakan soal itu. Bagiku masalah ini bagaikan buah simalakama. Tidak mungkin aku menentang orang tuaku sendiri, adat kami sebagai orang Minang memang sangat kuat dalam memegang adat dan agama. Berhubungan dengan bukan sesama orang Minang saja bisa dianggap menentang adat apalagi jika berbeda keyakinan. Tetapi untuk kehilangan Edopun aku tidak siap. Aku benar-benar bingung. Aku tak mau menyakiti hatinya yang begitu baik kepadaku.

Benar saja, di saat kami bertemu, Edo langsung menanyakan keputusan orangtuaku tentang hubungan kami.

“Tell me, what is your parent’s opinion about our relation, honey”

“Mereka tidak berkata apa-apa Edo”

“Maksudmu?”

“Jangan khawatir, semua baik-baik saja. Mereka hanya bilang, kita jalani saja dulu hubungan ini, jangan terburu-buru membuat keputusan”, jawabku berbohong.

“What?, apa maksudnya jangan terburu-buru membuat keputusan. Kita sudah menjalani ini hampir tiga tahun honey”

“Ingat Do, tidak semua orang bisa menerima perbedaan kita”

“Iya, saya tahu, tapi.....”

“Do, percayalah, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk kita”

Edopun tidak bertanya-tanya lagi. Pada kesempatan lain aku selalu berusaha mengingatkannya bahwa manusia punya hak untuk merangkai rencana, namun Tuhanlah yang punya kuasa untuk memutuskan segalanya. Rasanya saat itu aku menjadi orang yang paling berdosa karena telah mempermainkan perasaan orang yang begitu mencintaiku. Aku terus berdoa agar Allah memberikan jalan yang terbaik bagi hubungan kami.

Lalu beasiswa itu datang tanpa kuminta. Aku percaya bahwa itu adalah jalan yang diberikan Allah untuk menyelesaikan masalahku. Semua orang pasti akan menganggap aku gila jika menolak beasiswa itu. Belajar di luar negeri yang menjadi impian semua orang, kenapa nggak? Meskipun aku harus meninggalkan orang-orang terdekatku untuk waktu yang cukup lama. Ibuku menangis terus menerus ketika kusampaikan kabar gembira itu. Perempuan itu membayangkan jarak yang begitu jauh yang akan memisahkan kami. Sebuah negeri yang namanya saja baru dia dengar dari mulutku. Begitu juga Edo. Dia tertegun untuk beberapa saat. Matanya tajam menatap mataku seolah ingin menyelami dalam-dalam dan menemukan kesedihan yang bersembunyi di balik ketegaran sikapku.

“You right”, aku tak mungkin mencegahmu untuk sesuatu yang baik. Aku sangat mengerti dan mendukung keinginan dan cita-citamu. Will you mary me before you.....” Edo tak meneruskan kata-katanya. Matanya menatapku lembut, jemari tangannya menggenggam erat jemariku. Aku tersontak, tawaran itu terasa terlalu tiba-tiba untukku.

“Itu hal yang nggak mungkin kita lakukan Edo. Ada banyak konsekuensi yang harus aku jalani sebagai seorang istri. Tidak mungkin aku meninggalkanmu begitu saja setelah pernikahan kita. Orang akan menilai istri macam apa aku ini, belum lagi perbedaan yang ada di antara kita. Untuk kita, mungkin hal ini tidak akan menjadi masalah. Tapi dalam pernikahan kan tidak hanya melibatkan kita berdua saja. Ada keluargamu, ada keluargaku. Mereka belum tentu dengan mudah bisa menerima perbedaan kita.

“Kita kan bisa berusaha untuk terus meyakinkan mereka”

“Kita sudah berusaha melakukannya hampir satu tahun ini Edo, dan apa hasilnya? Keluargamu tetap berkeinginan kamu masuk ke Seminari dan keluargaku tetap belum memberikan respon yang baik. Waktuku tidak banyak lagi, maafkan aku Edo” Kami tak lagi berkata-kata. Gudeg bu Anik yang biasanya nikmat di lidah, malam itu terasa sangat pahit. Edo tampak tak kuasa menahan kesedihannya. Dia seperti anak kecil yang kehilangan mainan yang disayanginya. Dia tak mau menatapku, dia tak mau bicara padaku.

“Jangan sedih begitu dong Edo, aku kan cuma pergi dua tahun. Setelah itu, aku janji, kita akan kembali memperjuangkan hubungan kita ini. Aku janji kepadamu”. Itulah pertemuan terakhirku dengannya, karena keesokan harinya aku harus pergi meninggalkan Yogya demi mewujudkan idealismeku yang lain.

“Mau membeli gudeg juga mbak?”, tegur seorang pelayan membuyarkan lamunanku.

“Oh....hmmm iya, tapi penuh banget warungnya, lain kali aja deh”, jawabku sambil berlalu.

************

Udara di Yogya malam ini terasa begitu dingin, meski langit tampak sangat benderang dengan cahaya purnama yang memancar hingga aku bisa melihat kumpulan bintang di atas trotoar jalan yang tak beratap. Kutarik nafas panjang seraya merapatkan jaket mencoba menghalau rasa dingin. Ini malam terakhir aku di Yogya, besok aku harus kembali ke Jakarta, kembali bergulat dengan rutinitas yang terkadang sangat membosankan.

“Edo, malam ini kucoba beranikan diri untuk menemuimu, entah untuk apa. Mungkin untuk mengucapkan rasa terimakasihku karena kau telah membebaskanku dari janji yang aku sendiri sangsi untuk bisa menepatinya. Atau sekedar melabuhkan rindu yang sekian lama terpendam. Saat ini aku telah berdiri di sudut gereja sambil memegang selembar kertas yang berisi email terakhirmu”

Saturday, 5th of Pebruary 2004, 9.00pm

To: nina_gk@hotmail.com

From: yosephedoardo@interfaith.or.id

Subject: salam kasih

“Nin, kuharap kau dalam keadaan yang baik saat ini. Bagaimana Tesismu Nin, pasti hampir selesai dan sebentar lagi tentu kau akan pulang. Aku turut senang. Nin, sampai detik ini aku tak pernah berhenti untuk mencintaimu. Cinta itu pula yang dulu membuatku ikhlas melepasmu pergi.

Nin, for more and less two years, I had search for what true love is. Now I found it, in the form of God. And I will be representing the love of God to humans being. Cinta sejati adalah cinta yang tak pernah meminta atau menuntut, melainkan selalu memberi, membebaskan dan selalu ada jika dibutuhkan. Setujukan Nin?

Nin, kalau dulu sebelum berangkat kamu pernah menjanjikan sesuatu untukku, kini kau bebas dari janji itu, you owe nothing. Bahkan meski tanpa alasan perubahan statusku sekarangpun, kau tak layak untuk membebani dirimu dengan janji itu.

Take care yourself Nin, someday when you have time to come to yogya, visit me at Hight Seminary of St. Paulus. It will be courtesy visit for me”

Best regard

Edo

Setiap kali membaca isi email itu, dadaku langsung terasa sesak. Tak bisa kubohongi, pertama kali aku membacanya, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari diriku. Aku sempat merasa putus asa. Aku sadar, tertutup sudah jalan bagi aku dan Edo untuk bersatu mewujudkan semua impian yang selama ini kami bangun. Kenyataan ini terlalu sulit untuk kuterima. Harapanku telah gugur seperti daun-daun kering. Kucoba merenungi jalan yang telah dipilihnya. Namun akhirnya aku bisa mengerti. Kuhargai keputusannya sebagaimana dulu dia juga menghargai keputusanku.

“Selamat malam Nina”, sebuah suara telah mengejutkanku. Aku tertegun beberapa saat, menatap laki-laki tampan yang berdiri di hadapanku. “Edo...”, suaraku seperti tercekat ketika menyebut nama itu.

“Apakabar Nin, akhirnya sampai juga kamu di sini”. Kami bersalaman, kurasakan tanganku bergetar ketika bersentuhan dengan tangannya. Senyumnya mengembang penuh dengan rasa damai.

“Ehm...alhamdulillah aku baik, kamu sendiri bagaimana?”, aku benci pada kekakuanku.

“Seperti yang kau lihat, aku merasa jauh lebih baik, kutemukan kedamaian di sini”

Kami bertatapan dan kulihat ada cinta di sana, cinta yang lain. Cinta yang memiliki makna lebih luas dari sekedar keinginan untuk memiliki. “Edo, aku hm....aku,” Sebelum kuteruskan kata-kataku, tiba-tiba suara lonceng berbunyi, membangunkanku dari mimpi indahku. Entah berapa lama aku tertidur. Angin yang dingin ternyata telah membuai mataku hingga tanpa sadar aku tertidur di sudut gereja ini. Baru saja aku ingin berdiri, terdengar suara langkah kaki mendekatiku. “Selamat malam, anda pasti Nina”, seorang suster tua yang menenteng sebuah lampu menyapaku. Aku mengangguk dengan sedikit ragu.

“Ada titipan surat untuk anda dari Romo Edo”, suster itu lalu mengangsurkan sepucuk surat kepadaku.

“Maaf suster, tapi saya ingin bertemu dengan beliau, bisa?”, tanyaku sambil menerima surat itu.

“Maaf, Romo Edo kebetulan sedang tidak berada di tempat. Beliau sedang ke Poso”

“Tapi bagaimana dia tahu kalau saya mau datang?”

“Saya tidak tahu, beliau hanya berpesan agar memberikan surat ini jika anda datang”, kemudian dengan tersenyum suster itu berlalu. Kupandangi sejenak amplop berwarna putih yang berada di genggamanku. Lalu kudekap, seolah ingin kurasakan kehangatan cinta yang ada di dalamnya. Sekeping bulan yang bertengger di atas awan putih, membiaskan cahayanya yang berwarna keemasan, menyatu dengan cakrawala yang begitu luas hingga seluruh dunia bergelimang cahayanya. Lalu cahaya itu menuntunku kepada harapan yang baru, harapan yang menyatu dalam nuur imanku. Subhanallah, Maha Suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan perbedaan-perbedaan di muka bumi ini hingga kami bisa saling berta’aruf dan saling menghargai satu sama lain.

Vila Pamulang Mas

Awal Agustus 2007